Pertemuan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto, yang ditunggu-tunggu sekaligus didorong-dorong oleh sekian banyak orang, akhirnya terjadi juga. Janjian di Stasiun MRT Lebakbulus, kedua politisi yang bertarung dalam pemiihan presiden (pilpres) 2019 itu berada dalam satu gerbong menuju Senayan, Sabtu (13/7/2019) siang.
Jutaan warga berharap agar pertemuan ini merupakan sebuah rekonsiliasi yang menghapus keterbelahan bangsa selama musim pilpres. Ekspektasinya begitu tinggi. Jangan lagi ada orang yang memutus pertemanan hanya karena beda pilihan politik. Jangan lagi ada grup WhatsApp keluarga yang menendang keluar salah satu anggotanya hanya karena beda kesukaan capres. Lebih jauh lagi, jangan lagi ada saling serang dengan fitnah dan hoaks.
Pendek kata, setelahdan Prabowo akhirnya bertemu, hidup bakal kembali normal. Semua kembali baik-baik saja. Rukun dengan keluarga, rukun dengan tetangga. Betapa mahapenting pertemuan dua orang ini!
Setelah menunjukkan ke Jokowi hangatan di hadapan warga dan awak media di Stasiun Lebakbulus, Jokowi dan Prabowo masuk ke gerbong MRT. Mereka punya waktu kurang dari 25 menit untuk berbicara empat mata tentang beragam persoalan yang sebagian di antaranya sudah berseliweran di tengah masyarakat.
Barangkali ada pembicaraan tentang kepulangan Rizieq Shihab dari Arab Saudi. Atau tentang peluang keterwakilan kubu Prabowo dalam kabinet Jokowi kelak. Siapa tahu?
Saya sendiri lebih senang membayangkan Jokowi dan Prabowo mendiskusikan sebuah masalah yang jauh lebih berat dan lebih serius dari itu. Masalah yang melibatkan hajat hidup orang banyak. Masalah yang sudah meneror hidup berbangsa dan bernegara dalam satu tahun terakhir. Apalagi kalau bukan pertikaian antara cebong dan kampret.
“Pak Prabowo pasti tahu, perselisihan antara cebong dan kampret ini sudah berlebihan, sudah mengkhawatirkan. Bangsa kita, masyarakat kita, terbelah dua,” demikian Jokowi menjadi yang pertama memulai percakapan, sama seperti ketika ia juga berinisiatif untuk segera bertemu dengan Prabowo ketika tensi politik memanas di tengah hitung cepat pascapemungutan suara.
“Ya saya dapat banyak laporan seperti itu juga, Pak Jokowi,” timpal Prabowo ringkas.
Jokowi mengangguk-angguk, sambil berdehem pelan.
“Bapak pernah coba-coba mencari informasi tentang itu di Google?” tanyanya.
“Oh Google… Yang online-online itu ya?” kata Prabowo.
“Betul Pak. Kalau kita ketik ‘cebong adalah’, yang muncul paling atas bukan informasi tentang anak kodok, tapi malah keterangan tentang cebonger yang merupakan nama sindirian untuk para pendukung saya. Itu di Wikipedia lho ya.”
“Wikipedia itu…?”
“Ya masih sama, Pak. Yang online-online itu juga.”
“Ah ya… Kalau kampret bagaimana, Pak?
“Sama saja. Yang muncul teratas ya nama sindirian untuk pendukung Bapak.”
Prabowo menghela nafas. Bekas komandan Kopassus itu melemparkan pandangan ke luar jendela kereta yang sedang melesat.
“Do we have the same results in English?” tanya sang pecinta kuda yang gagal menjadi presiden untuk kali kedua.
“Mmmm… maaf, bagaimana maksudnya ya Pak?” ujar mantan tukang kayu yang bakal segera dilantik sebagai presiden untuk kali kedua.
“Maksud saya, bagaimana kalau orang-orang luar negeri sana mencari arti kedua kata tersebut? Hasilnya sama juga?”
Jokowi buru-buru mengambil telepon genggam di saku celana hitamnya, lalu menyerahkannya ke rival yang baru saja ia kalahkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi.
“Silakan Pak Prabowo buktikan sendiri,” katanya.
Prabowo mengetik dan mendapati hasil pencarian yang membuatnya menggeleng-gelengkan kepala. Ia menjumpai beragam artikel berita, termasuk yang berbahasa Inggris, yang membahas perseteruan antara cebong dan kampret.
“Sudah tidak sehat ini, sudah tidak sehat. Bisa jatuh martabat dan wibawa bangsa kita di mata dunia,” katanya berapi-api.
“Persis seperti itu jugalah kekhawatiran saya, Pak,” sambar Jokowi. “Kita harus segera mengakhirinya.”
“Saya sepakat, Pak Jokowi. Mulai sekarang tidak boleh lagi ada sebutan cebong dan kampret!” kata Prabowo.
“Sepakat!” balas Jokowi.
“Oh ya, selain imbauan kita ke masing-masing pendukung, Pak Jokowi sebagai presiden barangkali bisa juga menertibkan yang di online-online itu tadi,” ujar Prabowo.
“Bisa-bisa saja Pak. Nanti saya omongkan dengan Menkominfo.”
Keduanya tersenyum, berjabat tangan, lalu berpelukan erat.
Seolah tiba-tiba, kereta modern supercepat yang mengangkut kedua tokoh sudah berhenti di Stasiun Senayan. Di dalam konferensi pers, Jokowi dan Prabowo menyampaikan kesepakatan mahapenting yang mereka buat di sepanjang perjalanan. Mulai hari ini, tidak ada lagi cebong dan kampret!
Berita tentang kesepakatan ini bakal tersebar ke mana-mana. Ke akun-akun media sosial dan grup-grup percakapan. Semua orang bertepuk tangan, gembira. Pujian bertaburan. Mereka percaya, bangsa ini akhirnya terbebas dari sebuah penderitaan yang berkepanjangan. Teman yang putus disapa kembali. Semua anggota keluarga dimasukkan lagi ke grup WA.
Demikianlah saya membayangkan ujung drama rekonsiliasi yang telah menguras perhatian orang satu negeri. Tidak ada barter pemulangan seorang tersangka dari luar negeri. Tidak ada janji bagi-bagi jatah menteri. Demi keutuhan NKRI, cebong dan kampret harus mati!
Itu sudah.