Untuk melawan pandangan kaum pria yang terkesan merendahkan lawan jenisnya; yang secara dingin mengukur, menimbang, menilai, dan memilah, atau dengan kata lain mengubahnya menjadi sebuah objek, Milan Kundera dalam novelnya The Book Of Laughter And Forgetting pernah mencontohkan melalui alegori menarik.
Seakan sedang merapal ayat-ayat suci, Kundera kemudian mengatakan bahwa perempuan bukanlah sama sekali tidak bisa melawan pandangan itu. Jika pandangan tersebut merubahnya menjadi objek, bisa saja ia balik memandang lelaki itu dengan tatapan sebuah objek. Ibarat palu yang tiba-tiba memiliki mata dan menatap tajam si pekerja yang tengah memukul palu dengannya, ketika si pekerja melihat tatapan palu itu, ia kehilangan keyakinan diri dan memukul jempolnya sendiri.
Bagi saya, cara pandang ini cukup elegan dan tentu saja: mengesankan. Mungkin si pekerja adalah tuan bagi palu, tapi palu itu jugalah yang akhirnya menang: karena sesungguhnya sebuah alat tahu benar apa artinya dipegang, sementara pemakai alat hanya bisa mengira-ngira. Agaknya, cara yang demikian juga digunakan Pram ketika ia memperlihatkan karakteristik Nyai Ontosoroh dalam Tetralogi Buru-nya yang kesohor itu–terlepas dia mengenal tulisan Kundera maupun tidak.
Kalau pernah membaca karya yang ditulis Pram saat menjalani masa-masa sunyinya di pengasingan, tentu kita akan dengan mudah menemukan Nyai Ontosoroh dalam tiap bagian tetraloginya. Bahkan ketika karakter-karakter lain muncul dan hilang, Nyai Ontosoroh masih tetap eksis sampai bagian terakhir romannya yakni, Rumah Kaca. Memang, ia hanyalah tokoh rekaan di masa lalu–fiktif, namun tidak dengan karakter dan semangatnya; ia menjadi nyata dan terus ada hingga kini.
Nyai Ontosoroh, tulis Pram dalam Bumi Manusia, adalah pemilik Perusahaan Pertanian Buitenzorg. Ia sendiri bernama asli Sanikem yang di umur 14 tahun dijual oleh ayah kandungnya, seorang juru tulis di pabrik gula Tulangan, Sidoarjo, demi mendapatkan jabatan yang diinginkan kepada seorang Belanda bernama Herman Mellema; yang belakangan menjadikannya sebagai gundik sehingga ia terpaksa menerima julukan “Nyai”.
Kehilangan kehormatan karena dijual tak lantas membuatnya mengamini keterpurukan. Ia justru bangkit dan bertekad menentukan nasibnya sendiri. Memanfaatkan kekayaan dan akses pengetahuan yang dimiliki oleh tuannya, Sanikem alias Nyai Ontosoroh belajar berhitung serta baca tulis.
Nampaknya Nyai Ontosoroh berusaha untuk merubah citra umum di masanya bahwa seseorang yang sudah terlanjur menjadi gundik–yang dipandang asusila dalam struktur sosial masyarakat–juga dapat memperbaiki harga dirinya. Sialnya, di kemudian hari ia tak hanya menguasai bahasa Belanda dengan cukup baik dan fasih namun juga piawai mengerjakan urusan perkantoran macam pembukuan, dagang, administrasi dan surat menyurat. Sebuah kemampuan yang bahkan jarang dimiliki oleh lawan jenisnya di masa itu.
Sosoknya yang mandiri mampu menepis anggapan bahwa perempuan hanya pantas untuk urusan dapur-kasur dan tidak berhak mendapatkan tempat yang lebih layak:
“Aku memang ada ayah, dulu, sekarang tidak. Kalau dia bukan tamu tuan, sudah aku usir.”
“Jangan,” tegah Tuan.
“Lebih baik pergi dari sini daripada menemuinya.”
“Kalau pergi, bagaimana aku? Bagaimana sapi-sapi itu? Tak ada yang bisa mengurusnya.”
“Banyak orang bisa disewa buat mengurusnya.”
“Sapi-sapi itu hanya mengenal kau.”
Begitulah, aku mulai mengerti, sesungguhnya Mama sama sekali tidak tergantung pada Tuan Mellema. Sebaliknya, dia yang tergantung padaku. Jadi Mama lantas mengambil sikap ikut menentukan segala perkara. (Bumi Manusia, hlm. 93).
Dan seperti yang telah dikatakan Kundera, Nyai Ontosoroh adalah palu yang memukul tuan pemilik palu itu sendiri. Ia membalikkan dominasi Herman Mellema. Bahkan ketika tuannya mati karena dibunuh orang tak dikenal, ia mampu mengelola perusahaan Buitenzorg dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.
Selain itu, Nyai Ontosoroh adalah Godmother yang banyak memberikan sumbangsih pemikiran dan pandangan terhadap Minke. Pada roman kedua, Anak Semua Bangsa, Nyai Ontosoroh-lah yang mendorong Minke untuk terus menulis demi menyuarakan nasib bangsanya. Bahkan ketika akhirnya Minke memilih jalan organisasi dan jurnalistik untuk melawan kolonialisme Hindia Belanda dengan mendirikan Medan Prijaji, ia turut memberikan bantuan materil dalam pergerakan tersebut.
Dari wanita itu pula Minke memperoleh kepercayaan dirinya. “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
Pola pikirnya yang idealis namun terbuka telah menjadikannya sebagai seorang wanita pribumi yang setara dengan martabat Eropa: “Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.”
Meskipun demikian, sikap idealisnya bukanlah sebentuk idealisme artifisial yang lantas menyingkirkan perasaannya sendiri. Terbukti ketika sampai akhir cerita, ia menerima pinangan Jean Marais, mantan serdadu kompeni yang terdampar di antah berantah sekaligus karib Minke, dan mengubah namanya menjadi madame Sanikem Le Boucq. Ia tidak kemudian menolak kodratnya sebagai makhluk yang membutuhkan pasangan dan tidak menempuh jalan kesendirian sepanjang hidupnya.
Nyai Ontosoroh bagi saya adalah manifestasi perempuan pribumi yang melampaui zamannya. Bersama seorang teman, saya pernah menduga bahwa karakter imajinatif Pram ini terinspirasi dari seorang perempuan, puteri Bupati Jepara, yang ketika umur tujuh belas tahun telah menulis bukan menggunakan bahasa ibunya dan dimuat dalam majalah keilmuan di Betawi. Mengingat bahwa Pram sendiri pernah menuliskan kisahnya dalam buku dengan judul Panggil Aku Kartini Saja (1963).
Seperti yang diungkap oleh Joan McMillan:
Nyai Ontosoroh is self-made, successful, formidable, at times manipulative and, most importantly, she turns notions of female subjugation and dependency non their head. Her ability to push against and past restrictions placed on women make her an unusual female character in postcolonial Indonesian literature.
Saya setuju dengan pendapat di atas. Agaknya, di masa lalu, memang sulit untuk menemukan pengarang Indonesia yang dengan terbuka memberikan ruang kesetaraan bagi karakter perempuan dalam karya-karyanya. Memang terdapat beberapa karya sastra lawas yang membahas para perempuan di dalamnya seperti Sitti Nurbaya karangan Marah Rusli (1922) dan Nyai Dasimah karangan Gijsbert Francis (1896), namun tidak sama dengan cara pandang dan porsi yang digunakan oleh Pramoedya. Kedua novel itu pun ditulis sebelum periode kemerdekaan.
Sepertinya Nyai Ontosoroh memang salah satu karakter awal, atau kalau boleh saya menyebutnya “proto-feminist” dalam kesusasteraan Indonesia. Dan untuk Pram, yang berulang tahun pada 6 Februari lalu, yang turut merintis kesetaraan hak bagi kaum perempuan melalui kesusasteraan, mungkin layak untuk mendapatkan apresiasi dari kita.
“Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles (dia rendahkan mereka yang berkuasa dan Naikkan Mereka yang Terhina)”– Rumah Kaca, hlm. 646.