Nama Nurdin Abdullah menguat. Ia mengungguli nama-nama kandidat lain sebagai calon gubernur Sulawesi Selatan. Darimana data ini diperoleh?
Antara 11 September – 11 Oktober 2015, seorang Profesor Psikologi Politik UI melakukan survei perihal kandidat terkuat dalam kontestasi sebagai Calon Gubernur Sulawesi Selatan. Tujuan dari Survey itu untuk menghadirkan calon yang benar-benar dianggap memiliki prasyarat penting sebagai pemimpin masa depan Sulawesi Selatan. Tentu prasyarat penting tersebut meliputi kapasitas dan komitmen politiknya untuk melayani masyarakat (juga menyangkut jejak rekam dan prestasinya).
Alasan lain sebagaimana disampaikan oleh profesor, survey ini dilakukan agar rakyat tidak membeli kucing di dalam karung. Jangan sampai masyarakat hanya terpaku dengan elektabilitas dan popularitas. Kalimat ini dimaksudkan agar mereka yang memiliki nama ‘tenar’, popularitasnya tinggi di masyarakat, tidak hanya tinggal nama tenar belaka.
Tenar atau popularitas belum merupakan prasyarat penting untuk menjadi pemimpin. Uji kelayakan – kapasitas, jejak rekam, dan prestasinya, misal – melalui survey pendapat dari beberapa tokoh penting patut dijadikan rujukan. Masyarakat tidak boleh tergugah hanya dengan nama besar. Apa gunanya nama besar jika tak benar-benar sesuai dengan prasyarat kepemimpinan yang penting?
Dalam survey ini, terdapat 196 orang pakar yang dimintai pendapatnya. Adapun latar belakang mereka diantaranya terdiri dari 14,3 persen berlatar belakang profesor, 10, 7 persen profesional, 9,7 persen pengamat politik, 9,2 persen konsultan politik, 8,2 persen tokoh agama, 8,2 persen tokoh partai, pebisnis dan LSM masing-masing 8,2 persen dan tokoh pemuda 7,1 persen (Survey Opinion Leader Cagub Sulawesi Selatan)
Dalam survey ini, Profesor Hamdi Muluk membandingkan sepuluh tokoh yang dianggap memiliki popularitas di dalam masyarakat. Nama-nama yang diperbandingkan itu antara lain: (1) Nurdin Halid, (2) Nurdin Abdullah, (3) Agus Arifin, (4) Nu’mang, (5) Aliyah Mustika Ilham, (6) Aziz Qahhar Mudzakkar, (7) Ichsan Yasin Limpo, (8) Andi Mudzakkar, (9) Ni’matullah, (10) Abdul Rivai Ras dan (11) Tanribali Lamo. Dari nama-nama ini, berdasarkan jejak rekam dan prestasinya, menurut mereka (para pakar) Nama Nurdin Abdullah adalah yang paling layak. Dialah yang patut memimpin Sulawesi Selatan ke depan.
Nurdin Abdullah; Sebuah ‘Role Model’
Dengan menguatnya nama Nurdin Abdullah diantara nama-nama yang lain yang telah disebutkan di atas, semakin menegaskan bahwa sang profesor (Nurdin Abdullah) memang merupakan pemimpin yang layak sebagai pemimpin masa depan Sulawesi Selatan. Pilihan beberapa orang yang dianggap pakar setidaknya telah mewakili penegasan yang kuat. Pertimbangan-pertimbangan mereka berpijak pada pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan sebagai seorang pakar.
Lebih dari itu, kepemimpinan Nurdin Abdullah yang sukses memimpin dan memajukan Bantaeng dalam dua periode mendapat respon tersendiri. Keberhasilan ini telah membuat beberapa peneliti lain dari UI yang dipimpin oleh Prof. Eko Praharjo (Guru Besar UI dan pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi era SBY) menempatkannya sebagai ‘role model’ kepemimpinan nasional. Tim peneliti ini mengamati dan mengagumi keberhasilannya terutama di dalam membangun birokrasi (Nurdin Abdullah Jadi Role Model Pemimpin Nasional).
Terdapat dua variable yang mereka teliti yakni menyangkut sistem pelayanan dan inovasi birokrasi. Sesuatu yang membuat para peneliti ini berdecak kagum terkait upaya Profesor Nurdin Abdullah adalah menyangkut keberhasilannya melakukan pelayanan atas masyarakat di tengah keterbatasan APBD. Kepada tim peneliti, Profesor NA menegaskan bahwa daerah tidak boleh sepenuhnya bergantung pada APBD. Pemimpin daerah mesti mampu berfikir tentang bagaimana memanfaatkan potensi yang ada di daerah. Seperti yang dia lakukan pada Bantaeng, dia membangunnya melalui regionalisasi berdasarkan potensi. Dia bangun kawasan pariwisata Pantai Marina, Kawasan Seruni, rumah sakit dan kawasan pertanian. Itu yang dilakukannya dengan cara terintegrasi dan sistemik.
Kedua, yang membuat tim peneliti UI berdecak kagum adalah keberhasilannya melakukan inovasi birokrasi. Dalam menentukan posisi jabatan di dalam birokrasi, dia melakukan asesmen. Dia mendatangkan tim psikologi UI, Unhas dan LAN. Hal ini semata-mata dilakukan untuk mengetahui kemampuan dan kapasitas stafnya. Sehingga dengan cara ini, orang-orang yang terpilih benar-benar tepat memiliki kemampuan sesuai jabatannya. Dengan cara ini, dia ingin menonjolkan kerja yang menurutnya ‘by sistem’ dan bukan ‘by aktor’. Dengan kata lain, tidak penting siapapun aktor yang terpilih asal ia sesuai dengan kapasitasnya untuk menduduki jabatan-jabatan itu yang dipilih melalui sistem tersebut.
Dua terobosan ini – sistem pelayanan dan inovasi birokrasi – benar-benar menjadikannya seorang pemimpin yang memperoleh sorotan positif. Bahkan cara ini membuat tim peneliti dari UI meyakini bahwa model kepemimpinan yang digagas oleh Profesor Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng dua periode) bisa menjadi ‘role model’ kepemimpinan nasional.