Suguhan konflik negeri ini nampaknya telah terlampau kelewat ambang batas. Gesekan-gesekan yang terjadi dalam masyarakat semakin menumbalkan rasa persaudaraan, kesatuan dan kebhinnekaan. UU tentang kebebasan berpendapat nampak dijadikan kebebasan tanpa batas, tidak disertai dengan kearifan dalam melihat kelompok lain yang berbeda.
Kritik membabi buta, ujaran kebencian, hingga hoaks menjadi santapan Indonesia setiap hari, bahkan setiap detik. Tak heran, kata kunci di media sosial tak lepas dari permasalahan-permasalahan yang itu-itu saja. Berbagai ekspresi yang cenderung sarkasme terhadap kelompok lain, memang memperparah krisisnya kemajemukkan kita sebagai bangsa yang beradab. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika “Berbeda-beda tapi tetap satu” pantas untuk dipertanyakan.
Harusnya hal semacam ini menjadi kegelisahan bersama. Kegelisahan bahwa kita memang sedang dilanda defisit kemajemukkan.
Perlu kiranya memberikan pemahaman kembali nilai-nilai Pancasila sebagai payung kemajemukkan bangsa Indonesia. Segala yang terkandung dalam pancasila sebenarnya telah memberikan solusi bagi siapa saja, ras mana saja, maupun kelompok mana saja. Tapi ada saja pihak-pihak yang anti kemajemukkan, di mana pancasila hanya dijadikan tameng untuk melancarkan kepentingan kelompoknya. Miris memang, tapi inilah Indonesia, negeri kaya yang penuh jenaka.
Kita tentu melihat bagaimana pancasila dijadikan dalih melakukan berbagai kekerasan. Dimanipulasi sedemikian rupa dengan alasan menjaga dan melestarikan pancasila, namun ternyata ada yang dijejalkan demi kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Pancasila hanya dijadikan ideologi serampangan yang dengan enaknya diperebutkan untuk kepentingan legitimasi kelompok-kelompok tertentu.
Argumen normatif siapa yang paling nasionalis, pancasilais dan yang paling toleransi berhenti hanya dalam perkataan verbal. Nyatanya mereka yang nasionalis perilakunya justru merongrong kebhinnekaan. Atau mereka yang mengaku paling pancasilais, tak mencerminkan nilai-nilai Pancasila, bahkan banyak organisasi-organisasi yang mengaku berlandaskan Pancasila, tapi aktifitasnya tak mencerminkan Pancasila. Pancasila hanya dijadikan legitimasi kelompok tanpa dicari subtansinya.
Bersyukurlah Indonesia mempunyai dua organisasi besar Islam NU dan Muhammadiyah, yang terus konsisten dalam menjaga keseimbangan antara spirit keislaman dan kebangsaan. Ketakutan tagar #Jangansuriahkanindonesia, yang berkembang akhir-akhir ini adalah reaksi yang tentu menjadi catatan penting dalam merawat kemajemukan itu sendiri. Bahwa menjadi kemajemukan bukan hanya tugas NU dan Muhammadiyah, akan tetapi tugas kita semua sebagai warga negara yang cinta NKRI.
Dua Organisasi yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan ini memang mempunyai catatan panjang dalam sejarah Bangsa, Politik, Pendidikan sosial dan Budaya. Tak lepas dari peran serta esksistensi NU dan Muhammadiyah, berbagai perbedaan pendapatpun kerap mewarnai keduanya. Namun perbedaan itu tak menyulutkan semangat untuk terus merawat kebhinnekaan.
Peran NU dan Muhammadiyah tampak kembali dalam pertemuan, sebagai reaksi yang berkembangan akhir-akhir ini. Sebagai upaya menjaga NKRI dan kemajemukannya melahirkan kesepakatan yang terjadi beberapa waktu lalu. Membuktikan bahwa Indonesia tak akan menjadi suriah selama dua organisasi besar ini masih eksis sebagai perawat kemajemukkan kita.
Persoalan krisis Kemajemukan memang Persoalan dan perhatian bersama. Pertemuan NU dan Muhammadiyah adalah Representasi kegelisahan itu. Himbauan NU dan Muhammadiyah yang memunculkan poin penting berikut:
Pertama, NU dan Muhammadiyah berkomitmen menjaga keutuhan NKRI berdasarkan asas Pancasila sebagai sistem kenegaraan yang islami.
Kedua, mendukung sistem dan proses demokrasi sebagai mekanisme politik kenegaraan, dan seleksi kepemimpinan nasional yang dilaksanakan secara profesional, konstitusional, adil, jujur, dan berkeadaban.
Ketiga, meningkatkan komunikasi kerjasama yang konstruktif untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Membangun masyarakat yang makmur, baik material dan spiritual, serta peran politik kebangsaan melalui program pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan bidang strategis lainnya.
Yang terakhir, di tahun politik ini NU dan Muhammadiyah menghimbau untuk mengedepankan kearifan kedamaian, toleransi dan kebersamaan di tengah perbedaan politik. Kontestasi politik haruslah berjalan damai, cerdas dewasa serta mengedepankan kepentingan bangsa.
Empat poin tersebut membuktikan, bahwa jelas NU dan Muhammadiyah telah menjalankan fungsinya dengan baik di tengah kegaduhan bangsa dengan konflik sektarian.
Namun tak berhenti di sini tentunya, langkah positif pertemuan NU dan Muhammadiyah harus diimbangi oleh sikap pemerintah dalam mengambil kebijakan. Peran pemerintah sebagai aktor utama untuk mengembalikan nilai-nilai luhur kemajemukkan sebagai upaya menjaga stabilitas sosial dan politik.
Upaya seruan maupun tindakan pemerintah dilakukan dengan cara yang baik dan maslahah, agar tak membawa imbas perpecahan, menjadi keniscayaan sebagai bentuk pencegahan disintegrasi kebangsaan yang semakin menampakkan defisit kemajemukkan.
Tentu kita semua tak mengamini fenomena ketakutan kita menjadi suriah yang luluh lantah, karena konflik agama tak benar-benar akan terjadi. Politisasi isu agama bukanlah hal yang sehat dalam demokrasi. Narasi yang seharusnya dibangun adalah rasional, subtansial dan egaliter malah akan terciderai oleh sentimen-sentimen ideologis, yang imbasnya adalah konflik sektarian.
Oleh karena itu tak hanya NU maupun Muhammadiyah, perlu adanya kebijaksanaan pemerintah untuk memberikan keyakinan publik tentang otoritas hukum, dan pentingnya merawat kemajemukkan kebangsaan.