Senin, Oktober 7, 2024

Novel Baswedan dan Potret Keadilan

Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Staff Peneliti Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII, dan Head of Research and Development Jong Indonesische Progam (JIP)

Terngiang-ngiang di kepala sebuah asas fundamental dalam penegakan hukum “fiat justicia ruat caleum”, asas tersebut memiliki makna “keadilan hendaklah ditegakkan meski langit runtuh”. Kalimat tersebut diucapkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninusseorang negarawan Romawi sekaligus ayah mertua dari Julis Caesar. 

Memang keadilan adalah seuatu yang abstrak dan selalu diperdebatkan. Namun keberadaannya selalu dicari dan dinanti-nantikan. Hakikat keadilan telah menyatu dengan keberadaan manusia itu sendiri, oleh karenanya saat terjadi sebuah ketidakadilan. Dalam konteks yang beragaman, nilai kemanusiaan kita akan berontak serta menjerit. Sekiranya itulah yang dirasakan banyak orang dalam perkembangan kasus Novel Baswedan akhir-akhir ini.

Novel Baswedan seorang penyidik senior KPK, tiga tahun lalu menjadi korban serangan yang menyebabkan mata kirinya terluka hingga buta. Bukan sebuah akibat yang sepele, mengingat baik secara fisik maupun fungsi. Mata beliau dalam keadaan yang memprihatinkan.

Selain itu, dalam hal lain juga mengalami kondisi yang sama memprihatinkan yaitu upaya penegakan hukumnya. Setelah melalui waktu yang panjang untuk menyelidiki siapa dalang dari kasus serangan ini, kemudian membentuk tim pencari fakta yang tak terlihat hasilnya, bahkan setelah masuk ke proses litigasi dan mendengarkan tuntutan Jaksa Penutut Umum yang hanya menuntut satu tahun dengan rasionalisasi ala kadarnya. Yang terlihat hanyalah ketidakadilan yang dipertontonkan kepada publik.

Bukan tanpa sebab banyak orang beranggapan kasus ini hanya akan jadi “formalitas” penegakan hukum belaka. Saat ini, kita dihadapkan pada realitas penegakan hukum dan keadilan yang begitu memilukkan sekaligus memprihantinkan.

Sandiwara hukum

Berkali-kali pak Novel Baswedan tampil di media mengungkapkan rasa pesimisnya akan terungkapnya kasus penyerangan terhadap dirinya. Bahkan lebih jauh lagi beliau mengungkapkan rasanya tidak mungkin “aktor intelektual” yang sebenarnya terungkap. Rasa pesimis tersebut digantung selama tiga tahun lamanya, masyarakat dibiarkan untuk menonton sampai bosan sandiwara hukum yang terjadi.

Perbandingan dalam proses penyelidikan hingga penuntutan pun menjadi bahan olok-olokan terhadap kualitas penegakan hukum kasus ini. Data perbandingan antara kasus yang menimpa pak Novel Baswedan dengan kasus penganiayaan menggunakan air keras lainnya diungkap.

Yang terlihat hanyalah kesenjangan dan sebuah kepentingan, coba bandingkan saja dengan kasus Terdakwa Ahmad Irawan yang divonis 8 tahun penjara karena melakukan penyiraman air keras terhadap Muhammad Rifai hingga menyebabkan cacat permanen di mata kirinya. Serupa bukan? Kasus tersebut hanyalah salah satu contoh pembanding saja.

Dalam proses penegakan hukum, khususnya dalam perkara pidana. Setelah melalui proses penyelidikan dan penyidikan akan berlanjut dalam proses penuntutan. Dalam proses ini Jaksa Penunut Umum (JPU) memiliki peran yang sangat besar dalam menghadirkan fakta-fakta hukum dalam dakwaan dan menyampaikan tuntutan kepada Majelis Hakim sebagai bahan pertimbangan vonis nanti. Inilah yang menjadi titik kritikan banyak pihak terhadap JPU. Memiliki peran besar, tapi malah seolah-olah melindungi terdakwa dengan menghadirkan pembuktian yang serampangan dan ala kadarnya.

Penyempitan dasar penuntutan yang hanya berdasar pada ‘permasalahan individu’ tentu menjadi soal. Mengingat realita yang kita ketahui bersama bahwa kasus ini merupakan sebuah sinyal ancaman terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Sebut saja alasan Terdakwa ‘tidak sengaja’ menumpahkan air keras ke mata korban, karena dalam perencanaannya seharusnya dikenakan ke badan. Logika yang sangat ganjal ini, bahkan menjadi bahan tertawaan para komedian kita. Serta meskipun berdasarkan demikian, nilai kerugian materiil yang ditimbulkan dan pandangan masyarakat terhadap kasus ini tetaplah sama, sebuah ancaman nyata terhadap penegakan hukum dan keadilan yang sesungguhnya.

Lebih aneh lagi, alasan yang mendasarkan tuntutan satu tahun tersebut karena para Terdakwa telah bekerja di Institusi Polri selama 10 tahun dan koorperatif dalam mengikuti proses hukum yang ada.

Penulis hendak menyampaikan argumentasi sederhana. Pertama, justru jika para Terdakwa bekerja cukup lama di Polri sebagai ujung tombak penegakan hukum, maka menjadi sebuah pelanggaran berat, baik secara hukum dan etika melukai aparat penegak hukum lainnya hanya karena dasar ‘balas dendam’. Serta hal tersebut harusnya dinilai sebagai bentuk pencemaran nama baik Polri karena terkesan sebagai tempat saling menyimpan dendam.

Kedua, para Terdakwa koorperatif mengikuti proses hukum. Akan tetapi selama tiga tahun belakangan, kenapa mereka tidak mengakui perbuatannya? Justru hal ini menyulitkan proses penegakan hukum yang ada bukan? Argumentasi peringanan tuntutan yang dibangun JPU nampak memiliki berbagai persoalan.

Hukum dan Moralitas

Memang benar, ilmu dan moralitas harus berjalan beriringan. Sehingga dalam mengaplikasikan ilmu yang dimiliki, dilandaskan pada nilai-nilai moralitas yang tinggi. Dalam kasus ini, bukan hanya soal telah ditempuhnya proses penegakan hukum secara formil, melainkan juga harus digali berbagai fakta lain untuk membuahkan sebuah kebenaran materiil yang bermuara pada sebuah keadilan.

Secara filosofis makna asas yang penulis sampaikan diawal sangatlah mendasar. Karena menempatkan keadilan sebagai sebuah tujuan tertinggi yang konteksnya merujuk pada upaya penegakan hukum. Sebagaimana disampaikan oleh Gustav Radbruch mengenai teori tujuan hukum yang terdiri dari tiga komponen yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Maka keadilan harus selalui diutamakan, meski terkadang menyimpang dari kepastian atau norma hukum yang ada.

Terlihat bahwa tidak adanya proporsionalitas dalam kasus ini, seakan menunjukkan bahwa proses penegakan hukum hanya akan menjadi sandiwara hukum semata. Proporsionalitas dibutuhkan untuk meminimalisir ketidakadilan, setiap kasus pidana memang memiliki karakteristiknya masing-masing. Hal inilah yang seharusnya digali oleh JPU dengan melihat realitas yang ada bahwa terdapat sebuah ancaman dalam meraih keadilan di negeri ini.

Dalam konteks kasus ini, maka seharusnya Majelis Hakim melihat fakta sebenarnya yang menimpa pak Novel Baswedan dan tidak ikut larut dalam sandiwara hukum yang ada. Keberadaan asas ultra petita yang bermakna dimana seorang hakim memutus sebuah perkara melebihi apa yang dituntut dalam perkara tersebut. Dalam hukum acara pidana Ultra Petita mengacu pada tuntutan yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum.

Sehingga Majelis Hakim dapat melakukan penemuan hukum yang lebih berkeadilan dan berkemanfaatan dalam mengungkap serta mengadili kasus penyerangan terhadap pak Novel. Jangan sampai kasus ini menjadi luka terhadap rasa keadilan masyarkat, serta menimbulkan kesan negatif dan menurunnya tingkat kepercayaan pada lembaga penegak hukum.

Sebagai sebuah kepastian bahwa hukum bukanlah alat mainan di negeri ini dan memberikan jaminan bagi para penegak hukum yang gagah berani di luar sana, bahwa mereka semua dilindungi. Serta keadilan adalah tujuan tertinggi dari keberadaan hukum itu sendiri.

Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Staff Peneliti Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII, dan Head of Research and Development Jong Indonesische Progam (JIP)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.