Kamis, April 25, 2024

Nostalgia Masa Kelam Kaum Hawa

Angin membawa kabar bahwa yang lahir adalah seorang bayi perempuan, seketika itu, berubahlah air wajahnya menjadi merah padam, ia menyembunyikan dirinya dari keramaian, tak kuat menanggung malu sebab mampunyai buah hati perempuan, tak segan ia membunuh bayi tak berdosa itu.

Begitulah masa kelam kaum hawa abad 6 SM, bahkan sayyidina Umar Bin Khottob mengalaminya sebelum ia masuk Islam, tradisi tidak berperikemanusiaan terhadap kaum wanita telah merajalela pada masa jahiliyyah, masa kebodohan, tidak memiliki peradaban.

Tidak jarang bayi-bayi perempuan yang masih bersih tak ternoda dikubur hidup-hidup karena mereka anggap aib bila memiliki buah hati perempuan yang tidak bisa mendatangkan uang dan hanya menyusahkan, jika tidak dibunuh, dibiarkan hidup tapi dipandang rendah dan dijadikan barang warisan.

Hal serupa tidak hanya menimpa mereka yang masih baru lahir, tapi juga dirasakan oleh gadis remaja dan dewasa, dirinya seperti barang yang bisa dijual dan dibuang setelah manisnya hilang, dipindah tangankan, dipandang rendah.

Hukum rimbalah yang menjadi pegangan, siapa kuat dia dapat, siapa kaya di berkuasa, rakyat miskin semakin rendah, sedang si kaya semakin buta susila, kaum wanita tak berkutik, sedang kaum pria berada di atas awan pencakar langit.

Tidak hanya di dataran padang pasir itu, namun peristiwa tak jauh berbeda juga terjadi merajalela di pelbagai belahan benua di muka bumi, di dataran Cina, Amerika, bahkan di benua Asia, termasuk di Bumi Pertiwi ini.

Bahkan pelaku di dataran Negeri Atas Awan itu bukanlah orang-orang yang tidak memiliki peradaban, pada tahun 907 pada masa keruntuhan kerajaan Tang, prajurit-prajurit kerajaan membabi buta bertindak jauh dari jiwa ksatria, bahkan tidak berperikemanusiaan, terjadi pemerkosaan terhadap anak gadis hingga perempuan dewasa yang dirampas dari rakyat sipil, setelah nafsu birahi terpuaskan mereka tidak segan-segan mencampakkannya.

Sedangkan di Indonesia, terjadi pada awal masa penjajahan, yaitu sejak abad ke16 hingga abad 20, perempuan-perempuan Nusataran ini seakan menjadi barang dagangan yang bisa di beli oleh para turis-turis yang datang membusungkan dada dengan saku tebal, di jual, bahkan di buang.

Baru pada akhir abad 20 muncul sejumlah pahlawan wanita untuk membela kaum wanita yang tertindas seperti dari Aceh Cut Nyak Dien dan Cut Meutia, di daerah Jawa muncul Rorogusik yang membantu perjuangan suaminya, Untung Suropati, di Maluku muncul Martha Tiahahu, di daerah Sulawesi Selatan muncul Emmy Saelan,dan masih banyak lagi kaum hawa yang memperjuangkan keadailan dan moral untuk perempuan yang tertindas.

Masih di bumi pertiwi yang di katakan sebagai serpihan surga yang jatuh ke dunia, betapa banyak peristiwa pelecehan terhadap wanita yang jauh dari sifat kemanusiaan, di ataranya yang paling membekas dalam catatan lembar sejarah negara ini adalah peristiwa yang menimpa perempuan-perempuan umat Tionghoa pada mei 1998.

Mei 1998 itu merupakan masa berkabung yang kesekian kalinya bagi perempuan-perenpuan Indonesia dan merupakan puncak kegetiran perempuan di masa Orde Baru, perempuan Indonesia teruatama etnis Tionghoa di masa itu, tepatnya 13-15 mei menjadi korban eksploitasi seksual, tindakan pemerkosaan dilakukan secara sistematis dan terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia dari ujung barat hingga timur negara ini, khususnya Palembang, Solo, Surabaya, Lampung, Medan dan Jakarta.

Baru pada bulan Juni tim relawan untuk kekerasan terhadap perempuan membentuk Signatory Campaign. 4000, yang di tandangani oleh 4000 individu dari berbagai latar belakang seperti pemuka agama, akademis, aktivis perempuan, tokoh masyarakat, dan pekerja kemanusiaan, baik laki-laki maupun perempuan, dari dalam maupun luar negeri.

Bahkan tidak perlu jauh-jauh kita kembali kepada masa lalu, saat ini pun tidak sedikit pelecehan terhadap kaum perempuan yang merajalela disekitar kita, namun korban tidak bisa berkutik dan hanya menderita dan tersiiksa dalam kebisuan, dan lebih baik memilih mati dari pada menanggung malu yang tak berujung.

Namun, tak jarang  perbuatan yang sebenarnya cacat mental ini, malah dibukakan pintu selebar-lebarnya oleh orang-orang yang tak kenal penuh susila dan moral, seperti yang telah kita ketahui bahwa istilah yang di tujukan untuk perempuan cacat mental ini justru mengalami metamorfosis dan itu berpengaruh terhadap respon perilaku perempuan yang berkecimpung dalam dunia remang-remang, menjadi kupu-kupu malam serta menemani pria mata keranjang dan hidung belang.

Seperti yang kita ketahui awal istilah yang digunakan pada mereka adalah Pelacur, artinya orang yang berperilaku lacur atau buruk, orang  menyandang predikat itu berarti adalah orang yang perbuatannya buruk atau salah, sehingga predikat ini dianggap menjijikkan patut dijauhi.

Kemudia istilah Pelacur berubah menajadi Wanita Tuna susila, artinya cacat susila atau moral, orang yang menyandang predikat memiliki kecacatatan dalah hal mental dan kesusilaan atau moral, sehingga bukan lagi orang yang dengan sengaja melakukan pelanggaran, namun hal itu terjadi karena ia memiliki penyakit atau kecacatan yang tidak dikehendaki dirinya, namun terjadi dalam diriinya.

Dan saat ini, kembali istilah itu berubah, penjadi PSK (Pekerja Seks Komersial), yang beraarti seorang pekerja, sebuah profesi, padahal istilah awal sangat hina-dina sehingga orang malu untuk menyandang nama itu, berubah menjadi sangat bermartabat, karena bukanlah sebuah kecacatan melainkan sebuah pekerjaan atau profesi.

Saat Islam datang, terangkatlah martabat perempuan, ia menjadi payung hukum tidakan tidak bermoral itu, tak segan-segan memberi hukuman yang setimpal dengan apa yang diderita oleh korban kekerasan dan pelecehan seksual, pelaku pemerkosaan hukum rajam (Di lempari batu sampai mati), pelaku pembunuhan dihukum mati, sedikit demi sedikit, kekerasan berkurang, karena resiko yang harus ditanggung sangat berat.

Hukuman Kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia masih belum ada payung hukum yang secara tegas menjerat pelaku dengan hukuman yang berefek jera, oleh karena itu Rancangan Undang-Undang penghapusan kekerasan seksual merupakan sebuah momentum untuk itu.

Meski tentu, seperti yang di sebutkan oleh salah satu anggota DPR dalam salah satu berita bahwa pembasan RUU ini demikian panjang dan harus melalui antrian, namun apakah kebijakan tidak ada, karena melihat catatan Komnas perempuan terkait kekerasan seksual terhadap perempuan di indonesia mengalami perkembangan yang tidak bisa dipandang dengan mata sebelah.

Komnas perempuan mencatat dalam catatan tahunan bahwa ada 348.446 kasus kekerasan terhadapa perempuan , juga 335.062 kekerasan terhadap istri, kekerasna terhadap anak perempuan 2.227 kasus, 3.982 kasus kekerasan, diikuti kekerasan seksual sebanyak 2.979, serta kekerasan psikis sebanyak 1.404 kasus.

Mengulur waktu untuk mengesahkan RUU ini samasaja membiarkan kekerasan semakin merajalela, karena pelaku akan semakin girang karena tidak adanya payung hukum yang akan menindaknya, bebas  mempermainkan wanita seperti tradisi jahiliyyah abad ke 6 SM yang lalu, seperti kejadian yang menimpa perepuan etnis Tionghoa tahun 1998.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.