Kita bertemu dengan kata. Dengan kata kita mengetahui apa arti makna. Kata muncul di haribaan kita, di majalah, buku, puisi, sampai di dinding-dinding kota yang lecek. Melalui katalah kehidupan alhasil ada. Manusia berkisah, kita meniliknya. Kata bukan piranti remeh-temeh yang dicetak sebuah kertas yang lekas dimakan waktu. Walakin, melalui kata itulah manusia mengukir sejarahnya sendiri.
Kata dan yang silam, sering kali bergandengan cukup mesra. Masa silam yang ditelan oleh waktu itu, kemudian hadir. Pembaca diajak berimajinasi dan merasakan bahagia, sedih, atau bahkan tercambuk kala menilik sebuah kisah. Najib Mahfouz, kata dan mesir. Tiga kata itu, bila pembaca membacanya lamat-lamat, terlintas pelik-pelik Najib kala bermain dengan kata.
Mesir yang agung menorehkan ingatan mengenai Giza, Hierlogryph, Thutankamun dan corak islam yang lamat-lamat terang. Meski yang silam telah sirna, nama-nama itu terus membayang-bayangi. Begitu juga dengan Najib Mahfouz bergandengan dengan kata untuk menyoretkan peristiwa yang dihadapinya menanggung resiko mendekap kata-kata.
Najib Mahfouz mendapatkan nobel pada usia 77 tahun. Triloginya membikin pembaca international gempar. Usia mempengaruhinya dapat menilik dari pelbagai zaman. Mulai dari Raja Farouk, Gamal Abdul Naseer, Anwar Sadat dan Hoesni Mubarak. Najib dengan segala keterbatasannya menghadapi setiap kuasa itu.
Mesir yang hidup di bantara sungai Nil yang menjadi saksi bisu peradaban manusianya yang silih berganti. Melalui kata, Najib mengisi hidupnya. Ia bercerita tentang bangsanya yang penuh peluh menghadapi aral melintang. Tak pelak, pertumpahan darah kadang kala terjadi seiring aliran sungai Nil yang turut pula mengalir.
Najib membikin ribuan cerita pendek dan trilogi novel yang menarik pembaca. Melalui kisah-kisah itu, Najib mengajak pembaca untuk merasakan bagaimana teririsnya bangsa Mesir waktu itu. The Mockery Of Fate (1939), Radobais (1943), The Struggle of Thebes (1944), Aulad haritna (Children of Gebalawi) yang di mana karya itu, mengantarkan Najib menyabet penghargaan nobel 1988.
Karya Najib menggambarkan kemanusiaan. Kemanusiaan yang tertimbun oleh nafsu politik. Di situ lah tersirat bagaimana rakyat yang harus bekerja menghidupi dirinya sepenuhnya harus mencicipi kegetiran di atas nafsu tukang catur politik yang melekat kemewahan dan selalu mendaku membela kepentingan rakyat.
Setelah redupnya perang dunia ke-II, negara-negara pemenang perang mulai menampakkan tajinya. Bantuan perang, penyusupan ideologi, dan silang-sekarut perpolitik nan cukup runyam. Rentang satu tahun 1956-1957, Najib tak ingin rekaman dalam benaknya menyoal kegetiran pada perang dunia ke-II lenyap begitu saja. Beginning and The End (1949), The New Cairo (1945), dan Midaq Alley (1947), adalah saksi Najib yang menyuluh kemanusian melalui sebuah novel.
Najib mencecap resiko, kala novel the Children of Gabelawi membikin resah pembacanya yang tak sepakat. Lima tahun sebelum Najib berpulang, Tempo (10 September 2006) sempat melakukan wawancara diwakili oleh responden Zuhaid El-Qudsi. Air muka Najib sangat optimis, badannya yang kurus dibantu oleh tongkat yang menemaninya menapaki jalanan menyengat di Mesir di usia tua.
Di sela-sela tubuhnya yang bertaruh dengan waktu itu, Najib berkisah. Children of Gabelawi tak terbit di negara-negara Arab kecuali Libanon. Novel itu dituduh menodai Islam, lantaran tokoh-tokoh yang tersirat di dalamnya mengambil tokoh-tokoh dalam Qur’an; Musa, Mohammad, dsb.
Di suatu siang pada medio 1960-an, ketika Najib akan memegang gagang pintu mobil, seorang pemuda menghampirinya. Tanpa kecurigaan sama sekali, Najib menyulurkan tangannya. Derap-harap Najib pemuda itu menjulurkan tanganya, sebuah belati nan cukup tajam malah menusuk berkali-kali tubuh Najib. Ia tersungkur dan pasrah. Walakin, alhasil sang waktu masih menghendakinya hidup sampai usia 95 tahun.
Najib sangat mencintai negeri kelahirannya –Mesir. Kecintaannya bukan hanya bersifat taklid. Najib menyuguhkan sebuah gagasan dan kritik atas ketika waktu itu Mesir terlibat dalam keganasan perang tujuh hari, yang menyebabkan koalisis negera-negara kalah dalam peperangan.
Najib tersirat dalam sebuah surat dalam Anwar Sadat: Kemarau Kemarahan (Grafiti, 1986). “Jawaban kami adalah sebagai pengarang dan patriot menjadi kewajiban kami untuk membantu presiden demi kepentingan Mesir.” Secarik surat yang dibuat oleh Tawfiq el-Hakiim bersama Najib kala menyuluh perihal Mesir dan sebuah sikap untuk membikin Mesir tetap hidup. Najib mencintai mesir dengan cara yang lain. Najib terhormat dengan kuasa kata yang ia suguhkan untuk membuktikan patriotisme selain mekanisme selongsong senjata yang ia tampik.
Kuasa Kata dalam Karya Sastra Mesir
Najib hidup di banyak zaman. Raja Farouk, Gamal Abdul Naser, Anwar Sadat dan Hoesni Mubarak. Penguasa Mesir itu terekam dalam ingatan Najib. Peranan sastra cukup penting dalam sejarah Mesir. Mesir memekik setelah kekuasaan Raja Faruk dilengsengerkan. Muncul pelbagai kelompok penting, seperti Ikhwanul Muslimin yang dipimpin oleh Hasan Al-Banna, dan gerakan-gerakan revolusioner lainnya pimpinan Anwar Sadat, Muhammad Najib, dan Jama Abdul Nasser.
Pada medio setalah Farouk, gerakan Islam mencuat dan menyuluh kejayaan silam sebagai pijakan. Byzantium yang direbut, para tawanan perang salib yang dibarter dengan buku-buku Yunani Kuno, Matematika, dan pelbagai buku lainnya dengan dalih cinta ilmu dan pengetahuan dan semangat kebangsaan Mesir silam untuk medepak kolonial Prancis yang menjajah bukan hanya wilayah, namun kebudayaan. Mafhum, gerakan Islam itu, ingin membikin Mesir yang kaffah meyuluh Islam.
Kemudian, Anwar sadat yang diberondong peluru panas oleh kelompok Takfir Wal-Hajira. Sebelum Sadat diberondong awal Oktober 1981, Sadat sempat melakukan usulan kelompok Islam, seperti menyangkan adzan selama lima waktu di pemancar televisi maupun radio di Mesir, hingga mempraktikan salat lima waktu secara berjamaah. Sadat tidak menutup diri kecuali perdamaian perang dengan Israel yang berimbas kepada nyawanya sendiri.
Najib menggambarkan situasi tersebut dalam sebuah cerpen berjudul Shubah Bahjat. Cerpen itu menarik, lantaran menceritakan keluarga di Mesir yang berhadapan dengan islam saklek dan telikung kemiskinan. Najib mengkritik kelompok islam itu yang selalu mengkafirkan orang lain.
Syukri tokoh utama dalam cerita beberapa kali mengkafirkan kerabatnya dan bahkan Ibunya sendiri kala konsep pemahaman Islamnya tak sejurus dengan apa yang dipikirkan Syukri. Tak hanya itu, kelompok islam itu juga melancarkan pengancaman dan tindakan brutal lainnya untuk menegakan Islam seperti apa yang ada di dalam kepalanya.
Najib Mahfouz menulis ribuan cerpen dan beberapa Novel. Kepiawaiannya itu menegaskan bahwa kemanusiaan lebih tinggi dibandingkan agama sebagai ritus. Kita tahu, bahwa Najib yang mendekap kata itu beberapa kali menanggung resiko di Mesir yang ia cintai itu.