Sabtu, April 20, 2024

Ngalap Berkah: Mitos atau Fakta?

M. Ragil Yoga Priyangga
M. Ragil Yoga Priyangga
Aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). Mahasiswa Politik Pemerintahan Undip.

Di zaman modern, manusia tidak lagi mempercayai sesuatu yang berbau mistik. Dapat dilihat di sekitar kita kalau masyarakat sudah jauh dari aspek mistiknya dari bagaimana mereka melangsungkan hidupnya, mulai dari bangun hingga kembali tertidur.

Semua dilakukan oleh manusia modern berdasarkan rasionalitas, sehingga hal-hal yang bersifat non-rasional disingkirkan jauh-jauh. Berbeda dengan manusia tradisionalis, yang mungkin masih tercampuradukan antara realita kehidupannya dengan hal-hal yang bersifat mistik.

Dari hal yang sederhana, sepeti menanam padi, yang dulu kita lihat (setidaknya dengar dari cerita-cerita) bahwa kegiatan yang demikian diawali dengan ritual permohonan berkah. Adapun akhir dari kegiatan menanam, yakni memanen, pun diakhiri dengan ritual sedekah bumi. Setidaknya kehidupan masyarakat dulu tidak jauh dari apa yang dinamakan ngalap berkah.

Saya tidak tahu apa definisi resmi mengenai istilah dalam tradisi ngalap berkah, namun sejauh yang saya ketahui istilah itu tidak lain berarti upaya meraup karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi manusia. Seperti yang saya jelaskan diatas bahwa tradisi mistik, khususnya ngalap berkah, sudah mulai ditinggalkan. Namun jika kita peka, sebenarnya tradisi yang demikian ini justru masih banyak dilakukan disekitar kita.

Contoh sederhananya yakni sebagaimana yang ada di pesantren. Betapa banyak santeri dari tiap-tiap pesantren yang melakukan praktik ngalap berkah. Praktik tersebut dilakukan dengan berbagai tindakan, seperti salam wolak-walik (bolak-balik), makan dan minum sisa pak kyai, hingga yang lebih ekstream seperti mencium dan memakan bunga makam pun dilakukan (meski yang terakhir ini kontradiktif). Contoh tersebut tidak lain mengerucut pada satu ungkapan, yakni dalam rangka ngalap berkah.

Saya sungguh menyayangkan betapa banyak orang yang mengaku modern justru melihat ini merupakan hal yang tidak wajar dan tidak masuk akal. Dalam pandangan yang lebih fatal, tradisi ini justru dianggap sebagai bidah yang sesat menyesatkan. Saya justru berpendapat sebaliknya, tradisi yang semacam ini merupakan hal yang wajar, masuk akal, dan fakta. Jika kita sebagai pembaca modern sepakat mengatakan hal yang berbau mistik merupakan bagian dari mitos. Dan sudah seharusnya pula kembalikan mitos tersebut sebagai mitos, khususnya dalam kajian ilmiah mengenai mitos.

Kegagalan manusia modern selama ini melihat mitos dianggap sebagai sesuatu yang khayal dan tidak ada. Sikap yang demikian tentu mendistorsi pemahaman kita selama ini. Bagi seorang santri melihat ini adalah hal yang real, sebaliknya dengan anggapan orang modern.

Perbedaan anggapan ini tentu menimbulkan semacam jurang kesenjangan. Jalan untuk mempertemukan dua anggapan yang berbeda ini tidak lain adalah dengan saling memahami. Permasalahannya kini, yaa… enggan saling memahami. Sehingga menimbulkan ketegangan antar pihak.

Saya, sebagai santeri tradisional, turut kebingungan ketika harus menghadapi pertanyaan teman saya yang, menurut saya, terbelenggu kemodernan. “eh angga, kamu di pondok suka ngalap berkahnya pak kyai ya?” tanya teman saya. Jelas pertanyaan tersebut menimbulkan kesan sinis dan ngejek.

Tentu kalo saya tidak menjelaskan dengan pemahaman ala tradisionalis pasti akan dianggap sebagai orang yang penuh dengan mistik dan bidah dholalah. Namun tidak begitu jika saya memberikan pemahaman yang dapat dipahami orang modern.

Misalnya, mengenai ngalap berkah dengan salam tangan pak kyai. Hal tersebut bukan semata-mata tangannya pak kyai ada berkahnya, melainkan simbol bahwa dengan salam tangannya kita menghormati beliau sebagai orang yang penuh dengan ilmu. Sehingga dengan salam tersebut menjadikan kita merasa rendah hati dan ilmu dapat mengalir dengan baik kepada kita.

Tentu penjelasan yang sifatnya dekonstruktif yang demikian itu perlu untuk dilakukan. Urgensinya jelas, hal tersebut merupakan upaya memahami, yang selama ini kita anggap sebagai mitos, eksistensi (being) dari sebuah peradaban. Sebab, bagi Roland Barthes, memahami mitos tentu bukan upaya untuk menghilangkan mitos itu sendiri, melainkan upaya menguak ideologi tersembunyi (hidden) sebagai pesan-pesan atau makna yang terkandung di dalamnya. Sehingga dengan upaya kita memahami sebuah tradisi menjadikan kita percaya terhadap tradisi itu sendiri serta melihatnya sebagai fakta.

Apakah dengan kita memahami tradisi, khususnya ngalap berkah, telah menyelesaikan permasalahan sebagaimana tadi saya sebut sebagai jurang kesenjangan? Tentu saja belum. Terdapat persoalaan lain yang sebenarnya tidak kalah penting.

Sebagai mitos, tradisi ngalap berkah tentu menyimpan makna tersembunyi dibalik pesannya. Jika permasalahan perspektif orang modern yang bias dalam melihat mitos telah saya jelaskan, kini yang menuai masalah yakni bagaimana orang tradisionalis dalam melihat tradisinya sendiri.

Kita sepakat untuk mengatakan bahwa mitos diproduksi bukan tanpa maksud dan tujuan, melainkan syarat akan makna yang bersifat politis. Namun dalam pembacaan orang tradisional, mitos dianggap sesuatu yang hal yang bukan mitos, alias fakta. Bagi saya perlu seseorang untuk memodernisasi pemahamannya untuk keluar dari keterbelengguan pemahaman. Hal ini bukan hal yang aneh, melainkan yang umumnya terjadi. Kembali menggunakan permisalan salam tangan pak kyai.

Salam tangan tangan pak kyai yaa.. gak memberikan efek apapun kalo kita gak mau belajar. Sholawatan habib Syech gak bakal ngefek apapun pada nasib petani kita kalo gak demo. Sehingga, bagi saya perlu adanya modenisasi pemahaman bagi cara pandang orang tradisional, serta tradisionalisasi pemahaman bagi cara pandang orang modern.

Terakhir, mengenai ngalap berkah atau tradisi mistik lainnya, bagi saya bukan permasalahan mitos atau faktanya. Orang modern melihatnya sebagai mitos, dan orang tradisional melihatnya sebagai fakta.

Terlebih penting adalah melampaui dikotomi biner tersebut. Sehingga, bagi saya, ngalap berkah atau tradisi mistik lainnya tidak lain adalah mitos sekaligus fakta. Tanpa sikap yang demikian kita akan selalu terjelembab dalam lingkaran setan perspektif. Benar kata Gadamer, perlu seseorang naik lebih tinggi untuk melihat horison yang lebih luas.

M. Ragil Yoga Priyangga
M. Ragil Yoga Priyangga
Aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). Mahasiswa Politik Pemerintahan Undip.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.