Mari bicara soal stigma difabel. Labelisasi kaum difabel tentunya sudah menjamur bagi banyak masyarakat awam. Jahatnya lagi, kaum difabel sudah terlalu lengket dengan pekerjaan kelas bawah.
Hal ini justru menjadi perhatian khusus bagi kita. Jangan biarkan stigma ini terus lengket pada kaum difabel. Seringkali kita sebagai masyarakat biasa bersimpati melihat keadaan mereka. Sayangnya kita sulit untuk mentranformasikan rasa simpati tersebut menjadi rasa empati.
Kaum difabel sudah mulai mendapat perhatian dari negara. Tahun lalu, bangsa kita diramaikan dengan adanya pergelaran kompetisi atlet difabel, Asian Para Games. Penyetaraan kaum difabel benar-benar terasa saat itu.Penyetaraan ini tidak berhenti di sini saja.
Ialah Suhendar, seorang penderita tuna netra sekaligus penggagas lahirnya Newsdifabel, sebuah karya jurnalistik yang menyajikan konten-konten khusus kaum diabilitas. Media ini telah berdiri sendiri selama dua tahun sejak Januari silam. Tanpa ada campur tangan pemerintah.
Semua ini berasal dari hobi. Suhendar mampu menampung aspirasi teman-temannya yang hobi menulis artikel dan fotografi. Perasaan canggung dan gundah melihat minimnya porsi kaum difabel dalam pemberitaan dirasa kurang objketif. “Wajar sih, karena untuk sekarang ini media sudah mengalami pergeseran makna, dari yang penyaluran informasi, menjadi sarana industri,” ungkapnya.
Perlu diketahui, Newsdifabel merupakan media yang dipenuhi dengan unsur-unsur orang difabel. 100% para kontributor merupakan terman-teman difabel.
Ini pula yang menjadi cara dilaksanakannya pemberdayaan kaum difabel. Minat dan tujuan mereka sama.
Tanpa menyisihkan segala aspirasi teman-teman difabel, Suhendar mencoba memberangkatkan karya-karya tersebut dan membuat media khusus, di mana hanya melibatkan teman-teman difabel. Adapun beritanya tetap tentang disabilitas.
Sebagai seorang pendiri Newsdifabel, Suhendar secara terang-terangan menolak media ini miliknya.
Di sini ia mencoba memberikan gambaran bahwa kaum difabel itu tetap satu, dan bahkan tidak ada pembeda antara mereka dengan masyarakat umum. “Jangan sampai orang-orang berpikir media ini mempunyai tuan dan pekerja.
Kami semua sama-sama membuat rumah di mana ini menjadi tempat kami semua untuk menyampaikan pendapat, aspirasi, dan gagasan yang dengan harapan dapat menjadi pedoman masyarakat. Masyarakat barangkali ada empati untuk membantu, tapi tidak tahu caranya. Oleh karena itu, kami pakai cara ini,” lugasnya.
Lahirnya Newsdifabel pula guna setidaknya dapat menggeser banyaknya stigma yang ada. Suhendar sendiri merasa prihatin dengan eksistensi pemberitaan kaum difabel di media.
Sejumlah media pun ramai-ramai mengeksploitasi kaum difabel, seakan-akan kaum difabel mempunyai komoditas tersendiri di pasarnya.
Suhendar turut menambahkan, “Cara pandang kaum kami tidak seperti yang mereka (masyarakat) bayangkan. Kemampuan teman-teman yg dimiliki selama ini diharapkan adanya kesetaraan pandangan.”
Di sisi lain, Suhendar justru merasa kurangnya percaya diri, jika melibatkan peran pemerintah.
“Kami masih media kemarin sore”, begitulah pernyataan Suhendar yang terasa sampai ke lubuk hati.
Dua tahun empat bulan telah berlalu, namun belum ada lirikan sedikit pun oleh pemerintah. Alasannya cukup sederhana. Media ini murni didirikan independen, tanpa perlu ada campur tangan pihak aparat. Padahal, para kontributor ini bersatu dan berasal dari Wyata Guna Bandung, sebuah pusat tempat teman-teman disabilitas yang diprakarsai Kementerian Sosial
Sudah secara terang-terangan, hak pekerja kaum difabel telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam Pasal 11, telah ditegaskan bahwa kaum difabel berhak memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Dengan catatan, tanpa diskriminasi.
Dalam hal ini, pemerintah jelas belum merealisasikan regulasi mereka. Urgensi tinggi seperti ini harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah. Terlebih urgensi ini berhubungan dengan pilar demokrasi keempat, pers.
Semestinya, kurang berjalannya penerapan landasan hukum ini perlu direparasi kembali. Setidaknya pemerintah dapat melirik adanya upaya atau inovasi baru yang tidak hanya menjual nilai disabilitas. Pemerintah harus tetap memberikan perlindungan, pengayoman, serta pembinaan.
Hal ini terbukti. Salah satu kontributor Newsdifabel, Arwani yang mengidap tuna netra juga, pernah menjadi nilai jual media lain. Arwani mengaku ia pernah menjadi bahan liputan impromtu oleh wartawan lain, saat sedang liputan bersamaan.
Beruntungnya, sindikasi para media lain sama sekali tidak mengganggu proses liputan Arwani. Ia justru merasa bangga dengan hadirnya seorang wartawan difabel, yakni dirinya sendiri.
Kurangnya percaya diri ini tidak membuat api milik Suhendar padam. Ia berkeyakinan, bahwa pihak swasta dapat menjadi partner. “Kami mempunyai sebuah produk, di mana kami menjual produk disabilitas, bukan menjual disabilitas. Ini pertama di Jawab Barat,” pungkasnya.
Newsdifabel tidak bergantung pada ‘lirikan’ pemerintah. Mereka ingin masyarakat awam menilai keseriusan kinerja mereka.
Dalam jangka pendek, Newsdifabel sedang gencar-gencarnya merekrut para kontributor, yang sekiranya mempunyai motif dan tujuan yang sama. Bahkan, kaum non-difabel pun diperbolehkan mengirimkan hasil tulisannya, dengan catatan lingkup berita tetap seputar disabilitas.
Penggeseran stigma ini berhasil. Newsdifabel berhasil menumbuhkan penyeimbang dan kesetaraan sosial. Stigma lengket yang menyatakan kaum difabel terbatas karena fisiknya pun menelan ludahnya sendiri.
Kaum difabel membutuhkan kesetaraan pada umat-umatnya. Mereka mampu profesional dalam berporfesi. Mereka tidak butuh ‘disuapi’ oleh pemerintah dan masyarakat. Yang mereka butuhkan hanyalah sebuah pengakuan, bahwa mereka mampu.