Beberapa minggu yang lalu, saya mendapatkan info bahwa akan ada sebuah diskusi yang mengangkat Islam, Demokrasi, dan Identitas Indonesia sebagai topik pembicaraannya. Jelas saja saya sangat tertarik.
Sebelum me-reserved tempat, saya pun juga ikut me-share info diskusi ini ke beberapa teman saya. Siapa tahu, ada juga yang tertarik untuk menghadiri diskusi ini. Komentar yang saya dapatkan beragam, tetapi ada komentar yang begitu menarik menurut saya. Begini, “Itu kan tentang Islam, ‘Teph. Lo kan bukan Islam, untuk apa ikut-ikutan?” Menarik, bukan?
Akhirnya, tadi pagi (Kamis, 6 Desember 2018) di sela-sela kesibukan saya, saya dapat mengikuti diskusi yang menarik ini yang diselenggarakan oleh Leimena Institute dan Erasmus Huis yang bertempat di Kedutaan Besar Belanda di Jakarta sebagai tuan rumah. Penuh. Tak ada bangku kosong yang terlihat. Para mahasiswa, pengajar, periset, jurnalis, dan berbagai kalangan pun dapat terlihat di ruang diskusi yang nyaman tersebut.
Sayang seribu sayang, diskusi yang diambil dari judul buku yang ditulis oleh seorang Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif ini, tidak bisa dihadiri langsung oleh beliau sebagai penulis. Kami hanya disajikan sebuah video berdurasi kurang lebih 15 menit mengenai pendapat seorang Syafii Maarif akan Islam, Demokrasi, dan Identitas Indonesia.
Walau begitu, hal tersebut tidak menjadikan diskusi ini bagaikan tak ada nyawa. Masih ada para pembicara yang memaparkan pendapatnya masing-masing akan Islam, Demokrasi, dan Identitas Indonesia.
Sebut saja ada Bapak Jakob Tobing seorang mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh sekaligus Presiden Leimena Instutute, ada pula Ibu Elsebeth Søndergaard, seorang Diplomat Denmark, dan tentu saja Bapak Azyurmadi Azra, seorang cendekiawan muslim ternama. Selain itu hadir pula Bapak Alwi Shihab, seorang mantan Menteri dan paman dari jurnalis ternama pula, Mbak Najwa Shihab.
Kawan ketahuilah, bahwa semua yang berasal dari Arab itu adalah Islam, padahal sejatinya tidak. Begitu garis besar yang disampaikan seorang Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif atau biasa dikenal oleh Buya Syafii lewat video yang diberikan, terutama untuk para pemuda. Selain itu pula harus ditegaskan bahwa ketidakselarasan pandangan terhadap agama dapat melahirkan kesalahan konsepsi sehingga berpotensi merusak demokrasi terutama di Indonesia.
Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Bapak Azyumardi Azra akan demokrasi di Indonesia. Sebagai rakyat Indonesia seharusnya harus lebih menghargai nilai-nilai Pancasila dan menguatkan demokrasi di negeri sendiri. Jangan pindahkan apa yang terjadi di Suriah dan Yaman misalnya ke Indonesia. Hal ini juga dikuatkan karena banyaknya muslim di Indonesia yang melihat Islam di Timur Tengah sebagai panutan, hal ini lah yang menjadi salah satu pemicu tren politik identitas di Indonesia.
Hal yang perlu digarisbawahi dari pendapat cendekiawan Muslim ini adalah bahwa memang belakangan banyak gerakan yang mengatasnamakan politik identitas terutama mengaitkan diri dengan agama (kita pasti tahu gerakan tersebut), namun menurut beliau lagi, politik identitas berbasis agama tersebut juga tidak akan memenangkan kekuasaan politik di Indonesia.
Jakob Tobing pun ikut memberikan suaranya. Ia menambahkan bahwa seharusnya identitas Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya harus menjunjung tinggi apa itu keberagaman dan pluralisme.
Untuk para pemuda pula, yang merupakan generasi penerus bangsa, harus mengerti perbedaan antara berbangsa dan beragama. Sehingga mengerti pula di mana harus menempatkan ayat-ayat konstitusi dan ayat-ayat kitab suci dalam melangsungkan hidup sebagai manusia. Hal ini berlaku untuk semua agama yang dianut di Indonesia.
Bapak Alwi Shihab pun hanya menambahkan akan kekhawatirannya akan fenomena Habib yang semakin banyak ditemukan di sudut-sudut Indonesia. Padahal Habib baginya adalah seorang pembimbing yang bijak akan tutur kata hingga perlakuan dalam melihat segala sesuatu untuk kehidupan para pengikutnya. Sambil tertawa pula beliau mengatakan oleh karena itu, Abangnya tidak ingin menambahkan kata ‘Habib’ untuk namanya.
Akhir kata, kalimat yang terus saya ingat dari seorang Bapak Azyumardi Azra, seorang akademisi Islam, dengan tegas beliau mengatakan bahwa Negara Islam untuk Indonesia Is A Bad Idea. Seharusnya kita sebagai warga negara Indonesia harus bangga karena di Indonesia saja yang merayakan Hari Besar setiap agama yang dianut bersama. Kita beragam, kita berbudaya, kita punya identitas bangsa yang harus dibanggakan!
Benar. Lantas, mengapa kita takut akan keberagaman? Bukankah kita harus bangga akan itu? Saya percaya bahwa identitas masyarakat Indonesia itu sudah ada, yakni masyarakat pluralis yang toleran. Beragam yang berada di atap yang sama bernama Indonesia.
Kembali ke komentar yang saya dapatkan lewat WhatsApp, saya hanya membalas singkat saat itu, “Gak harus menjadi Islam kan untuk ikut diskusi dan belajar mengenai demokrasi di Indonesia?”
Hasilnya hanya centang biru.