Tanggal 8 Desember 2018, Denny JA membuat tulisan di kolom dinding Facebook-nya dengan judul “NKRI-Bersyariah ATAU Ruang Publik Yang Manusiawi?”.
Inti tulisannya adalah mengajak pembaca untuk menggeser cara fikir yang terjebak pada pedagogi yang menganjurkan perbaikan fondasi bangsa melalui penambahan term ‘Bersyariah’ setelah kata NKRI, ke arah diskusi-diskusi substansial, misalnya dengan merancang strategi nasional untuk menghadapi revolusi industri 4.0, kecerdasan buatan, ataupun isu lainnya yang jelas menjadi tantangan kekinian.
Bagi penulis sendiri, gagasan merubah fondasi bangsa tentu saja mengherankan. Memangnya apa yang mendesak? Tokh selama ini berbagai konflik dan permasalahan nasional relatif dapat diatasi. Tetapi, tentu saja Habib Rizieq, sang konseptor, memiliki jalan nalar yang berbeda. Boleh jadi, ko
nsepsi NKRI-Bersyariah yang dikembangkan merupakan inferensi dari analisis mendalam terhadap tantangan-tantangan bangsa. Bisa pula, semata-mata demi menggiringnya ke tampuk kekuasaan. Maka kita perlu mengetahui maksudnya tersebut.
Untuk itu, tulisan pendek ini mendiskusikan dua hal. Pertama, mencari tahu konsep NKRI-Bersyariah menurut Habib Rizieq. Kedua, mengingat banyaknya pembahasan NKRI-Bersyariah dalam perspektif agama, penulis merasa perlu untuk memberi perspektif lain yang menganalisis aspirasi tersebut dalam konsepsi Nation-Building.
Membedah NKRI-Bersyariah
Saat pagelaran aksi Reuni Alumni 212 dua tahun silam, Habib Rizieq menyerukan terbentuknya NKRI-Bersyariah. Dalam pidatonya, ia menjelaskan konsep NKRI-Bersyariah dalam beberapa indikator. Di bawah ini penulis merangkum dan membandingkannya dengan NKRI berasas Pancasila:Ternyata, konsep NKRI-Bersyariah tidaklah jauh berbeda dengan NKRI berasas Pancasila. Pantas saja, ulama lain seperti Habib Luthfi dan Gus Sholah mengatakan bahwa tanpa memakai term ‘Bersyariah’, (secara substansi) NKRI tetap bersyariah. Jika dicari bedanya, itu adalah tentang dimunculkannya keistimewaan ‘hak pribumi’ dan hubungan linier antara Pancasila dan NKRI-Bersyariah yang dijiwai Piagam Jakarta. Selain diskriminatif dan keliru, kedua premis itu tentu saja melupakan aspek penting dalam penataan sebuah sistem politik, yakni soal kebijaksanaan demi kepentingan bersama (Budiardjo, 2010).
Bila yang demikian ditanam dan terus dikembangkan, tidak mungkin ada hal lain kecuali menciptakan masyarakat yang semakin terfragmentasi. Dalam negara yang masyarakatnya demikian, timbul ketidakpercayaan antar satu elemen dengan elemen lainnya, yang karena itu tidak mampu mencapai kesepakatan tentang cara mengelola negara (Said, 2018). Konsekuensinya: konflik tak berkesudahan. Lantas, kapan menyisihkan waktu untuk pembangunan dan kesejahteraan?
Nation-Building dalam NKRI-Bersyariah
Dalam kenyataannya, membangun negara-bangsa tak selamanya berhasil. Contohnya banyak sekali, dari Somalia, Afganistan hingga Suriah. Kegagalan tersebut diawali oleh masyarakat yang terfragmentasi dan gagalnya state-building. Untuk menghindarinya, negara harus membuat political objectives (yang ‘relatif’ diterima) dan memprosesnya dalam bangunan sosiopolitik di masyarakat. Kedua komponen itu adalah bagian dari nation-building (Hippler, 2005).
Bila skenario NKRI-Bersyariah berhasil diadopsi menggantikan NKRI saat ini, maka ada tiga variabel yang harus dijawab oleh NKRI-Bersyariah berkenaan dengan Nation-Building.
Pertama, integrative ideology. Sebagai ‘ideologi bangsa’, Bersyariah berarti memberatkan diri hingga sepenuhnya memberlakukan hukum islam dan menaruhnya sebagai identitas nasional. Dengan kata lain, Indonesia menjadi negara-agama. Permasalahannya, bagaimana ia mengelola masyarakat yang non-islam?
Habib Rizieq sendiri menjamin kebebasan beragama meski kredibilitasnya dipertanyakan. Tetapi, itu bukanlah satu-satunya kebutuhan masyarakat tersebut, ia harus menjamin hak lainnya seperti keamanan dan sosioekonomi. Bila tidak, setiap harinya mereka yang non-islam akan diselimuti rasa diskriminasi. Persatuan bangsa perlahan terkikis. Formalisasi seperti itu, jangankan dipraktekan, untuk sekadar dibayangkan saja ternyata rumit.
Kedua, integration of society. Setelah terbentuk, NKRI-Bersyariah masuk pada tahap lanjutan: islamisasi sebagai agenda prioritas. Tetapi, bagaimana bila agenda itu tidak terkendali? tentu saja konflik SARA. Masyarakat satu akan melabelkan masyarakat lain sebagai musuh yang harus ‘dibinasakan’. Tahap ini juga diisi dengan kategorisasi penduduk antara pribumi dan non-pribumi berdasarkan latarbelakang agama. Sementara itu, masyarakat non-islam bukanlah tanpa respon.
Mereka bisa saja melawan kekerasan dengan kekerasan, ataupun sebagian berpindah keyakinan hanya demi keamanan dirinya. Apapun responnya, dalam globalisasi, peristiwa ini dapat mengundang kekuatan lain mengintervensi NKRI-Bersyariah melalui dalih ‘intervensi humaniter’. Kegaduhan perlahan diinternasionalisasi. Perang menjadi sangat mungkin. Kondisi semacam ini perlu dihindari.
Ketiga, functional state apparatus. Pada tahapan ini NKRI-Bersyariah tidak lagi sebatas berbicara ideologi, tetapi mengeksekusi kebijakan-kebijakan umum yang konkrit dan tepat sasaran. Tentu saja, NKRI-Bersyariah tidak dapat mengikuti model pembangunan di Timur-Tengah yang sebagian besar roda pemerintahannya berjalan cukup dengan memanfaatkan penjualan minyak. Indonesia tidak memiliki cadangan sebanyak itu.
Maka secara internal, NKRI-Beryariah harus inklusif dan meritokratik dalam menata pemerintahannya. Secara eksternal, pandangan-pandangan ektrim NKRI-Bersyariah dapat berdampak pada perubahan orientasi politik luar negeri Indonesia dan perimbangan kekuatan dalam politik internasional. Bukan tidak mungkin ia memilih beraliansi atau menjadi bagian dari suatu imperium. Bila salah strategi tentu saja yang merugi adalah warga NKRI-Bersyariah sendiri.
Kesimpulannya bagaimana? nation-building sulit terwujud dalam NKRI-Bersyariah.