Tanggal 25 Desember umat Katolik di seluruh dunia merayakan hari raya natal. Natal sebagai hari kelahiran sang juru selamat, disambut penuh syukur dan bahagia dalam hati dan tindakan umat Katolik.
Sebagai umat Katolik yang merayakan hari lahir Yesus, harus mempersiapkan diri melalui permenungan iman. Kehadiran Yesus memberikan kabar bahagia bagi seluruh umat Katolik untuk selalu terbuka kepada siapa saja.
Meskipun seringkali hari raya natal disalahpahami oleh sebagian orang sebagai hari yang penuh dengan kemewahan. Misalnya, mengenakan baju baru dan makan-makanan yang yang serba mewah. Ini tidak salah, tetapi perlu dibatasi sehingga tidak terkesan glamor. Perayaan natal sebagai bagian dari iman dapat dilakukan melalui sikap membuka diri dan saling berbagi.
Menyambut hari natal, refleksi diri merupakan suatu sikap yang sangat penting dilakukan agar penyambutan dan kebahagiaan natal dapat terserap dalam hati, pikiran dan tindakan. Melalui perayaan natal, kita harus membuka diri terhadap siapa saja yang kita temukan.
Refleksi diri bagi umat katolik punya makna, bahwa kita harus saling bersikap lebih terbuka terhadap lingkungan, di komunitas, organisasi, keluarga dan dimanapun kita berada. Kesadaran untuk merefleksikan diri harus dimulai dari diri sendiri atas pengalaman selama satu tahun agar bisa menyambut Kristus sang juru selamat dengan iman yang penuh berkat dan siap menyambut tahun baru dengan hati dipenuhi kasih.
Sebagai umat Katolik yang hidup ditengah keberagaman umat beragama, refleksi diri merupakan usaha untuk kembali merenung serta membaharukan diri lewat sikap terbuka terhadap keberagaman. Perbedaan yang tumbuh ditengah kemajemukan bangsa Indonesia merupakan kekayaan bagi masa depan Indonesia sebagai modal sosial (capital social) yang harus dirawat.
Di tengah kegembiraan natal yang disambut dengan penuh iman, umat Katolik perlu membuka diri dengan umat beragama lain melalui sikap toleransi.
Natal selain sebagai hari bahagia atas lahirnya juru selamat ketengah dunia, hari natal merupakan bentuk perayaan yang nilai utama ialah menjalin keharmonisan, kekeluargaan serta persaudaraan dengan umat beragama lain. Di sini sebetulnya, umat Katolik ditantang untuk lebih bersikap terbuka, menghargai satu dengan yang lain serta mampu menempatkan kemanusiaan sebagai nilai utama dalam kehidupan.
Umat Katolik harus menyadari peran serta tanggung jawab dalam mengembangkan sikap toleransi. Tahun 2019 boleh dibilang tahun politik, baik pemilihan umum legislatif dan presiden di laksanakan serentak. Ada banyak pembelahan politik yang muncul ditengah masyarakat selama proses pemilu berlangsung. Tidak sedikit pula ujaran kebencian (hate speech) di media sosial semakin nyaring dan menggebu-gebu.
Polarisasi sangat nampak dalam iklim politik 2019 dan nyaris politik identitas merajai semua perhelatan politik. Semua orang mulai mendaku identitasnya sebagai yang benar dan diluar itu tidak benar. Pertarungan politik digambarkan sebagai sebuah pertarungan yang ingin menunjukan sikap antagonisme dari masing-masing kubu. Di sini sebetulnya politik identitas telah menjadi racun yang membunuh setiap titik nadir demokrasi dan mengangkangi nilai-nilai demokrasi.
Pengalaman pemilihan umum merupakan bagian dari ujian kedewasaan warga negara terhadap kondisi politik dan demokrasi. Pada akhirnya, pembelahan politik selama 2019 hanya bagian dari dinamika electoral yang memang terjadi dalam setiap ritus demokrasi. Pelajaran politik (political lesson) selama tahun 2019 harus dimaknai sebagai ruang belajar.
Di sini umat Katolik ditengah kegembiraan menyambut natal dan tahun baru, seyogianya perlu merefleksikan perjalanan panjang demokrasi. Artinya, refleksi kesadaran dari umat Katolik terhadap pesta demokrasi perlu direfleksikan melalui sikap dan keterbukaan. Yesus dalam setiap ajarannya selalu mewartakan kasih. Ini merupakan ajaran Yesus bagi umat Katolik untuk lebih terbuka dan belajar dari setiap pengalaman politik.
Merawat Toleransi
Tidak ada sikap yang lebih baik dari toleransi. Sikap toleransi menggambarkan kondisi warga negara yang selalu bersikap inklusif terhadap keberagaman. Indonesia dengan corak keberagaman yang beragam tidak bisa hanya dilihat dari satu aspek tetapi perlu dilihat secara holistik yang dapat menuntun setiap warga negara untuk bersikap lebih terbuka. Di tengah keberagaman agama yang semakin berkembang, Indonesia membutuhkan satu sikap toleransi terhadap keberagaman.
Di sini sebetulnya setiap individu perlu mengembangkan kesadaran bersama. Toleransi merupakan bagian dari sikap hidup yang dipenuhi dengan kesalingpengertian sehingga menempatkan perbedaan sebagai bagian dari kehidupan.
Artinya, setiap subjek manusia harus terus menjadi ‘agen’ yang dapat mengembangkan keluasan berpikir, berkata dan bertindak. Keberagaman yang dimiliki Indonesia merupakan kekayaan yang harus dirawat melalui nilai-nilai Pancasila sebagai tonggak utama berbangsa.
Jika kita selalu mengembangkan sikap toleransi, dipastikan kita akan selalu mengenal jati diri kebangsaan yang tidak lain adalah kekayaan sebagai modal di masa depan. Mulai dari sini kita menjadi bangsa yang lebih menghargai setiap perbedaan. Menjadi warga negara berarti menjadi manusia yang siap merawat kemanusiaan orang lain sebagai bagian dari hidupnya sendiri.
Di hari raya natal, sebagai umat Katolik yang dibesarkan ditengah keberagaman, saya percaya Indonesia di hari depan akan menjadi bangsa yang jauh lebih unggul dan selalu menghargai perbedaan. Pada akhirnya, trimakasih untuk semua saudara sebangsa yang sudah merawat keberagaman di tanah Indonesia. Karena kita adalah saudara yang hidup dari sejarah yang sama.