Minggu, Oktober 6, 2024

Nasionalisme Indonesia dan Permasalahan Papua

Cusdiawan
Cusdiawan
Pembelajar. Pecinta buku, kopi dan diskusi.

Dalam buku Indonesian Political Thinking 19451965, Cornell University Press (2007), Herbert Feith memberikan gambaran yang cukup baik mengenai bagaimana pentingnya peran pemuda yang terdidik dalam membentuk sebuah kesadaran politik modern Indonesia.

Pada awal-awal tahun 1900-an, para pemuda ini, yang sebagian besar  adalah mereka yang mengenyam pendidikan di luar negeri, banyak dipengaruhi oleh berbagai macam pemikiran besar dunia, yang selanjutnya turut menginspirasi mereka dalam melakukan serangkaian kritik hingga perjuangan dalam melawan kolonialisme Belanda.

Puncaknya, pada 1928 terjadi peristiwa besar, yakni sumpah pemuda, di mana terjadi sebuah konsensus terbentuknya identitas politik Indonesia sebagai basis sebuah perjuangan untuk melawan segala bentuk kolonialisme yang dianggap menyengsarakan rakyat dan membuat rakyat akan kesulitan untuk dapat berkembang.

Menjadi pertanyaan yang menarik, bagaimana nasionalisme bisa terbentuk di kalangan pemuda? Pertama-tama, kita harus memahami bahwa nasionalisme yang terbentuk di kalangan pemuda saat itu, bukanlah nasionalisme hasil dari indoktrinasi, melainkan nasionalisme yang lahir berdasarkan dialektika pikiran.

Dialektika pikiran yang didasarkan pada teks, bagaimana para pemuda membaca essay Quest-ce qu’une nation (apa itu suatu bangsa) yang ditulis oleh Ernast Renan, membaca teks-teks soal nasionalisme India dan sebaganya, dan tentunya dialektika pikiran yang didasarkan pada realitas ataupun konstelasi sosail politik maupun ekonomi yang tengah berlangsung, di mana para pemuda yang berasal dari berbagai macam identitas primordial merasakan adanya persamaan nasib yang merentang dalam sebuah perjalanan historis, akibat kesengsaraan yang dihadirkan oleh kolonialisme Belanda.

Rasa persamaan nasib tersebut, baik yang didasarkan pada teks teoretis maupun realitas, yang kemudian mendorong lahirnya konsensus identitas politik yang bernama Indonesia, sebuah identitas politik yang melampaui semangat-semangat primordialisme, yang kemudian menjadi catatan sejarah yang amat menakjubkan dan memakau dalam khazanah perjuangan bangsa.

Nasionalisme dan Refleksi Kritis atas Papua

Dewasa ini, jargon-jargon “NKRI Harga Mati” seakan menjadi sebuah bentuk pengejawantahan dari konsep nasionalisme.

Mirisnya ketika jargon NKRI Harga Mati itu terlalu dipaksakan, bahkan dengan cara-cara militeristik, yang mengabaikan dimensi-dimensi kemanusiaan. Padahal, nasionalisme itu bisa tumbuh dengan sendirinya di dalam kepala masyarakat, seperti di Papua, manakala negara mampu hadir untuk mewujudkan kesejahteraan.

Untuk kasus Papua, sebelum berbicara soal gerakan separatisme, baiknya kita tinjau dulu secara teoretis “mengapa ada negara?”

Dalam berbagai literatur political science dijelaskan bahwa salah satu tujuan dari adanya negara, yakni untuk menciptakan kesejahteraan. Penting untuk kita catat, bahwa Papua adalah daerah dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, akan tetapi hal tersebut tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan di Papua.

Bahkan kalau kita jujur, terjadi ketimpangan yang amat tajam, antara daerah Papua dengan daerah lainnya. Lalu,bagaimana kita berbicara soal nasionalisme Indonesia di Papua, jika warga Papua saja tidak merasakan adanya persamaan nasib dengan warga daerah lainnya, sebut saja Jawa misalnya?

Penting untuk diingat kembali, bahwa apa yang disebut nasionalisme adalah suatu kesadaran adanya persamaan nasib yang membentuk sebuah identitas politik kebangsaan yang melampaui semangat primordialisme.

Jika pada masa pergerakan, nasionalisme Indonesia tumbuh karena ada perasaan persamaan nasib akibat kesewenang-wenangan yang dihadirkan kolonialisme, maka hari ini, nasionalisme itu bisa tumbuh, terutama di daerah seperti Papua, manakala mereka sudah merasakan kehadiran negara dalam mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan.

Dengan memahahami permasalahan itu, kita akan lebih paham mengapa Papua menjadi wilayah yang bergejolak, dan tidak serta merta mengangkat soal isu-isu seputar separatisme, melainkan yang lebih kita angkat dalam diskurus ruang publik politis adalah menagih apa yang menjadi raison d’etre dari negara itu sendiri.

Penting untuk dicatat, dalam diskursus ilmu-ilmu sosial, pergejolakan ataupun kondisi-kondisi yang menunjukan instabilitas sosial politik berkepanjangan, menandakan bahwa negara tengah mengalami apa yang disebut oleh Jurgen Habermas sebagai krisis legitimasi.

Dalam buku Krisis legitimasi, Qalam (2004) yang ditulis oleh Jurgen Habermas tersebut, krisis legtimasi bisa terjadi salah satunya karena negara gagal menjadi penjamin kesejahteraan masyarakat (welfare-state making). Untuk soal Papua, tentu kita bisa mengatakan bahwa negara tengah mengalami krisis legitimasi.

Bagi saya, menjadi sebuah kekonyolan ketika negara terlalu mengedepankan jargon-jargon “NKRI Harga Mati”, yang seolah jargon tersebut merupakan sebuah obat yang mujarab untuk mengatasi permasalahan di Papua.

Melihat fenomena tersebut, mengingatkan saya pada kata pengantar yang ditulis oleh Herbert Feith dalam buku Indonesian Political Thinking 1945-1965, yang menyaakan bahwa soal konflik antar-kelas, antar-etnisitas, sangat jarang mendapat perhatian dari para aktor politik di Indonesia, aktor-aktor politik Indonesia lebih banyak berbicara soal optimisme, dan apa yang dikemukakan oleh Feith tersebut masih menemukan relevansinya, terutama untuk masalah Papua.

Kita bisa melihat, setidaknya dalam ruang publik politis, dibandingkan membedah Papua dalam perspektif antroplogis-sosiologis secara mendalam, mengingat di samping isu ketimpangan, luka Papua pun semakin diperdalam karena adanya tindakan-tindakan rasialisme dan sebagainya, yang lebih sering didengar adalah soal-soal optimisme yang terkandung dalam jargon “NKRI Harga Mati”.

Dan tidak lupa, hal yang patut untuk kita sesalkan bersama, yakni pendekatan militeristik yang digunakan oleh negara untuk menyelesaikan permasalahan Papua, yang terkadang hal tersebut memakan korban sipil, terjadi penindasan-penindasan hak asasi, dan juga menimbulkan banyak ketakutan dari masyarakat Papua.

Fenomena tersebut justru dapat mengakibatkan negara semakin mengalami krisis legitimasi di Papua, terlebih lagi, secara teoretis tujuan adanya negara adalah untuk menjamin hak asasi, serta dapat menjamin adanya rasa aman, dan bukan malah menghadirkan ketakutan.

Semestinya yang dilakukan oleh negara adalah membangun relasi yang setara dalam ruang publik politis dengan Papua, dan mendasarkan hubungan tersebut berdasarkan rasio komunikatif dan selalu mengupayakan proses deliberasi guna menghadirkan intersubjektivitas.

Jangan sampai relasi yang dibangun negara dengan entitas Papua hanya mendasarkan pada rasio instrumental, yakni relasi yang menjadikan entitas Papua hanya sebagai instrumen untuk memuluskan hasrat negara semata, seperti mengeruk sumber daya alam Papua dan sebagainya.

Untuk itu, saya berharap negara bisa menyadari kekeliruan-kekeliruan dalam menangani persoalan Papua. Kekeliruan-kekeliruan dalam menangani persoalan Papua, justru dapat semakin menguatkan nasionalisme Papua (dan bukannya nasionalisme Indonesia), karena disatukan oleh memoria passionis (yakni sejarah penderitaan Papua).

Cusdiawan
Cusdiawan
Pembelajar. Pecinta buku, kopi dan diskusi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.