Jumat, Maret 29, 2024

Nasionalisme Bahasa Keropos, tapi Masih Ada Harapan

muli romzali
muli romzali
Pelajar di Unpad

Ketika para tokoh bangsa merencenakan kemerdekaan, mereka sadar bahwa kesamaan nasib dijajah saja tidak cukup untuk jadi modal persatuan bangsa. Hal lain yang tak kalah penting, adalah eksisnya suatu bahasa persatuan, tak lain Bahasa Indonesia, yang dideklarasikan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928(Kaligis: 2012).

Secara simbolis deklarasi tersebut merupakan usaha mandiri (self-help) untuk melepaskan kehidupan bangsa dari cengkraman bahasa belanda atau bahasa penjajah (Foulcher:2000). Walaupun begitu, para tokoh bangsa tetap saja hobi bercakap kemlondo.

Hari ini, tepat 90 tahun setelahnya, kita tentunya terbebas dari ancaman fisik penjajah. Namun, nyatanya pada banyak kesempatan bahasa Indonesia terbukti kesulitan mengatasi daya pikat bahasa asing di keseharian bangsa kita. Pada beberapa kelompok sosial di Jaksel, misalnya, justru bahasa Inggris yang diaku sebagai language of unity, karena memang dinilai lebih representatif dibanding bahasa Indonesia.

Perbedaan mendasar antara zaman pra-Sumpah Pemuda dan era kontemporer saat ini terletak pada konteksnya. Pada zaman perjuangan kemerdekaan, bangsa-bangsa jajahan Hindia Belanda tidak punya fondasi pemersatu. Sekarang, fondasi ini sudah ada, tapi selalu keropos bahkan sejak ia dideklarasikan, salah satunya karena keloyoannya dalam pergaulan global.

Bahasa Indonesia Bergaul dengan Gagap

Konsep-konsep baru mengenai dunia membanjiri masyarakat Timur kita melalui masuknya arus modal dalam produk-produk kebudayaan populer Barat. Sejalan dengan pandangan kulturalis Raymond Williams, produk tersebut masuk ke dalam kehidupan publik dan privat kita, yang kemudian menghasilkan pengetahuan relatif baru, yang mesti diekspresikan kepada lingkungan sosial melalui bahasa.

Bahasa Indonesia kerap gagal dalam menghasilkan kata ataupun frasa yang sanggup merepresentasikan konsep baru tersebut. Ini jadi salah satu alasan mengapa sebagian penduduk kota kosmopolitan, seperti di Jakarta, lebih memilih menggunakan bahasa asing, biasanya bahasa Inggris. Saya menyebut hubungan antara bahasa kita dengan konsep-konsep yang relatif baru tersebut sebagai pergaulan yang gagap.

Kemungkinan-kemungkinan hambatan terhadap kegagapan tersebut nyatanya sudah melembaga, setidaknya sejak era Orde Baru. Beriring masuknya arus modal asing, aturan-aturan linguistik diubah dari model bahasa Belanda ke bahasa Inggris, seperti perubahan “kw” ke bentuk “ku” untuk kosakata seperti kualitas, kuartal, dan kuas.

Lewat aturan fonetik itu, pengaruh bahasa Belanda disubstitusi oleh dominasi bahasa Inggris yang mewakili arus modal geng geopolitik AS-Eropa Barat. Represi atas kreativitas bahasa juga terjadi. Maklum, bahasa menentukan bagaimana orang berpikir, maka represilah bahasa sedemikian rupa, sehingga para penutur terkait akan manut saja.

Wartawan sebagai agen utama bahasa jadi sasaran utama dalam berjalannya regulasi tersebut. Menurut Joss Wibisono dalam Silang-Saling Indonesia-Eropa: dari diktator, musik, hingga bahasa(2014), Pusat Bahasa pada era Orde Baru merepresi media lewat kewajiban mengikuti pedoman Bahasa yang Baik dan Benar ketika menulis berita.

Pers dilarang menghasilkan suatu kata, walaupun itu dihasilkan dari penelusuran makna yang kaya akan pelajaran sejarah. Misalnya, pers dilarang menyebut seorang perempuan sebagai “Tuan”, yang dulu pada masa sastra awal Melayu abad ke-19 memang berlaku unisex.

Pusat Bahasa, kini BPPB, selaku otoritas kebahasaan sejenis Academie Francaise milik Perancis, punya peran yang memang penting dalam Bahasa Indonesia.  Moso pemerintah gak ikut bertanggungjawab atas identitas nasional negaranya? Namun, jika fungsi tersebut malah merepresi perkembangan yang awalnya direncanakan justru bikin kondisi gawat.

Melihat situasi-kondisi otoritas bahasa yang mencengkram sedemikian rupa, tak heran Bahasa Indonesia kini kepayahan menyesuaikan diri dengan zaman sehingga tersingkir dari hati sebagian orang Indonesia.

Fenomena indo-inggris, atau gaulnya disebut keminggris, misalnya. Sebagian orang-orang kaya di Jakarta kesehariannya sangat erat dengan kultur Barat yang diitari konsep-konsep berbahasa Inggris, dimulai dari pendidikan, hiburan, hingga rumah tangganya.

Banyak pengakuan mereka mencampuradukkan bahasa Inggris dengan bahasa melayu pasar kita, karena kesulitan menerjemahkan idenya ke dalam bentuk bahasa Indonesia. Mereka justru dengan mudah mengucapkannya dalam bahasa Inggris. Kenyataan ini berbanding lurus dengan jauh lebih sedikitnya pilihan lema dan kata bahasa Indonesia dibanding bahasa Inggris.

Untuk merujuk sesuatu yang berlebihan, bahasa Inggris punya exaggerate menunjuk makna melebih-lebihkan kondisi suatu fakta yang bisa diukur; excess untuk suatu yang berlebihan daripada keperluan aslinya; dan overrate punya makna merujuk pada penilaian berlebihan atas nilai individu atau sekumpulannya. Bagi bahasa Indonesia, semuanya cukup disebut “berlebihan”.

Tercatat, pada KBBI edisi kelima diluncurkan pada 2016 lalu, jumlah lema dan kata bahasa Indonesia sejumlah 126 ribu. Suatu peningkatan signifikan dari edisi sebelumnya yang memiliki 90 ribu lema dan kata saat diluncurkan.

Namun, ini masih jauh lebih sedikit dibanding bahasa Arab yang punya 12,3 juta kosakata, bahasa Inggris dengan 600 ribu, dan bahasa Perancis sejumlah 150 ribu, menurut riset yang dijalankan Sebil Center pada penghujung dekade yang lalu. Semestinya bahasa Indonesia punya potensi menyaingi bahasa-bahasa tersebut , mengingat modalitas masyarakat nusantara saat ini. Per 2018, Indonesia punya 652 bahasa daerah, tengah bersentuhan dengan bahasa asing, serta gaya hidup impor makin memenuhi ruang publik.

Kita sudah mafhum bahwa banyak orang bergaul dengan frasa-frasa daerah dibanding ungkapan yang sudah diajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Misalnya kata jancok yang berakar dari kebudayaan Jawa.

Kini orang yang tak punya keterikatan terhadap budaya Jawa pun sering mengucapkannya untuk mengekspresikan relasinya terhadap lawan bicara. Namun, ia tak diserap ke dalam KBBI resmi, berbanding terbalik dengan nasib saudaranya, yakni “asu”. Modal lainnya adalah aktifnya masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial.

Menurut Adi Budiwiyanto peneliti BPPB, penulisan lema dan kata ke dalam KBBI dilakukan melalui introspeksi dan observasi. Yang pertama disebut merupakan cara si peneliti mengandalkan ingatannya atas kata bahasa Indonesia.

Observasi dilakukan melalui pengamatan atas kata yang digunakan sehari-hari di media, buku, film, dan karya tutur lainnya. Artinya, jumlah tweet, status, dan unggahan lainnya masyarakat kita yang tak terhitung lagi merupakan modal yang bagus bagi usaha mengembangkan kosakata bahasa Indonesia. Beberapa kata seperti “galau” pun diadopsi dari media sosial.

Jadi, usaha bagi bahasa Indonesia untuk mendapatkan tempatnya di hati masyarakat Indonesia masih terbuka lebar. Orang-orang nanti bisa mempercayakan bahasa Indonesia untuk mengungkapkan ekspresinya, alih-alih bahasa asing, dan dapat menggandeng bahasa lokal dengan bahasa Indonesia. Dengan begitu, rasa kepemilikan akan Bahasa Indonesia yang utuh akan menambal beberapa lubang pada bejana imajiner bernama “nasionalisme”.

muli romzali
muli romzali
Pelajar di Unpad
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.