Minggu, Oktober 13, 2024

Nasib WNI Eks ISIS, Dilema Keamanan Atau Kemanusiaan?

Nandito Putra
Nandito Putra
Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara Kampus, UIN Imam Bonjol Padang

Presiden Joko Widodo telah menyatakan sikap atas nasib warga negara Indonesia yang pernah bergabung dengan Islamic State of Irak Suriah atau yang lebih akrab kita sebut dengan ISIS.

Pernyataan Presiden Jokowi secara tegas mengatakan tidak akan memulangkan WNI yang pernah bergabung dengan kelompok ekstrimis tersebut. Pemerintah beralasan bahwa tindakan itu didasarkan atas terancamnya keamanan negara jika WNI eks anggota ISIS dipulangkan ke Indonesia.

Seperti diketahui dari keterangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), bahwa saat ini terdapat sekitar 660 an warga negara Indonesia yang tersebar di beberapa kamp pengungsian di Suriah.

Lantas bagaimana kita melihat persoalan ini dari segi hukum dan kemanusiaan? Apakah dengan tidak memulangkan WNI yang saat ini terkatung-terkatung tanpa nasib jelas merupakan solusi yang tepat?

Jika dilihat dari kacamata hukum mengenai persoalan ini, alasan pemerintah dengan tidak memulangkan WNI eks anggota ISIS bisa dikatakan sudah tepat. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan yang terdapat pada pasal 23 UU tersebut mencantumkan sebab-sebab hilangnya kewarganegaraan seseoran.

Huruf (d) pasal 23 mengatakan bahwa seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan apabila masuk dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden. Selanjutnya pada huruf (f) di pasal yang sama juga dikatakan bahwa menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing dapat menggugurkan kewarganegaraan seseorang.

Jika kita menghubungkannya dengan kasus WNI yang pernah bergabung dengan ISIS jelas sudah bahwa saat ini mereka bukan lagi warga negara Indonesia. Yang mana hal tersebut tidak lagi menjadikan pemerintah bertanggung jawab atas mereka yang pernah bergabung dengan ISIS.

Sebab pada huruf (d) yang dituliskan di atas jika dikaitkan dengan ISIS dapat dimaknai bahwa ISIS adalah bagian dinas tentara asing. Sama halnya dengan huruf (f) yang menggunakan istilah ‘bagian dari negara asing’.

ISIS dalam hal ini adalah termasuk bagian dari negara asing, apalagi mereka melakukan kekacauan dan dicap sebagai organisasi terlarang karena menggunakan cara-cara kekerasn dan terror dalam menjalankan tujuannya.

Sebelumnya ISIS sempat menjadi ancaman bagi keamanan dunia dalam 10 tahun belakangan ini. di Indonesia sendiri, ISIS mulai melebarkan sayapnya sudah sejak lama, namun puncak besar-besarannya baru terjadi 5 tahun belakangan ini sehingga banyak WNI yang terpengaruh untuk bergabung dengan ISIS.

Saat ini ISIS telah dinyatakan bubar ketika tentara Pasukan Demokratik Suriah yang didukung oleh Amerika Serikat berhasil menguasasi wilayah-wilayah yang diduduki ISIS di Irak dan Suriah, kejadian itu berlangsung pada Maret 2019 lalu.

Kekuatan ISIS benar-benar lumpuh ketika Pimpinan mereka Abu Bakr Al-Baghdadi dinyatakan terbunuh dalam serangan yang sama. Akan tetapi saat ini kehancuran ISIS masih meninggalkan luka mendalam bagi merekea yang termakan tipu daya dan harus rela hidup terkatung-katung tanpa nasib yang belum jelas. Begitulah yang dirasakan oleh sekitar 660 an WNI eks anggota ISIS yang ditolak kehadirannya di Indonesia dengan dalih keamana negara.

Namun kita perlu juga menggunakan prespektif kemanusiaan dalam melihat persoalan ini dan tidak serta merta menghukum mereka yang telah berkhianat kepada NKRI. Mengacu kepada keterangan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) mengatakan bahwa mayoritas WNI tersebut adalah perempuan dan anak-anak.

Bahkan jika kita melihat kasus yang dialami oleh Nada Fedulla, seorang WNI yang dibawa oleh ayahnya yang menjadi anggota ISIS ke Suriah. Berdasarkan cuplikan wawancara Nada dengan BBC Indonesia yang dipublikasikan pada 5 Februari lalu, dia terpakasa dihukum karena kesalahan ayahnya.

Berdasarkan keterangan Nada Fedulla, diketahui bahwa ayahnya juga membawa seluruh anggota keluarga dan seorang neneknya yang sudah renta. Bahkan tidak ada yang tahu bahwa mereka akan dibawa ke Suriah oleh ayah Nada.

Melihat kasus yang dialami Nada ini, tentu kita tidak bisa serta merta menghukum mereka yang saat ini nasibnya tidak jelas di kamp-kamp pengungsian. Sebab tidak seluruh dari WNI tersebut berada di sana atas keinginan diri mereka sendiri.

Belum lagi para isteri dan anak-anak yang dipaksa atau tanpa sepengetahuan akan dibawa menjadi anggota ISIS. Pemerintah dalam keterangannya pun belum memberikan kejelasan akan nasib anak-anak dan perempuan yang tak tahu menahu dan tidak mempunyai niat sedikitpun untuk bergabung menjadi anggota ISIS.

Sampai saat ini Pemerintah masih menghukum sama rata dengan menolak untuk memulangkan seluruh WNI eks ISIS tersebut. Agaknya perlu untuk mengedepankan nasib anak-anak yang sama sekali tidak tahu menahu akan apa yang dialaminya, apalagi bagi anak-anak yang lahir saat orang tua mereka berada dalam penguasaan ISIS.

Atas dasr kemanusian, pemerintah harus mengambil sikap akan hal ini. Sebab kemungkinan yang lebih buruk bisa saja terjadi di masa yang akan datang ketika anak-anak dan balita yang saat ini diabaikan tumbuh dewasa. Lingkungan dan psikologis mereka pun akan terpengaruh oleh paham-paham serupa sehingga menimbulkan niat untuk membalaskan dendam kepada Indonesia yang pada masa lalu mengabaikan mereka. Ini adalah kemungkinan terburuk yang sama-sama tidak kita inginkan.

Sekali lagi, atas nama hak asasi manusia, mereka yang tidak tahu menahu harus diupayakan nasibnya.

Nandito Putra
Nandito Putra
Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara Kampus, UIN Imam Bonjol Padang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.