Jumat, April 26, 2024

Nasib Penyewa Hunian di Tengah Pandemi

Madyan Iyan
Madyan Iyan
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah

“Setiap orang berhak atas standar hidup yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan diri sendiri dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan, perawatan medis dan layanan sosial yang diperlukan.” Demikian bunyi dari pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM).

Rumah merupakan hak dasar bagi setiap orang. Di dalamnya melekat kebutuhan dasar yang hakiki bagi manusia. Bukan sekedar bangunan dengan furnitur tanpa makna. Hunian menjadi tempat kembalinya manusia setelah lelah beraktivitas, menghabiskan waktu dengan keluarga dan tempat dimana mereka tumbuh.

Dikondisi pandemi sekarang, disaat pemerintah menerapkan pembatasan sosial. Fungsi dari hunian menjadi penting. Hunian menjadi tempat tameng, pertahanan terakhir bagi diri dan keluarga untuk berlindung dari serangan penyakit.

Namun, tempo hari beredar berita yang mewartakan terdapat satu keluarga yang terusir dari kontrakannya akibat tidak mampu membayar uang sewa. Mereka tidur menggelandang di jalan dan memanfaatkan masjid untuk sarana membersihkan diri.

Dikondisi pandemi dan pembatasan sosial seperti sekarang, tentunya peristiwa ini menjadi ironi. Situasi yang seharusnya orang tinggal dirumah sebagai langkah pencegahan. Disisi lain pembatasan sosial memutus mata pencarian orang-orang, yang dampaknya berpengaruh pada penghidupan, termasuk untuk biaya sewa hunian.

Peristiwa terusirnya satu keluarga dari huniannya menunjukan bahwa terdapat kelompok rentan disituasi seperti sekarang. Terlebih bagi mereka yang mengandalkan upah harian dan pekerjaan di luar ruangan, seperti pedagang kaki lima. Maka, ketika aktivitas luar ruangan dibatasi merekalah kelompok pertama yang dirugikan.

Disini menjelaskan bahwa sektor pekerjaan memiliki pengaruh yang signifikan pada kondisi sekarang. Tapi, terdapat beberapa factor yang luput dari sorotan yakni, persoalan tanah dan sektor perumahan. Terusirnya satu keluarga dari huniannya bukan hanya menandakan ketiadaan pemasukan akibat pembatasan sosial. Tapi indikasi atas mahalnya akses untuk hunian, yang menghalangi mereka memiliki hunian layak.

Di Indonesia, persoalan hunian berkelindan dengan persoalah atas tanah. Sejak masuknya sistem kapitalisme kolonial, konsep Eropa tentang harta pribadi turut masuk dan berkembang. Tanah yang memiliki nilai guna ikut menjadi hak pribadi yang diakui kepemilikannya. Kepemilikan atasnya pun harus di daftarkan agar mendapat pengakuan secara hukum.

Masuknya konsep Eropa tentang tanah berlawanan dengan sistem penduduk lokal atas tanah. Pemerintah kolonial pun menerapkan sistem ganda atas tanah yang mengakui pula hak tanah pribumi. Namun demikian, sistem pertanahan kolonial secara keseluruhan terus merongrong hak tanah hukum adat di pinggiran kota. Dengan tujuan memperluas perkebunan komoditas ekspor.

Setelah kemerdekaan, konsep pemilikan atas tanah kian mengakar. Hans Dieter Evers dalam Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia menjelaskan kompleksitas ini. Di negara berkembang, pembangunan cenderung bergantung pada pinjaman dan dana asing. Sehingga, negara terjerembab ke dalam sistem kapitalis-dunia, dan bergantung padanya.

Evers menuturkan bahwa hal ini berakibat serius terhadap pola kepemilikan tanah. Para borjuasi dan elit kota menggunakan kesempatan dari transaksi komersial sistem kapitalis ini dengan memborong tanah di kota maupun desa. Tanah pun menjadi pemupuk kekayaan, sarana tabungan, dan simbol status. Akibatnya, harga atas tanah melambung, dan gelombang spekulasi pun melanda.

Beriringan dengan itu, akibat ketergantungan pada bantuan dan investasi asing. Negara mengizinkan masuknya perusahaan multinasional untuk berinvestasi dalam pembangunan nasional. Salah satunya memfasilitasi perusahaan properti dengan cara menyediakan lahan dan kemudahan dalam kepengurusan izin.

Berkembangnya sektor properti dengan jargon ‘modernisasi-nya’ menyebabkan lahirnya tren baru di wilayah perkotaan yakni, kawasan hunian mewah, hotel-hotel bintang lima, apartemen, gedung-gedung pencakar langit, pusat belanja mewah, dll. Kesemuanya di balut dengan branding modern.

Tren baru ini turut memunculkan fenomena gentrifikasi di wilayah perkotaan yakni, fenomena transformasi pemukiman atau kawasan yang dianggap ‘kumuh’ atau tidak modern menjadi kawasan ‘modern’. Andri A dalam penelitiannya Festival Jogokali: Resistensi Terhadap Penggusuran dan Gerakan Sosial-Budaya Masyarakat Urban menyoroti bahwa hegemoni modernisasi menimbulkan stigmatisasi pembangunan yang melabeli pemukiman bantaran sungai sebagai penyakit kota.

Pertumbuhan sektor properti yang disponsori oleh kapitalis menambah kesenjangan di dalam struktur masyarakat. Komodifikasi tanah dan hunian menjadi komoditas memisahkannya dari masyarakat. Merenggut hak dasar bagi semua orang. Mahalnya harga tanah dan hunian menciptakan ketimpangan struktural dalam penguasaan atas tanah dan keterbatasan pada akses hunian layak.

Tentunya, mereka yang tak mampu mau tidak mau menyewa hunian sebagai pilihan. Di daerah perkotaan, karena sulitnya membeli tanah dan rumah, ditambah tingginya pekerja dari luar daerah, dimanfaatkan oleh pemilik tanah untuk membangun hunian sewaan. Hunian ini menjelma dalam bentuk kos-kosan atau kontrakan. Opsi ini pun banyak dipilih pekerja luar daerah.

Pertumbuhan sektor properti yang disponsori oleh kapitalis menambah kesenjangan di dalam struktur masyarakat. Komodifikasi tanah dan hunian menjadi barang dagangan memisahkannya dari masyarakat dan martabat manusia. Merenggut keamanan yang merupakan hak dasar bagi semua orang.

Mahalnya harga tanah dan hunian menciptakan ketimpangan struktural dalam penguasaan atas tanah dan keterbatasan pada akses hunian layak. Mereka yang tak mampu, mau tidak mau menyewa hunian. Di perkotaan, kos-kosan atau kontrakan menjadi pilihan pekerja luar daerah.

Namun, kerap kali biaya sewa terlampau tinggi. Dimana sebagian besar penghasilan dihabiskan hanya untuk biaya sewa. Kemungkinan untuk menabung pun tandas, karena biaya hidup yang mencekik. Keinginan untuk memiliki hunian hanya tinggal impian.

Di kondisi pandemi seperti sekarang mereka menjadi kelompok rentan. Berkurangnya pemasukan akibat pembatasan sosial, tak mengurangi biaya hidup yang harus dipenuhi tiap harinya. Hal ini akan semakin mempersulit hidup mereka. Maka tak heran masih terdapat orang-orang yang berusaha pulang ke kampung. Ini dikarenkan terancamnya penghidupan mereka di tanah rantau.

Sudah tentu, perlu adanya perhatian dan tindakan dari pemerintah untuk memenuhi hak hidup mereka disituasi yang tak menentu seperti sekarang. Dengan menjamin hunian, dan suplai kebutuhan sehari-hari mereka. Kita sebagai masyarakat juga memiliki  tanggung jawab untuk meringani beban hidup mereka.

Disisi lain, perlu dingat bahwa permasalahan yang muncul selama pandemi. Khususnya mengenai hunian bukanlah peristiwa baru. Tapi, merupakan permasalahan struktural yang sudah ada sebelumnya. Terdorong dan timbul oleh situasi yang menekan. Sehingga menunjukan wujud aslinya.

Oleh karena itu, sudah seharusnya permasalahan yang muncul jadi catatan pemerintah. Dijadikan pelajaran dan evaluasi guna memperbaiki kebijakan terkait akses pada hunian. Sebagai wujud memenuhi HAM. Juga mewujudkan kemanusiaan yang adil.

Madyan Iyan
Madyan Iyan
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.