Dunia musik tanah air kembali berduka. Satu per satu musisi legendaris pergi meninggalkan generasi muda. Terbaru, The Godfather of Broken Heart, atau yang lebih dikenal sebagai Didi Kempot menghembuskan nafas terakhirnya hari ini. Hal itu membuat fans yang menamai diri mereka sebagai sobat ambyar, benar-benar dibuat ambyar.
Tidak mengenal tua muda, isak tangis bertebaran dimana-mana. Seolah, ada ikatan batin yang menyatukan mereka dalam satu wadah. Ambyar.
Dalam beberapa waktu terakhir, Didi Kempot telah menjadi magnet baru—meski pemain lama—wajah industri musik Indonesia. Karya-karyanya yang sempat tenggelam kini menjadi arus utama bagi generasi muda;ambyar. Ia dipuja-puja seolah, apa yang dialami kaum muda saat ini, mampu dijawab oleh Didi Kempot. Datang sebagai penyelamat dan menuntun kaum-kaum ambyar, berpikir lebih terbuka soal percintaan.
Lagu-lagu yang disajikan sang maestro pun berkutat pada permasalahan asmara. Mendendangkan patah hati, cinta yang dikhianati, dan janji yang diingkari. Jelas, itu adalah situasi sulit yang harus dihadapi kaum muda. Situasi sulit yang menurut Karl Jasper, seorang filsuf Jerman, sebagai situasi batas, termasuk di dalamnya adalah penderitaan, rasa bersalah, dan ketergantungan pada nasib.
Namun, karena didasari atas rasa sakit bersama orang-orang senasib, akhirnya kaum muda berani dan berlomba memamerkan kesedihan itu. Mengubahnya menjadi tawa sembari menumpahkan air mata. Dan itu berhasil dilakukan oleh Didi Kempot. Melalui gayanya yang humanis dan humoris, ia mampu membuat jutaan kaum ambyar bertekuk lutut dalam satu rasa.
Akan tetapi, ada hal lain yang membuat saya gusar. Entah mengapa, akhir-akhir ini kemalangan dalam bercinta seolah menjadi kebanggaan generasi muda. Mengumbar kekalahan bercinta di depan umum dan bersikap seolah dirinya baik-baik saja.
Saya tidak ingin mengatakan mereka menjadi bagian dari budak cinta (bucin), terlepas dari karya Lord Didi yang begitu fenomenal dalam lagunya. Dan biarlah itu menjadi ciri khas mereka dalam menjalani hubungan asmara.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana nasib mereka pasca kepergian sang maestro? Apakah kepergiannya akan jadi akhir bagi generasi Sad Boy and Sad Gerls?
Saya rasa, tidak semudah dan secepat itu. Ini bukan akhir dari generasi ambyar. Mereka akan tetap ada dan terus ‘berevolusi’ sembari mencintai karya karya sang maestro. Meski di satu sisi, ada yang ‘berpaling’ dari sang maestro dan menemukan idola baru.
Saat ini, ada banyak musisi Indonesia yang tampil dengan genre serupa dengan Didi Kempot, tentu dengan gaya yang lebih kekinian. Bahkan, bisa dibilang, lagu asmara menjadi genre yang paling diminati dalam belantara musik Indonesia kini.
Kiranya, pernyataan kedua menjadi yang paling memungkinkan untuk berpaling dari sang maestro, namun tidak melupakan karyanya. Mengutip pernyataan Heraclitus, filsuf Yunani yang hidup di era Pra-Sokrates mengatakan bahwa segala sesuatu mengalami perubahan terus menerus, tidak ada yang menetap. Karenanya, seseorang yang menyatakan “aku mencintaimu lagi” tidaklah sama dengan yang diucapkan pertama kali.
Menimbang generasi galau Indonesia
Belakangan ini, kritik pedas menyasar pada generasi muda Indonesia. Generasi yang sejatinya menjadi harapan bangsa, justru masih terjebak dalam krisis psikologi terhadap permasalahan asmara.
Banyak di antara mereka yang belum mampu mengatasi permasalahan terkait asmara. Mulai dari cinta yang ditolak, pasangan yang tidak setia dan sejumlah permasalahan asmara lain yang cenderung membawa mereka pada kondisi stress.
Fenomena ini merupakan gambaran dari sebuah generasi galau yang lemah dan mudah terombang-ambing arus zaman yang semakin bebas. Lalu, untuk mengatasi itu, mereka membuka kembali lembaran lama dan menemukan Didi Kempot sebagai pemandu dalam kegagalan bercinta. Tentu, tidak semua generasi muda mempunyai karakter demikian.
Munculnya generasi kegalauan ini akibat dari perubahan kebudayaan dan zaman yang semakin antah berantah. Kita telah memasuki era post-modern, yakni suatu era dimana Tindakan rasionalitas bukan lagi dianggap sebagai hal yang penting. Sementara, sesuatu yang abstrak seperti emosi dan imajinasi menjadi hal yang diagung-agungkan.
Melihat generasi muda yang cenderung galau dan lemah, saya jadi teringat dengan Nietzsche yang bercita-cita membuat manusia kuat. Dalam sebuah karyanya yang membicarakan Zarathustra, ia mengharapkan manusia dapat menjadi Ubermancsh (Superman). Sebuah manusia unggul yang mampu menundukkan zamannya yang bahkan, ia tidak terbelenggu apalagi dengan harapan wanita.
Jika Nietzsche hidup di zaman ini, mungkin filsuf asal Jerman ini akan gila lebih awal. Atau mungkin, gagasan tentang manusia super akan diganti dengan konsep manusia ambyar.
Tapi tentu, Nietzsche tidak akan sebercanda itu.