May Day atau peringatan hari buruh tahun ini terasa sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Biasanya setiap tanggal 1 Mei, para buruh selalu melakukan aksi demonstarsi untuk menyuarakan hak-haknya. Akan tetapi hari ini kebiasaan tersebut tidak akan dilangsungkan seperti biasanya.
Penyebaran pandemic Covid-19 yang semakin mengkhawatirkan tidak memungkinkan dilakukannya aksi demonstrasi. Terlebih lagi pemerintah telah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai upaya untuk menghentikan laju penyebaran Covid-19.
Di Indonesia, yang dimaksud dengan buruh adalah pekerja “berkerah biru” (blue collar) yang identik dengan miskin, berpendidikan rendah, kumuh dan marjinal. Karena tingkat kesejahteraannya berada pada level yang rendah di tengah kehidupan masyarakat.
Pengertian buruh jika mengacu dengan apa yang dikatakan Karl Marx (1818-1883), menurut Marx, di dunia ini hanya ada dua kelas masyarakat , yakni kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas borjuis adalah mereka yang memiliki alat produksi (pemilik modal) dan kelas proletar adalah mereka yang tidak memiliki alat produksi.
Merujuk pada pengertian di atas, sebenarnya mereka yang berprofesi sebagai aparatur sipil negara (ASN) pun juga termasuk dalam kategori buruh. Namun saat ini hal tersebut telah kabur sebagai upaya mengkotak-kotakan buruh.
Sehingga muncul istilah buruh, pegawai, pekerja, kaum profesional, dan sebagainya. Seperti yang dikatakan Grendi Handrastomo (2010:1) hal tersebut bertujuan agar kekuatan buruh tidak bisa diperastukan sehingga tidak mampu mempengaruhi kekuasaan politik. Dan hal ini telah mendarah daging sejak era Orde Baru hingga hari ini.
Kebijakan social distancing sebagai upaya utama untuk mencegah penyebaran Covid-19 yang ditempuh oleh berbagai negara telah menghambat sektor produksi dan distribusi barang secara global. Saat ini, di sektor industri mengalami dampak yang cukup parah.
Di seluruh dunia, miliaran tenaga kerja telah dirumahkan, bahkan mencapai pada tingkat yang menyedihkan, yakni PHK yang selalu menghantui para pekerja. Bahkan, para ekonom memprediksi dunia akan mengalami situasi resesi ekonomi. Menurut prediksi Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), pertumbuhan ekonomi global akan anjlok hingga 1,5 %-2,5%, diikuti dengan potensi pertumbuhan minus di sejumlah negara.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa dampak dari Covid-19 akan melebihi krisis yang terjadi pada 1998. Dampak penyebaran Covid-19 lebih kompleks dibandingkan dengan krisis yang terjadi pada 1998. Pasalnya, wabah ini tidak hanya berdampak pada nyawa manusia tapi juga hampir seluruh sektor kehidupan. (CNN,06/04).
Menurut catatan International Labour Organization (ILO), sekitar 2,67 miliar pekerja atau 81 % dari 3,3 miliar pekerja global telah dirumahkan, dan 1,25 miliar pekerja berada di ujung tanduk ancaman PHK.
Di Indonesia sendiri, menurut data Kemenaker menunjukkan 2,8 juta pekerja sektor formal maupun informal telah dirumahkan dan rentan PHK. Gelombang PHK telah terjadi di sejumlah propinsi, seperti PHK terhadap 24.240 tenaga kerja di Jawa Tengah, 15.054 buruh dirumahkan dan 5.047 PHK di Jawa Barat, dan 50.891 pekerja kena PHK serta 272.333 lainnya dirumahkan di DKI Jakarta.
Persoalan yang dihadapi oleh para buruh tidak berhenti sampai di situ saja. Bahkan, saat ini masih banyak ditemui di lapangan bahwa masih ada perusahaan yang tetap full time meperkerjakan buruh. Imbauan pemerintah untuk bekerja dari rumah di tengah pandemi Covid-19 tidak ditaati secara penuh oleh banyak perusahaan.
Ribuan buruh masih tetap bekerja di tengah hiruk pikuknya suasana pabrik dengan tidak adanya alat pelindung diri yang memadai, sehingga mereka sangat rentan terjangkit Covid-19.
Nasib buruh di tengah pandemi yang entah kapan berakhir ini kian terancam. Dilema yang dialami oleh buruh semakin memperburuk keadaan. Pilihan buruh kian terbatas, antara tetap bekerja agar dapat berpenghasilan namun mempertaruhkan keselamatan jiwa atau mengkarantina diri dengan taruhan harus kehilangan penghasilan.
Situasi ini memang begitu menaruh beban psikis yang besar kepada buruh. Di lain sisi, pemerintah hingga hari ini belum melakukan upaya yang serius untuk mengatasi keadaan ini. Sederet kebijakan yang telah diupayakan pun dinilai tidak tepat sasaran.
Misalnya anggaran 20 triliun rupiah yang dialokasikan untuk program kartu pra kerja. Kebijakan tersebut tidak tepat jika dilakukan di tengah keadaan seperti ini. Dua juta lebih buruh dan jutaan rakyat lainnya yang terdampak Covid-19 seharusnya dapat terbantu dengan dana sebesar itu.
Adapun tujuan dari program ini adalah untuk memberikan pelatihan kepada masyarakat yang membutuhkan, lantas kenapa tidak diberikan saja secara gratis mengingat situasi darurat ini. Namun kenyataannya tidak demikian.
Setidaknya pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang memberikan dampak secara maksimal bagi para buruh yang terancam keberlangsungan hidupnya. Sebab, yang dibutuhkan oleh buruh hari ini adalah jaminanan sosial yang akan menentukan nasib mereka di esok hari.
Di hari buruh ini merupakan momen yang tepat bagi pemerintah untuk memberikan harapan bagi kaum buruh dari ancaman Covid-19. Tentu masih banyak catatan yang mengiringnya, sepereti upaya peningkatan kesejahteraan buruh yang hingga hari ini masih sering terabaikan.
Keberpihakan negara terhadap kaum pekerja benar-benar harus dilihatkan secara serius. Jangan sampai ketika pandemi ini berakhir, nasib buruh kembali seperti biasanya tanpa adanya perubahan. Terlebih lagi RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sangat tidak berpihak kepada pekerja.
Meskippun hari ini DPR sepakat untuk tidak melanjutkan pembahasan klaster nengenai ketenagakerjaan dalam RUU tersebut, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa setelah keadaan membaik, RUU Cipta Kerja akan digodok habis-habisan. Jangan sampai!