Jumat, Maret 29, 2024

Nasib Bangsa dan Profesionalitas Guru

Ados Aleksander Sianturi
Ados Aleksander Sianturi
Mahasiswa, Founder Lingkar Studi Mahasiswa Marhaenis (LSMM). "Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Berbicara tentang nasib bangsa tidaklah bisa lepas dari peran guru. Kemajuan bangsa sejatinya adalah hasil dari pendidikan yang bermutu dan sebaliknya.

25 November adalah hari yang begitu agung di dunia pendidikan Indonesia. Suatu hari yang cukup bersejarah dan mengalami perjalanan dan perjuangan yang luar biasa hingga akhirnya ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional yang diperingati setiap tahunnya. Hari yang seyogyanya bukan sekadar seremoni sebagai ekspresi euforia akan tetapi sebagai alat refeksi sudah sampai sejauh mana peran guru bekerja nyata.

Kini, di zaman pesatnya kemajuan teknologi pemaknaan kata “guru” seperti telah tergerus kedalam pengertian semu. Semakin kesini sebutan “guru” sebagai profesi di tengah masyarakat kian mengalami peluruhan. Guru hanya dipandang sebagai sebuah profesi yang berpotensi sebagai salah satu ladang penghasilan. Guru tak lagi dipahami sebagai aktor utama dalam kemajuan bangsa. Akhirnya, wacana yang mengemuka lebih kepada kesejahteraan daripada fungsi utamanya.

Menurut UU NO. 14 Tahun 2005 Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesional yang dimaksud adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Dewasa ini, makna, peran, dan fungsi guru dipandang bukanlah hal yang utama melainkan perolehan kesejahteraan. Bukannya berlomba menciptakan prestasi dan pengabdian berdasar kemauan hati, guru saat ini berlomba semata – mata untuk eksistensi dan pujian diri. Mengejar ketertinggalan pemahaman siswa dipandang bukanlah sebagai suatu kewajiban melainkan sebuah simbolitas dan rutinitas guna lancarnya penerimaan gaji.

Selain itu, mengedepankan kesetaraan dengan profesi lainnya sepertinya sudah menjadi hal yang harus diperjuangkan. Menjadikan siswa sebagai penunjang penghasilan adalah hal yang sudah lazim dipertontonkan. Guru seakan kehilangan jati diri.

Menurut hemat penulis, guru adalah suatu profesi termulia diantara profesi lainnya. Hal ini dibuktikan dengan dianugerahkannya gelar “Pahlawan tanpa tanda jasa”. Suatu gelar yang tak ternilai harganya. Gelar ini nampaknya telah menjadi topeng yang menciderai kesucian profesi itu sendiri. Guru sering disebut sebagai orang yang digugu dan ditiru. Oleh karenanya, bagaimana perilaku murid adalah cerminan bagaimana perilaku guru. Ini merupakan hal yang tidak bisa dibantah apalagi hanya berdalih ketidakmampuan dalam mendidik.

Profesionalitas guru patutlah menjadi lirikan utama pemerintah mengingat situasi negara saat ini yang hampir dilanda krisis moral. Pertanggungjawaban sebagai generasi bangsa tidak menjadi hal yang terlalu dipedulikan lagi. Tindakan – tindakan amoral generasi saat ini seakan menjadi gulma yang nampaknya dibiarkan tumbuh begitu saja.

Penulis sendiri mengalami hal yang berbeda terkait profesionalitas guru. Guru seakan menciptakan kelas mutlak guna menegaskan kodrat siswa dan guru itu jelas berbeda. Guru pengajar siswa diajar. Siswa haruslah patuh dan tunduk kepada guru sekalipun guru itu salah. Membuminya istilah pasal 1 dan pasal 2 menjadi bukti adanya kepincangan doktrin yang berlaku sebagai bentuk ketidakprofesionalan guru yang masihlah butuh pembenahan. Pasal itu isinya begini :

Pasal 1 : Guru tidak pernah salah

Pasal 2 : Kalau guru salah, kembali kepasal satu.

Hal ini tidak bisa dianggap sebagai suatu angin lalu saja, karena kalau dibiarkan begitu saja, skakmat terhadap siswa ini akan semakin berkembang dengan gaya sesuai zamannya dan dianggap sebagai sebuah kewajaran. Oleh karena itu yang dihasilkan bukanlah suatu hal yang bermanfaat bagi perubahan nasib bangsa. Akan tetapi hal semacam ini akan lebih menjurus kepada makin membesarnya kedegilan dan ketidakdisiplinan yang jelas bertentangan dari harapan adanya sebuah pendidikan.

Kegamangan akan sebutan guru dengan makna hakikinya tentu mengusik persoalan bagaimana meletakkan kembali makna ”Guru” secara mendasar sebagai pengetahuan (logos). Jika makna guru sebagai logos tidak dipahami maka masih sangat jauh kalau kita mau berfikir mencetak atau mempraktekkan diri serta memainkan peran guru yang profesional yang kreatif di bidang apapun.

Putu Sudira, M.P dalam pendapatnya mengemukakan bahwa meletakkan dasar pemikiran guru sebagai logos menjadi sangat penting sebelum masuk kepada bagaimana mencetak guru dan mengembangkan diri sebagai guru yang profesional. Internalisasi makna logos guru kedalam hati nurani sebagai etos sangat besar pengaruhnya dalam memposisikan dan mempraktekkan diri sebagai guru dalam kehidupan sehari hari (patos).

Hanya guru yang memiliki logos, etos, dan patos yang berpeluang menjadi guru profesional yaitu guru yang meletakkan dirinya sebagai pelayan bagi manusia dalam proses memanusiakan manusia termasuk memanusiakan dirinya sendiri sebagai manusia guru. Bukan guru yang meminta pelayanan atau dilayani oleh orang lain, peminta pengemis penghargaan. Untuk menjadi guru profesional ada empat hal yang harus disadari yaitu: (1) sadar filsafati; (2) sadar teoritik; (3) sadar etik; dan (4) sadar teknis.

Ketercapaian profesionalitas guru akan berdampak nyata kepada perbaikan nasib bangsa yang sekarang dan masa depan. Pemahaman akan hakikat guru yang sebenarnya haruslah kembali ditingkatkan. Peran dan fungsi guru yang terlaksana dengan baik akan mewujudkan pendidikan yang bermutu sebagai alat utama untuk melangkah kearah kemajuan bangsa.

Guru bukanlah sekadar profesi untuk mengejar penghasilan dan ajang pencarian penghargaan. Guru adalah suatu panggilan jiwa untuk sebuah pengabdian. Pengabdian yang berguna untuk mencetak kader bangsa yang akan menentukan kemana arah bangsa ini. Cerah gelapnya nasib bangsa adalah cerminan dari sistem pendidikan yang diaktorkan oleh guru.

Oleh karena itu para guru hendaknya berlomba memberikan sumbangsih yang terbaik bukan dengan menuntut kesahteraan dari pemerintah sebagai hak melainkan pengabdian yang tulus untuk negeri. Guru haruslah tetap menjaga kehormatannya oleh karena pengetahuannya, kebijaksanaannya, kemampuannya memberikan pencerahan, kewibawaan dan kewenangannya.

Guru haruslah tetap setia memikul tanggungjawab moral dan etika yang luhur dan harus dipegang teguh. Diatas semua itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada semua guru yang sampai saat ini masih tetap setia menjalankan pengabdiannya kepada bangsa dengan ketulusan.

Selamat hari Guru.

 

Ados Aleksander Sianturi
Ados Aleksander Sianturi
Mahasiswa, Founder Lingkar Studi Mahasiswa Marhaenis (LSMM). "Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.