Pada awal bulan Juli 2017, ada 3408 anak-anak di lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan di seluruh Indonesia. Dari angka tersebut, 877 anak berstatus sebagai tahanan, dan 2531 anak berstatus narapidana. Di Papua, ada 26 anak laki-laki yang berada di balik jeruji besi. 2 anak dengan status tahanan,dan 24 anak berstatus narapidana (ditjenpas.go.id). Anak-anak ini tersebar di 4 Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dari 9 lapas/rutan yang ada di Papua, yaitu Lapas Kelas II A Abepura, Lapas Kelas II B Biak, Lapas Kelas II B Merauke, dan Lapas Kelas II B Nabire.
Hak-hak anak yang di penjara
Anak-anak yang berada di penjara tetap memiliki hak nya sebagai anak. Berdasarkan Child Right Convention, anak-anak ini memiliki hak untuk dilindungi. Mereka harus dilindungi dari berbagai kemungkinan kekerasan yang bisa saja dialami selama mereka di penjara. Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menyebutkan berbagai hak anak-anak ini:
1) diperlakukan secara manusiawi dengan mempertimbangkan umur anak; 2) dipisahkan dari orang dewasa; 3) mendapat bantuan hukum dan bantuan lain yang diperlukan; 4) melakukan kegiatan rekreasional; 5) bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; 6) tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; 7) tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; 8) memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; 9) tidak dipublikasikan identitasnya; 10) memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh Anak; 11) layanan kesehatan; and 12) hak-hak lain yang diakui perundang-undangan.
5 tahun setelah SPPA ini diundangkan, situasi anak-anak ini masih belum membahagiakan. Beberapa poin utama akan diuraikan disini.
Hak untuk dipisahkan dengan orang dewasa.
Anak-anak yang ditahan kebebasannya bisa ditempatkan di Lapas/Rutan husus anak atau yang biasa disebut dengan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Kementerian Hukum dan HAM secara resmi sudah meresmikan LPKA di seluruh Indonesia. Tetapi, masih banyak sekali LPKA-LPKA yang berada di dalam lapas dewasa. Anak-anak ini biasanya ditempatkat dalam blok/ruangan husus anak. tetapi blok ini tetap berada di dalam lapas dewasa. Di Papua, LPKA juga masih berada di dalam lapas dewasa. Belum ada satu pun LPKA di Papua yang secara husus terpisah dari lapas dewasa.
LPKA dalam lapas dewasa ini memungkinkan interaksi antara anak-anak dengan tahanan/narapidana dewasa. Hal ini bisa mengakibatkan berbagai resiko negatif yang bisa terjadi, antara lain eksploitasi anak, kekerasan fisik, verbal, dan seksual yang dilakukan oleh tahanan/napi dewasa, dan juga kemungkinan anak belajar tentang berbagai seluk beluk kriminalitas dari para tahanan dan narapidana dewasa.
Hak mendapatkan perlindungan dari resiko kekerasan
Anak-anak yang berada di tahanan menghadapi resiko yang cukup besar untuk terlibat dalam aktifitas kekerasan. Laporan tentang kekerasan fisik dan seksual tidak jarang terekspos di media. Pelakunya bisa jadi sesama anak yang berada di tahanan (biasanya adalah anak yang usianya lebih tua), petugas, dan juga tahanan/napi dewasa.
Tahun 2011, anak usia 15 yang sedang ditahan, dilaporkan disiksa dan mendapat kekerasan seksual dari 3 orang anak lain yang berada di lapas Sibolga (jpnn.com). Di Papua, petugas lapas Abepura berusia 40 tahun dilaporkan telah melakukan sodomi pada anak usia 16 tahun di dalam lapas (liputan6.com). Kekerasan seksual ini terjadi pada tahun 2014.
Penahanan anak terutama di lapas/rutan bersama dengan orang dewasa membuat anak-anak ini berada dalam resiko yang sangat besar untuk menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Tahun 2015, seorang anak di lapas Ambon dilaporkan telah mendapatkan kekerasan seksual dari napi dewasa saat dia bermain di area napi dewasa.
Penelitian terhadap anak-anak di 2 penjara menunjukkan bahwa 98% anak-anak ini mendapat kekerasan saat proses interogasi; 97% anak-anak ini dipukuli saat ditahan; dan 74% anak-anak ini mendapat pukulan pada saat ditahan (tempo.co, 2012). Semua data ini menunjukkan lemahnya perlindungan anak-anak yang kebebasannya terpaksa dirampas.
Hak Pendidikan
Pada tahun 2015, ada beberapa sekolah yang dibuka di LPKA. Sebagian besar adalah Sekolah Dasar. Di LPKA Tangerang, petugas penjara dan beberapa anggota masyarakat menjadi guru bagi anak-anak di dalam LPKA. Bagi anak-anak yang berada di LPKA yang masih bergabung dengan lapas dewasa pendidikan formal di lapas bisa dikatakan tidak ada. Ada juga anak-anak yang masih bisa melanjutkan sekolah di luar lapas dari dalam lapas.
Tetapi jumlahnya sangat kecil. Di Papua, belum ada sekolah yang dibuka di dalam penjara. Hal ini bisa jadi terkait jumlah anak di lapas-lapas di papua yang tidak sebanyak jumlah anak-anak di LPKA besar seperti di Tangerang. Sebagai gambaran, di lapas Abepura, sebagian besar anak-anaknya tidak melanjutkan sekolah. Ada sebagian yang masih memiliki kesempatan untuk melanjutkan sekolah. Namun, kondisi belajar mereka tentu tidak seperti anak-anak sekolah lain yang bisa belajar materi dulu sebelum ujian. Dengan difasilitasi oleh petugas lapas, sebagian anak-anak ini masih bisa melaksanakan ujian di dalam lapas.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa hak-hak anak yang berada di lapas/rutan terpenuhi secara baik. Padahal, konsep Hak itu adalah pembeda antara dipenuhi dengan baik, dan dipenuhi dengan seadanya. Yang menjadi alasan klise adalah minimnya anggaran dan personel. Namun, adalah hal yang perlu diingat bahwa masa depan bangsa ini berada di tangan anak-anak, termasuk anak-anak yang berada di penjara ini. Jika mereka tidak mendapatkan minimal hak-hak dasarnya, merka akan menjadi kelompok marjinal yang tidak hanya tidak akan terlibat dalam membangun bangsa tetapi mungkin juga menjadi penghambat.
Upaya Pemenuhan Hak Anak
Jumlah anak-anak ini di Papua mungkin tidak sebanyak di belahan provinsi lain di Indonesia. Tapi 26 anak ini adalah bagian dari masa depan Papua, masa depan Indonesia. Beberapa hal yang bisa diupayakan untuk memperbaiki nasib anak-anak di penjara antara lain; 1) mengupayakan LPKA yang terpisah dari Lapas/Rutan dewasa, dan juga 2) mengupayakan adanya LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) yang akan berfungsi untuk melakukan pembinaan di luar Lapas.
Papua adalah salah satu dari sedikit propinsi yang masih belum memiliki LPKS. Dengan adanya LPKS ini anak-anak ini akan mendapatkan bimbingan tanpa harus di penjara. Dengan adanya LPKS ini, berbagai hak anak antara lain hak pendidikan, hak rekreaasi, hak mendapatkan pendampingan, termasuk hak mendapatkan perlindungan dari berbagai resiko kekerasan bisa lebih mudah untuk direalisasikan.