Sabtu, April 20, 2024

Narasi Post Truth Sengketa Pemilu dalam Sidang MK

Hari Naredi
Hari Naredi
Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA

Perwujudan Demokrasi salah satunya adalah Pemilihan Umum (Pemilu), yang akan menghasilkan pemerintahan yang legitimate. Indonesia adalah negara demokrasi maka untuk menentukan seorang pemimpin bangsa harus melaksanakan proses-proses yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi.

Pemilihan Umum mengandung makna dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemimpin lahir dari rakyat dipilih oleh rakyat dan setelah terpilih pemimpin tersebut mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat.

KPU dan Bawaslu adalah organ resmi yang di akui secara sah sebagai penyelenggara dan pengawasan jalannya Pemilu. Dua paslon di beri kesempatan untuk kampanye selama kurang lebih 7 bulan untuk memastikan rakyat mendukung dan memilihnya saat pencoblosan tanggal, 17 April 2019. KPU mengumumkan hasil Pemilu tanggal 20 Mei 2019 dan menyatakan Paslon 1 menjadi Pemenang dalam Pesta Demokrasi di Indonesia.

Narasi tersebut sederhana dan mudah dicerna, kebenaran prosedural dan universal. Kebenaran itu menjadi tidak lagi sederhana karena trend saat ini kebenaran tidak lagi universal, lebih parsial dilatarbelakangi oleh beragam cara pandang dan kepentingan.

Kebenaran mendekonstruksi kebenarannya sendiri

Pemilu (Pilpres 2019) diselimuti fenomena post-truth dan bermuatan dekonstruktif. Perhatikan narasi yang dibangun sepanjang rangkaian Pemilu, Pasca Pemilu, dan saat ini sampai di depan sidang MK. Semua merasa memiliki satu kata sakti yaitu kata kebenaran. Klaim Kebenaran mewarnai pesta demokrasi di Indonesia.

Tumbuh suburnya kebenaran post-truh ini yang menjadi biang keladi hiruk-pikuk, menimbulkan kebisingan yang luar biasa dan dialektika tanpa akhir. Sengketa klaim kebenaran hasil Pilpres akhirnya berujung di meja MK. MK adalah institusi tertinggi mewakili wewenang untuk menyelesaikan sengketa hukum, maka tidak ada tempat bagi logika kebenaran di luar logika hukum.

Jika narasi kebenaran yang disampaikan di luar narasi nalar, dan logika hukum maka dapat di pastikan tidak ada ruang bagi siapapun di MK. MK adalah lembaga hukum tidak akan memberi ruang dan mengakomodasi bagi hadirnya paradigma post-truth.

Jika BW dan tim sebagai kuasa hukum menarasikan sengketa pemilu dihadapan sidang MK berdasarkan kebenaran diluar kerangka fakta hukum pemilu. Bahkan dengan penuh keyakinan menyatakan diskualifikasi hasil Pemilu, sebuah kebenaran untuk hasil Pemilu yang di menangkan paslon 01 adalah tidak sah dan menetapkan paslon 02 sebagai pemenang dengan sekian bukti argumentasi kecurangan yang dilakukan oleh paslon 01 yang bersifat TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif).

Selama kebenaran itu diluar kebenaran sesungguhnya (kebenaran fakta) yang lengkap dilampirkan dengan bukti-bukti fakta yang kuat bahwa ada kecurangan bersifat TSM bukan sekedar indikasi tanpa bukti maka pesidangan MK hanyalah sebuah “Drama Post-truth” belaka.

Drama ini lebih pas di pentaskan di ruang-ruang dialektika ide, karena kebenaran bersifat opini, etis dan estetis yang hanya tumbuh  di dalam ruang privat kualitatif. Jika kebenaran ini di paksakan muncul di dalam ruang sidang MK maka akan terjadi dialektika yang akan mendekonstruksi akan kebenarannya sendiri. Sementara diluar sidang akan lebih subur lagi fenomena post-truth yang tak terbendung.

Bersikaplah bijaksana di era post-truth ini, sehingga dapat memiliki kepekaan untuk dapat membedakan mana kebenaran yang bersifat private (opini) dan mana yang kebenaran bersifat universal (disepakati bersama) walaupun kebenaran universalpun dapat terjadi falsifikasi.

Kebenaran era post-truth adalah kebenaran yang hadirnya membelakangi fakta pada konteksnya dan lebih mengedepankan opini. Opini terdekonstruksi menjadi kebenaran itu sendiri bukan lagi kebenaran faktanya. Faktapun menjadi tenggelam ditelan opini.

Demokrasi adalah sistem bernegara dan berbangsa yang masih di terima sebagai kebenaran karena masih mampu bertahan untuk menata rakyat, memilih pemimpin dan menjadikan masyarakat lebih teratur (tidak cheotik), artinya demokrasi disesuaikan dengan lokal genius sebuah bangsa. Indonesia adalah negara Demokrasi Pancasila.

Peristiwa sengketa Pemilu ini semoga saja dapat memberikan pendidikan hukum yang mencerahkan bagi bangsa Indonesia. Apapun hasilnya narasi yang lahir dari dialektika persidangan di MK selanjutnya adalah kebenaran yang berdasarkan dalil-dalil hukum.

Semoga rakyat Indonesia dapat lebih cepat dewasa dalam berdemokrasi.

Hari Naredi
Hari Naredi
Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.