Kehidupan dunia maya (media sosial) dengan realita selama ini sudah bergeser begitu jauh, nilai-nilai yang selama ini kita sepakati bersama hilang dari kebiasaan kita di layar media sosial kita.
Tinggal yang ada ialah narasi kebencian dan caci maki. Begitu juga dengan kondisi sosial kita, semua orang membicarakan politik dengan segala argumen yang mereka bangun, akan tetapi argumen yang dibangun tidak diimbangi dengan konten data dan fakta. Sehingga yang terjadi kemudian ialah narasi-narasi kosong esensi terhadap sesuatu problem yang diperdebatkan, malah terkadang terjebak pada perdebatan berita palsu (hoax).
Sesuatu yang sejatinya bersifat “remeh-temeh” bisa menjadi besar apabila setiap sudut (angle) yang dipakai untuk menafsirkan berbeda cara, seperti kemarin perseteruan yang ramai di media sosial kita membahas perihal penyebutan surat Al-Fatihah oleh Presiden Joko Widodo, latar belakang budaya dan bahasa daerah Presiden ialah orang Jawa sontak ramai dengan gaya “medok” sang presiden. Keriuhan tersebut terjadi ketika presiden mengucapkan Al-Fatihah menjadi Al-fateka dengan logat khas orang jawa.
Perseteruan yang membahas hal begini sejatinya hanya menghabiskan stamina bangsa kita, bukan untuk memperdebatkan suatu problematika atau mendiskusikan tentang penanganan secara gotong royong untuk memulihkan saudara kita yang tengah terkena bencana malah kita meributkan logat khas yang ada di suku Indonesia.
Kemana marwah Presiden sebagai simbol negara selama ini, belakangan ini bukan hanya permasalahan Al-Fateka yang menjadi perseteruan oleh warganet, hal ini menjadi lorong akhir dari banyaknya bullying terhadap Presiden kita. Hal seperti ini tidak menggambarkan sama sekali wajah masyarakat Indonesia, yang mungkin selama ini dikenal dengan “unggah-ungguh” atau sopan santun, ramah dan mengedepankan adab dalam berkomentar terhadap seorang tokoh negarawan.
Sikap inilah yang menjadi keprihatinan kita bersama, melunturnya nilai kebaikan yang menjadi ciri wajah Indonesia di mata Internasional sedikit demi sedikit hilang dari akar rumputnya.
Lihat saja, media sosial kita masih dipenuhinya akun-akun buzzer politik, yang terkadang menggunakan akun fake untuk menjatuhkan seseorang ataupun suatu kelompok. Akun provokatif tersebut sejatinya tidak harus ada dan berkembang di negara kita yang menjunjung asas persatuan dan kesatuan. Bukan menyatukan, akun tersebut hanya memprovokatif dengan penggalan-penggalan video maupun konten yang digunakan untuk mendiskreditkan seseorang.
Masyarakat harus lebih cerdas, melihat rentetan masalah yang selama ini kita alami. Sudah seharusnya belajar dari berbagai pengalaman yang bisa merusak hubungan antar sesama dan sebangsa. Tugas kita bukan lagi untuk berperang melawan agensi negara lain untuk menjaga Indonesia kita ini, akan tetapi tugas yang bisa kita lakukan secara mudah dan murah ialah menciptakan wajah media internet kita dengan nilai-nilai yang ada dalam ideologi Pancasila kita yakni kesatuan dan persatuan.
Menyingkap Akar Kebencian
Kurangnya pemahanan literasi digital membuat kita selama ini selalu mempermasalahan sesuatu yang sejatinya “kecil”. Perseteruan selalu dikedepankan dalam menanggapi suatu permasalahan, asas mengecek kebenaran belum begitu dipergunakan oleh warganet yang ada di negara kita. Segala informasi yang berbau “viral” menjadi acuan dalam menyebar dan kadang-kadang memproduksi suatu informasi..
Merujuk Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan bahwa hasil survei mereka pada tahun 2016 bahwa media sosial online menempati urutan pertama jenis konten yang biasa diakses pengguna internet dengan presentase 97,4%. Lebih lanjut, hasil riset online diselenggarakan oleh ComScore menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara keempat yang paling banyak menggunakan facebook di dunia. Tak hanya itu, mereka memberikan julukan “Twitter Nation” kepada Indonesia sebagai negara yang paling kecanduan twitter di dunia.
Kecenderungan untuk menghakimi dan menilai seseorang juga semakin menggeliat dikolom komentar media kita, mereka berargumen hanya mengedepankan pemahaman yang tak berpacu pada asas melihat kebenaran informasi. Sehingga yang terjadi ialah pembenaran sepihak. Bahwa mereka yang tak sepemahaman akan dilabel salah, dan sebaliknya yang sepemahaman akan dijunjung yang belum tentu kebenaranya.
Semua itu bersumber dari lorong yang sejatinya terlabelkan dalam setiap diri seseorang, yakni kebencian. Semua serba salah dan tak memberikan arti sama sekali bagi mereka yang memandang seseorang baik individu atau kebijakan pemerintah yang tak mereka sukai sama sekali. Sehingga yang terjadi setiap kemelut kebijakan yang dilemparkan pemerintah di balas dengan komentar yang menghujat, mencaci-maki, mengadu domba dan menghakimi dengan kedangkalan informasi.
Sudah menjadi tugas kita bersama yang ingin agar bangsa ini senantiasa rukun dan tentram. Kegaduhan yang tak berfaedah harus segera disudahi, kecerdasan dalam bermedia sosial harus dikedepankan. Jangan sampai media sosial kita dipenuhi sampah-sampah pikiran dangkal yang tak menggambarkan sebagai bangsa yang dikenal dengan bangsa pembelajar.