Jumat, Maret 29, 2024

Narasi Ekologi yang Tenggelam

Ica Wulansari
Ica Wulansari
Pengkaji isu sosial ekologi

Apa itu ekologi? Apakah sama dengan lingkungan hidup? Sementara ini istilah yang populer adalah lingkungan hidup dibandingkan ekologi. Saya memilih menggunakan istilah ekologi terkait hubungan manusia, organisme non manusia maupun lingkungan hidup (dapat diartikan sebagai ekosistem yang merupakan komponen non manusia atau abiotik yang memiliki kandungan mineral, air atau organik).

Masalahnya apabila isu yang diangkat hanya lingkungan hidup, seolah kita (baca: manusia) terpisah darinya dan seolah berdiri sendiri. Sementara gejala kerusakan lingkungan hidup diakibatkan perilaku manusia secara langsung maupun tidak langsung berbentuk kebijakan pengelolaan maupun penggunaan lingkungan hidup. Di sini lah, isu ekologi dimunculkan karena terdapat hubungan antara lingkungan hidup dan kita sebagai manusia.

Kebetulan saat ini sedang hangat-hangatnya tahun politik, maka saya mencoba mencolek elit politik, juru kampanye, pemegang kebijakan, calon pemilih dalam pilkada dan pilpres dan segenap masyarakat untuk melakukan narasi terhadap isu ekologi. Mengapa?

Narasi ini penting karena sifatnya sederhana, mudah diingat dan bisa menjadi ‘mantra’ apabila berulang kali diperdengarkan. Misalkan narasi mencegah perilaku ugal-ugalan di jalan dengan himbauan menegaskan konsekuensi seperti “Ngebut berarti maut”. Bagaimana dengan dalil atas nama agama? Ya, bisa saja, misalkan “Kebersihan sebagian dari iman”.

Nah, untuk menjaga kebersihan saja memang belum paripurna, namun selayaknya narasi ini terus diangkat di berbagai forum dan berbagai kesempatan yang bersifat masif. Karena perubahan terjadi tidak dalam waktu yang cepat sehingga produksi narasi ekologi seharusnya terjadi secara terus menerus.

Namun, selain masalah kebersihan begitu banyak permasalahan ekologi lainnya. Narasi ini penting untuk mendorong masyarakat mengingat dirinya merupakan bagian dari lingkungan hidup, apabila alamnya rusak, maka manusia pun akan mengalami nestapa.

Namun untuk membangun lingkungan hidup yang harmonis, maka diperlukan perubahan pola pikir hingga mengubah perilaku. Langkah sederhana adalah terbentuknya kepedulian karena kepedulian terhadap lingkungan hidup sejatinya merupakan kepedulian sosial karena peduli tidak hanya untuk kepentingan dirinya, tetapi kepentingan umum yang lebih besar.

Kembali ke isu ekologi, apabila lahan tempatan terkena bencana alam akibat kerusakan lingkungan hidup menjadi dua hal yang perlu direfleksi bagi yang tidak mengalami hal tersebut (baca: buka korban bencana) yaitu:

“Apakah kita menjadi bagian kerusakan terhadap lingkungan hidup?”

“Apakah kita bersedia untuk melakukan perubahan untuk membuat lingkungan hidup menjadi lebih baik untuk ditinggali?”

Apabila dua pertanyaan refleksif tersebut mendapatkan perenungan dan kesediaan untuk melakukan perubahan sesungguhnya hal tersebut merupakan pertanda yang baik. Lantas, sekedar narasi saja apakah cukup? Belum cukup karena tentunya perlu didukung hal lain.

Hal lainnya yaitu melek ekologi (ecoliteracy). Melek ekologi merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Fritjof Capra yang merupakan fisikawan dari Amerika Serikat yang kemudian mendalami filsafat lingkungan hidup. Dalam bukunya berjudul The Web of Life yang terbit tahun 1996, Capra menegaskan bahwa: “jika tidak terdapat kesadaran terhadap lingkungan hidup, tidak terdapat bahasa, kesadaran dan tidak ada kebudayaan bahkan tidak ada keadilan.

Maka kita tidak dapat mempelajari nilai-nilai manusia, kita harus belajar bagaimana hidup secara berkelanjutan. Lebih dari milyaran tahun planet mengalami evolusi namun mampu memaksimalkan keberlanjutan, maka hal tersebut menjadi esensi melek ekologi.”

Sederhananya, melek ekologi menurut Capra adalah manusia yang sudah mencapai kesadaran yang tinggi akan pentingnya lingkungan hidup. Bentuk melek ekologi ini tersadarkan karena alam yang mampu mengelola secara berkelanjutan. Melek ekologi ini menuntun kita untuk mempelajari alam dan mengambil hikmah untuk melanjutkan kehidupan dengan sadar bahwa alam adalah bagian dari dirinya.

Pemaknaan terhadap kehidupan manusia yang sesungguhnya erat dengan lingkungan hidup semakin tercerabut ketika manusia dihadapkan dengan kehidupan modern berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga mitos terhadap alam dianggap tidak masuk akal dan kemudian teknologi mampu menjadi solusi dari berbagai hal, termasuk mengatasi rintangan alam.

Maka kesadaran yang terbangun adalah alam atau lingkungan hidp seolah nun jauh di mata. Secara sempit kemudian alam hanya diterjemahkan laut maupun hutan saja yang kasat mata, kehidupan modern dengan beton dan bangunan yang kukuh bukan merupakan bagian dari alam. Padahal sesungguhnya, kehidupan modern tengah ‘meminjam’ alam, namun dorongan materialisme membuat manusia lupa untuk memberikan ‘kompensasi’ yang seimbang untuk alam.

Untuk hubungan yang terputus dengan alam ini, maka isu ekologi ditonjolkan dalam rangka membangun hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan hidup. Isu ekologi merupakan isu yang selayaknya mendapatkan prioritas karena hubungan yang tengah dibangun dengan alam lebih banyak mengalami penyalahgunaan. Penyalahgunaan ini yang kemudian akan merugikan kehidupan manusia.

Sesungguhnya pertarungan politik merupakan perjalanan mengenai kelanjutan permasalahan lingkungan hidup akan bertambah buruk atau mengalami penyelesaian melalui seperangkat kebijakan. Isu ekologi bukan hanya ranah pembuat kebijakan atau ranah pemerintah semata, namun seluruh komponen masyarakat karena manusia merupakan bagian populasi yang menjadi sistem dalam lingkungan hidup ini sehingga mekanismenya pun menjadi sistematis mengalami keterkaitan.

Narasi ekologi dan melek ekologi memang perlu dilakukan beriringan dan dilakukan oleh semua pihak. Wacana mengenai ekologi apabila secara masif diproduksi maka harapannya mampu mengatasi kerusakan lingkungan hidup secara bersama-sama dan berupaya menjaga dan membenahi bersama-sama.

Di saat aparat Kepolisian, tokoh masyarakat dan masyarakat umum tengah berjuang memerangi hoax, bagaimana apabila kita menandingi hoax dengan isu yang tentunya menyentuh untuk kehidupan kita dan kehidupan umat manusia saat ini, esok dan masa depan?

Ica Wulansari
Ica Wulansari
Pengkaji isu sosial ekologi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.