Musim lebaran telah usai. Musim halal bihalal juga sudah mulai pudar lagi. Kaum urban telah kembali ke tempat peraduan masing-masing, menuju geliat keramaian di kota-kota besar, berjudi nasib demi masa depan yang lebih baik. Namun yang telah terlewati tidak mungkin hilang begitu saja, ia senantiasa meninggalkan sesuatu, apapun itu.
Pun lebaran kali ini, ia meninggalkan satu kegelisahan untuk saya. Satu narasi yang kemudian menjadi pembicaraan utama di ruang publik tentu adalah narasi tentang cinta beserta segenap padanannya: jodoh, pasangan, keluarga, dan lain-lain dalam makna yang sempit.
Muncul kemudian broadcast-broadcast yang menuliskan “fulan beserta keluarga” (meskipun belum menikah), “fulan yang belum berkeluarga”, “fulan dan keluarga yang sedang otw”, dan lain-lain. Lebaran seolah-olah menjadi momentum paling pas untuk menunjukkan status pernikahan, baik yang masih lajang maupun yang sudah berpasangan.
Muncul juga narasi berupa pertanyaan “kapan nikah?”, seolah-olah setiap anak muda harus menjadi korban pertanyaan tersebut, dan mereka akan dengan bangga menjadikan hal itu sebagai pembahasan utama. Sekali lagi ini menegaskan bahwa seolah-olah lebaran menjadi momentum yang paling pas untuk menunjukkan status pernikahan.
Bolehlah kita sebut hal ini dengan “cinta”. Disini kita artikan dulu dengan cinta yang sempit, yang berhubungan dengan sepasang anak muda, entah apapun bentuk hubungannya.
Narasi cinta ini ternyata tidak hanya berhenti di lebaran, ia senantiasa menjadi narasi arus utama baik di lebaran maupun di selain lebaran, meskipun intensitasnya akan naik secara drastis ketika lebaran. Saya menjadi teringat hal lain, bahwa hiburan di televisi kita sangat banyak yang berbau cinta.
Dari saya kecil sampai hari ini, saya tidak pernah melihat FTV yang terlepas dari narasi cinta. Sinetron yang ditonton setiap malam oleh adik-adik kita mengekspos habis-habisan tentang hubungan percintaan laki-laki dan perempuan.
Ekspansi budaya Korea yang sedang menggejala juga menjadi salah satu indikasi bahwa ruang publik kita dikuasai oleh narasi percintaan. Benar bahwa tidak semua drama korea bercerita tentang percintaan. Namun, mayoritas drama korea bercerita tentang hal itu. Tidak lupa lengkap dengan berbagai musik Korea yang membanjiri industri hiburan kita dengan narasi percintaan.
Belum lagi berbicara musik. Memang ada musik-musik selain aliran utama seperti indie, metal, hardcore, dan lain-lain. Namun tetap saja yang menguasai ruang publik kita hari ini adalah lagu-lagu pop seputar percintaan, bisa kita cek misalnya dengan lagu-lagu yang diputar di berbagai ruang publik, maupun trending topic yang dengan mudah kita jumpai. Bahkan musik dangdut –musik alternatif masyarakat melayu- juga tidak kalah dalam mengekploitasi benda abstrak bernama cinta ini.
Kita pindah ke buku. Kita harus mengakui bahwa dalam berbagai survey, negara kita adalah negara dengan tingkat literasi yang sangat rendah. Namun tentu kita tidak 100% buta literasi. Sayangnya, minoritas yang sudah mulai membaca buku ini juga tidak jauh dari apa yang kita bicarakan. Tanyakan kepada adik-adik perempuan kita yang mulai menginjak usia remaja, buku apa yang mereka senangi. Rata-rata mereka akan menjawab novel. Dan, novel apa yang mereka senangi? Rata-rata mereka akan menjawab novel-novelnya Boy Chandra, Fiersa Besari, dan yang sebangsa dengan mereka.
Kita tentu tidak bisa melepaskan pembicaraan ini dari fenomena “hijrah” secara simbolis, yang kemudian menjurus kepada urusan percintaan. Yang muncul kemudian adalah kajian-kajian merah jambu yang memotivasi pemuda-pemudi kita untuk segera melangsungkan pernikahan. Forum-forum ini yang kemudian turut menyuarakan narasi-narasi percintaan di ruang publik yang mereka kuasai.
Hal ini turut dilanggengkan oleh budaya pendidikan kita, dimana tidak sedikit dosen yang membicarakan narasi-narasi ini di sela-sela perkuliahan, dengan dalih agar kuliah dapat berjalan santai. Seolah-olah forum akademik di bangku kuliah dibuat untuk mentertawakan orang-orang yang belum menikah, atau men ciyee-ciyee mereka yang sudah menikah sebagai pasangan muda.
Makna
Jika “cinta” yang kita maksud diatas adalah dalam makna sempit, sekarang kita beralih ke makna yang lebih luas. Memaknai kata “cinta” tentu menjadi pelajaran yang sangat ringan dan barangkali kita semua sudah menyelesaikannya. Namun, dalam tataran praktis kita sering lupa dan kemudian justru turut menyumbang polusi narasi ini ke ruang publik sehingga menjadi tidak sehat.
Cinta tidak selalu harus dimaknai sebagai hubungan sepasang laki-laki dan perempuan. Terkadang kita lupa bahwa bapak tauhid, Ibrahim, melakukan pengorbanan yang begitu besar atas nama cinta kepada Tuhannya. Ia rela hampir menyembelih putranya demi cintanya kepada Tuhan. Ia rela meninggalkan istri & anak bayinya di gurun tandus –yang hari ini kita kenal dengan nama Makkah- demi cintanya kepada Tuhannya.
Kita lupa bahwa Isa datang dengan ajaran kasih sayang yang luar biasa sehingga muncul kredo di kalangan umat Kristen yang berbunyi “jika engkau ditampar pipi kanan, maka berikan pipi kiri”. Kita sering lupa bahwa Muhammad, di akhir hayatnya, sibuk memanggil umatnya “ummati, ummati” (umatku, umatku). Berbeda dengan sinetron yang kita tonton hari ini, orang-orang yang sedang sakaratul maut akan memanggil kekasihnya, cerita yang dengan sangat mudah kita tebak bukan?
Kita lupa bahwa di kemudian hari lahir tokoh besar dari Minang bernama Tan Malaka yang tidak pernah menikah, konon karena “Republik” yang turut ia perjuangkan belum mencapai kemerdekaan 100%. Seolah-olah cintanya terhadap tanah air lebih besar dari cintanya kepada makhluk indah bernama perempuan.
Kita lupa bahwa revolusioner-revolusioner besar dunia senantiasa mencintai hal-hal yang besar dibandingkan dengan kesenangan ranjang mereka sendiri. Mereka mencintai keadilan, kebijaksanaan, kemanusiaan, dan kedamaian.
Dalam skala mikro, kita sering lupa bahwa cinta orang tua terhadap anaknya merupakan cinta yang lebih tulus dibandingkan apapun. Kita lupa bahwa cinta kiai kampung terhadap masyarakatnya merupakan cinta tulus tanpa pamrih.
Tentu, narasi cinta dalam makna seperti ini lebih sehat daripada cinta yang sempit, yang mengekploitasi hubungan sepasang laki-laki dengan perempuan. Barangkali kita bisa mulai dengan memproduksi ulang banyak hal, mulai dari sinetron-sinetron kita yang harus lebih edukatif, lagu kita harus menjadi lagu-lagu yang menyehatkan nalar, bacaan kita harus menjadi bacaan dengan gagasan yang besar, dan pembicaraan di ruang-ruang akademik kita harus dijauhkan dari hal-hal yang tidak sepatutnya.
Setelah saya menyelesaikan tulisan ini, saya baru sadar bahwa ada tetangga saya yang memainkan musik dengan sangat kencang. Saya mendengar liriknya berbunyi “aku tak tau apa yang terjadi, antara aku dan kau. Yang kutau pasti, ku benci tuk mencintaimu”.