Dalam hal memandang kearifan lokal berikut unikumnya, sebenarnya bukan merupakan barang baru dalam agama Islam. Dunia fikih Islam mengenal istilah ‘urf, yakni istiadat yang makruf (telah dikenal) di suatu tempat, yang khas, dan berkaitan dengan kemaslahatan lokal.
Islam, misalnya, toleran dalam memandang matriarkisme Minang, yang menetapkan perempuan sebagai pihak peminang. Dengan demikian, perempuan menemukan posisi kuatnya. Ketika terjadi cekcok rumah tangga, lelaki yang harus angkat kaki. Tujuan besar dari kemaslahatan lokal (‘urf) Minang tersebut adalah melindungi perempuan sebagai kelompok rentan.
Islam membolehkan ‘urf semacam itu. Selama suatu kemaslahatan lokal tidak bertentangan dengan Islam, ia bahkan bisa diadopsi menjadi bagian dari fikih. Kajian tentang ‘urf berkembang ketika Islam mulai merambah daerah-daerah baru, dengan segala unikumnya.
Namun, hari ini kita membutuhkan kajian ‘urf dalam sentuhan yang berbeda. Mengadopsi ‘urf adalah satu soal, sedangkan menghormati keberadaan ‘urf adalah soal lain.
Ini soal nalar. Fikih (atau dalam pengertian yang lebih luas, Hukum Islam) punya ragam bentuk nalar. Apa yang dibolehkan bukan berarti harus dipuja—mencintai Nabi Muhammad, misalnya, tidak boleh sampai membuat kita menyembahnya. Apa yang pantas dipuja tidak lantas membuat manusia bebas menciptakan ritus—sholat subuh tidak boleh ditambah jadi tiga raka’at, hanya karena saking cinta pada Allah.
Nalar lain yang penting dipahami adalah: apa yang dilarang bukan berarti harus dimusuhi.
Babi dan anjing, misalnya. Keduanya terlarang untuk dikonsumsi, tapi bukan berarti keduanya harus dibenci. Keduanya ciptaan Allah, dan Allah tidak menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia. Hukum haram atas konsumsi tidak melahirkan hukum wajib menyakiti anjing dan babi. Seorang muslim tidak diajarkan sewenang-wenang.
Selain itu, seorang muslim harus terlatih menangkap adanya kemaslahatan. Dalam riwayat fikih, terdapat kajian yang membolehkan umat Islam memelihara anjing untuk keperluan tertentu, semisal berburu. Bahkan daging buruan yang terdapat bekas gigitan anjing—anjing itu membantu tuannya menangkap buruan—tetap boleh dikonsumsi.
Kearifan Lokal dalam Hadits
Ruang dalam fikih, sesungguhnya, sangatlah luas. Pertimbangan berkembang di tiap situasi, dengan tetap harus merujuk pada al-Qur’an dan riwayat kebijaksanaan (hadits) Nabi. Namun faktor penentunya adalah penguasaan atas dalil: seberapa peka menangkap ‘maksud’ sebuah ayat, dan seberapa banyak riwayat yang diketahui.
Karena banyak juga riwayat yang ‘tidak sampai’ pada umat. Tidak banyak yang tahu, di Madinah terdapat panggung gembira milik orang-orang Ethiopia, yang diisi pertunjukan musik dan tari-tarian. Untuk kegembiraan penghuni kota, Nabi membolehkannya. ‘Riwayat langka’ semacam itu bisa ditemukan dalam sejumlah karya Dr. Nizar Abazhah, ahli hadits dan sejarah Madinah.
Mungkin terdengar aneh, tapi memang Islam turun tidak di ruang yang kosong budaya. Kekuatan Islam ada pada kemampuannya beradaptasi dengan kebudayaan sebelumnya, dan menyelaraskan itu dengan nilai Islam.
Dalam Islam dikenal istilah syar’un man qoblana (al-Jasiyah: 16 – 18), yakni syari’at Islam yang berasal dari adaptasi syariat kaum sebelum Islam. Hakikatnya di dunia ini memang tidak ada kebudayaan yang bukan ciptaan Allah. Sehingga dalam menghadapi setiap kearifan lokal, terdapat dua kaidah umum: (a) yang bisa diserap tanpa merusak akidah, seraplah; (a) yang berlawanan dengan akidah, sikapilah dengan bijak (an-Nahl: 125).
Riwayat kecil yang bisa kita ambil untuk menegaskan kaidah pertama adalah kisah Nabi di menjelang wafatnya. Dikatakan bahwa saat itu Nabi didera panas tubuh luar biasa, hingga merosot kekuatan tubuhnya. Untuk kepentingan itu, Nabi meminta dibawakan air dari tujuh sumur yang berbeda. “Membasuh tubuh dengan air tujuh sumur untuk meredakan panas” adalah salah satu bentuk kearifan lokal, dan Nabi mengakomodirnya.
Sebelum Islam datang, salah satu bentuk kearifan lokal adalah syair-syair bernuansa moral. Hal itu menjelaskan mengapa terdapat beberapa manusia dengan kualitas terbaik sebelum al-Qur’an datang (Nabi dan Khadijah contohnya). Bangsa Arab dipengaruhi syair-syair. Sejumlah besar syair mengajarkan sifat keberanian, kesetiaan dan kedermawanan.
Riwayat semacam itu menjadi contoh bagaimana Islam dilengkapi kearifan lokal. Hanya saja, system of believe-nya disesuaikan dengan lajur tauhid. Riwayat tentang betapa kayanya adopsi peradaban Islam terhadap kearifan lokal bisa dilihat dalam karya Imam al-Razi, Kitab al-Firasat, yang telah tersedia terjemahan bahasa Indonesianya.
Kearifan Lokal dan Penghayatnya
Riwayat-riwayat demikian memaklumkan pada kita mengapa para pendakwah Islam di Nusantara (yang bercorak sufistik) menggunakan kearifan lokal untuk berdakwah. Sesungguhnya adanya kearifan lokal tidak untuk dibasmi, melainkan untuk dipahami kekuatan strategisnya, dan diberdayakan.
Kearifan lokal—dengan bergandeng-tangan bersama para penghayatnya—bisa digunakan sebagai kunci etis melakukan perlawanan terhadap penghacuran ekologi oleh korporasi kapitalis, dan melengkapi gerakan dalam menghadapi ‘kekeringan spiritualisme’ yang khas Nusantara.
Lebih dari itu, kearifan lokal adalah jejak-jejak jati diri kita di masa lampau. Ada sejarah dan nilai luhur di sana. Mereka yang ketakutan terhadap kearifan lokal dan memandangnya sebagai sebuah bidah, mungkin belum sepenuhnya paham. Kearifan lokal, dalam pandangan penulis, harus dilestarikan. Salah satu caranya adalah dengan melestarikan para penghayatnya.
Belakangan ini merebak berita keberatannya beberapa pihak atas kemenangan ‘hak identitas’ para penghayat lokal di Mahkamah Konstitusi. Banyak pihak keberatan. Ada pula pernyataan menteri yang terlampau merendahkan, bahwa setelah mengenal agama, Orang Rimba akhirnya mengenal konsep akhirat dan Tuhan. Pernyataan tersebut sangat ahistoris, mencerminkan kedangkalan wacana atas sang liyan. Dibandingkan dengan pilihan menjadi penghayat kearifan lokal (adat istiadat dan kompleksitasnya), mengeluarkan pernyataan seperti itu menurut saya jelas lebih berbahaya.
Mungkin banyak orang luput menyadari, tidak satu pun dari para penghayat lokal terlibat dalam setiap proses penggundulan hutan, pencemaran lingkungan, pengrusakan tanah, dan berbagai kasus eksploitasi lain. Sementara setiap pelaku eksploitasi kemungkinan besar selalu punya agama—yang merasa sedang memerbaiki bumi, tapi hakikatnya adalah pengrusakan (al-Baqarah: 11 – 12).
Justru spiritualitas para penghayat lokal mampu mendorong adanya perlawanan. Pemuka adat Bali dalam melawan reklamasi, masyarakat adat Samin dalam melawan semen, adalah segelintir contoh. Mereka mungkin lebih menghayati bahwa yang disebut umat bukan saja manusia, melainkan setiap yang ada, bahkan burung yang beterbangan sekalipun (al-An’am: 38).
Tentu tidak elok bila ada yang berpikir hanya agama merekalah yang punya spirit perlawanan terhadap kezaliman ekologis. Merupakan suatu kesombongan pula, bila berpikir bahwa cukup dengan gerakan keagamaan tertentu seluruh persoalan di negeri ini akan bisa diselesaikan. Tidak perlu bergandeng-tangan dengan kekuatan-kekuatan lain.