Nafsu Wakil Rakyat
Oleh Bene Dalupe
Pemerhati Politik
Ada dua dari empat arti kata ‘nafsu’ yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI edisi IV, 2016:947) yang hendak diarahkan untuk mengomentari sikap wakil rakyat (DPR) belakangan ini. Arti pertama; keinginan (kecenderungan, dorongan) hati yang kuat. Ini dimaksudkan untuk dorongan hati yang kuat dari para wakil rakyat (DPR) untuk membangun gedung baru. Sejak diwacanakan dan diperjuangan dari beberapa tahun lalu, publik terus menolak keras. Kini dorongan hati yang kuat ini kembali berhembus kencang. Arti kedua; dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik. Untuk hal ini patut diduga kuat dengan membaca motif dan aksi panitia khusus (pansus) yang dibentuk fraksi-fraksi di DPR untuk mengangket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kelihatannya segala cara dan argumentasi dipakai untuk merasionalisasi dan membangun opini publik bahwa; pertama, angket terhadap KPK memang benar/tepat, perlu dan mendesak. Kedua, kredibilitas dan integritas DPR terkhususnya pansus dalam hal pelaksanaan hak angket ini tidak perlu diragukan dan dipertanyakan publik.
Motivasi hak angket KPK tidak bisa dilepaskan dari konteks terancamnya sejumlah anggota DPR akibat munculnya nama-nama mereka dalam persidangan kasus mega proyek E-KTP. Dalam prosesnya pansus angket KPK terkesan mencari-cari kesalahan/kelemahan KPK. Jika kemudian dilihat, pansus angket ini sangat terdorong untuk ‘menelanjangi’ KPK. Ujungnya rekomendasi pansus angket mengarah pada revisi UU KPK (bdk. Kompas, 22/08/2017 dan 24/08/2017). KPK memang bukanlah ‘malaikat’ (tiada keliru sedikit pun). Mahfud MD, pakar hukum tata negara dalam beberapa kali berpendapat soal angket KPK ini menyatakan bahwa KPK memang perlu dikritik dan dikoreksi, namun bukan dengan cara yang dilakukan DPR saat ini (angket) yang sarat dengan motif tersembunyi. Jika dorongan hati yang kuat dari DPR untuk penguatan KPK, sebagaimana yang digaungkan pansus, mengapa dalam beberapa kali wacana revisi UU KPK isinya salah satu adalah mengamputasi kewenangan KPK dalam hal penyadapan?.
Dua kasus di atas (gedung baru dan angket) secara gamblang menggambarkan dua hal yang paling menonjol dari aktivitas ‘parle’ (bersuara, berbicara) selama ini di DPR : pertama, politik kuasa dan kemewahan biasanya terkait dengan prevelese, fasilitas, jabatan. Kedua, politik pertahanan diri, biasa terkait pembelaan diri atau pencitraan agar terhindar dari penilaian miring publik atau pun tidak tersentuh jeratan hukum.
Untuk kasus gedung baru, saya kira publik sama sekali tidak berkeberatan bila DPR memang hendak membangun gedung dengan fasilitas mewah, setidak-tidaknya dengan dua syarat. Pertama, tidak ada lagi korupsi berjamaah ataupun perorangan oleh anggota DPR. Linear dengan itu, kinerja DPR pun harus terukur untuk tiga fungsi utamanya. Kedua, rakyat di daerah yang diwakili oleh 560 wakil rakyat itu tidak ada lagi yang menghuni rumah tak layak huni (RTLH). Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, jumlah RTLH sekitar 2,51 juta unit. Ditengah niat dan fokus pemerintah melalui Kementerian PUPR untuk mengurangi angka ini, DPR tetap ‘bernafsu’ membangun gedung baru.
Political will di DPR tampaknya sering kontraproduktif dengan kehendak publik. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi politik dan kelembagaan demokrasi di DPR sejak reformasi 1998 belum sepenuhnya mengalami perubahan pada level substantif; habitus maupun etos kerja lembaga perwakilan itu. Kesimpulan Stephen Sherlock yang banyak meriset parlemen Indonesia (DPR) rupanya belum banyak berubah. Dalam Struggling to Change: The Indonesian Parliament in an Era of Reformasi (2003) ia berkesimpulan bahwa struktur, praktik dan budaya politik parlemen di Indonesia masih beroperasi dengan cara yang mengabadikan kontrol oleh elite yang melayani diri sendiri dan meminimalkan kontrol publik atau keterlibatan masyarakat luas. Menurutnya, DPR alih-alih menjadi tempat representasi populer atau instrumen yang efektif untuk fungsi legislatif dan pengawasan pemerintah. Mereka sebenarnya bekerja layaknya institusi orde baru yaitu tempat dimana jaringan patronase dibangun dan dipelihara guna mendistribusikan sumber daya.
Memang fungsi representatif wakil rakyat harus selalu dipertanyakan dan digugat publik. Benarkah apa yang mereka perjuangkan dalam dua kasus di atas : membangun gedung baru dan mengangket KPK juga merupakan aspirasi konstituen mereka di daerah? Survei beberapa waktu lalu setidaknya sudah menggambarkan bahwa DPR bekerja dan melayani kepentingannya sendiri. Implikasinya hanya sedikit yang mempercayai DPR. Hasil survei SMRC menunjukkan sebanyak 64,4% responden mengaku percaya KPK dan hanya 6,1% yang menjawab percaya DPR sisanya 29,5% responden yang menjawab tidak tahu atau tidak mau menjawab. Demikian pun untuk perkara membangun gedung baru, survei yang pernah di lakukan Charta Politika tahun 2010 menunjukkan yang tidak setuju 80,5%, yang setuju 14,5 % dan tidak tahu 5 %. Kalaupun saat ini dilakukan survei lagi, saya kira hasilnya tidak jauh berbeda.
Jadi ada benarnya yang dikatakan Robert Getz (Thompson, 2000) bahwa ada paradoks soal wakil rakyat ini. Mereka tidak dapat menggambarkan secara memadai kepentingan konstituen tanpa menggambarkan beberapa kepentingannya sendiri. Artinya, konflik kepentingan itu terjadi bila mereka (wakil rakyat) mencari untung secara pribadi dari tugas dan fungsinya yang tidak diharapkan publik dan kontituennya.
Kritik dan kontrol publik memang amat diperlukan untuk mengendalikan ‘nafsu’ para wakil kita itu yang sering tidak lagi peka pada suara publik. Kita sungguh mengharapkan DPR tidak sedang mereproduksi dusta soal motif, niat dan aksi politiknya belakangan ini. Atau, jangan-jangan kita telah keliru menilai para wakil rakyat, sebagian atau mungkin seluruhnya yang selama ini sebenarnya sungguh-sungguh bekerja memperjuangkan aspirasi rakyat? Bisa jadi.