Jumat, April 26, 2024

Nadiem Harus Mencetak Nadiem Desa

Muhammad Beni Saputra
Muhammad Beni Saputra
Seorang pengajar, pelajar, entrepreneur, penulis, dan petualang.

Nadiem Makarim menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini, tepatnya setelah penunjukan mantan bos ‘Decacorn Gojek’ itu sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru. Dengan segala kehebatan dan kesuksesannya, rasanya sulit untuk menyangkal jika Nadiem adalah salah satu role model terbaik generasi milenial Indonesia.

Meski demikian, walaupun wajib kita berikan apresiasi setinggi langit, kebesaran seorang Nadiem tidaklah terlalu mengejutkan. Nadiem hampir memiliki segalanya untuk menjadi pemain besar di era digital ini.

Dia terlahir dari keluarga kaya, tumbuh dan bersekolah di Singapura, menempuh pendidikan tinggi di beberapa kampus kelas dunia, dan memiliki bahasa Inggris yang nyaris sempurna.

Cerita kehidupan Nadiem akan sangat jauh berbeda seandainya dia ditakdirkan berasal dari keluarga miskin pedesaan seperti yang baru-baru ini diteliti oleh Smeru Institute. Smeru menemukan bahwa anak-anak dari keluarga miskin akan tetap miskin ketika dewasa.

Para ahli berpendapat bahwa manusia cemerlang seperti Nadiem tidak dapat digantikan oleh teknologi digital, lebih penting dari tenaga kerja biasa, dan memiliki dampak lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

Nadiem sepenuhnya menyadari semua ini. Sang menteri baru juga memahami jika sistem dan kualitas pendidikan Indonesia saat ini masih belum begitu mampu memproduksi manusia-manusia cemerlang sepertinya. Oleh karena itu Nadiem bertekad untuk mengadakan perubahan radikal di sektor pendidikan demi meningkatkan kualitas SDM Indonesia.

Namun prioritas dan komitmen yang diutarakan Nadiem di banyak kesempatan belumlah cukup. Nadiem juga harus memberikan perhatian khusus pada peningkatan kualitas pendidikan di desa untuk memutus rantai kemiskinan yang telah sekian lama membelenggu penduduk desa.

Saat ini mereka yang kurang mampu di desa menghadapi masalah ekonomi serius mulai dari kesenjangan pendapatan yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin, meningkatnya ketidaksetaraan ekonomi, hingga semakin menanjaknya indeks kedalaman kemiskinan.

Masalah-masalah ini berefek besar terhadap kinerja siswa karena ekonomi lemah menjadikan daya beli lemah, dan daya beli lemah adalah penghalang untuk memperoleh makanan bergizi atau mendapatkan pendidikan berkualitas. Penelitian juga menunjukkan bahwa pendapatan orang tua dan kondisi keluarga sangat memengaruhi keberhasilan siswa. Sampai di sini kita tidak perlu lagi menanyakan mengapa pelajar atau mahasiswa di daerah tertinggal jauh di belakang rekan-rekan kota besar mereka dalam hal pencapaian atau jumlah manusia cemerlang.

Ya, mereka tertinggal bukan karena kurangnya bakat melainkan karena kualitas sekolah dan kampus di daerah yang kebanyakan masih medioker. Harus diakui, meskipun telah melakukan berbagai upaya, pemerintah kita masih belum mampu menyediakan pendidikan berkualitas tinggi bagi rakyatnya. Kegagalan ini pada akhirnya menciptakan ketimpangan antara si kaya dan si miskin yang dalam jangka panjang merugikan si miskin.

Bagi si kaya, buruknya kualitas sekolah dan universitas di Indonesia bukanlah masalah serius karena mereka dapat mencari alternatif lain seperti bersekolah di sekolah internasional, mengikuti Bimbel, atau kuliah di universitas terkemuka di AS atau Eropa. Inilah yang terjadi pada Nadiem dan mayoritas milenial ‘staf khusus’ Jokowi yang sebagian besarnya berasal dari keluarga privileged serta lulusan kampus luar negeri.

Pelajar dan mahasiswa pedesaan yang kurang mampu tidak memiliki opsi-opsi di atas. Orang tua mereka terlalu miskin untuk membayar SPP puluhan juta sekolah internasional. Kuliah di luar negeri? Jangankan itu, kuliah di UI saja banyak dari mereka yang tidak mampu.

Bagi siswa yang pemerintah daerahnya peduli dengan pendidikan dan memiliki dana yang cukup untuk itu bisa seberuntung Billy Mambrasar. Billy adalah anomali di tim milenial Jokowi yang, meskipun dari keluarga sederhana, dapat kuliah di ITB melalui beasiswa Pemda Papua.

Namun bagi siswa daerah lain, kebijakan semacam itu jarang ada. Oleh karena itu satu-satunya pilihan bagi mereka untuk mendapatkan gelar sarjana adalah melalui kampus kabupaten yang kualitasnya kebanyakan di bawah rata-rata kampus nasional. Masalahnya, kampus lokal biasanya mahal karena sebagian besarnya swasta dan jurusan yang ditawarkan sangat terbatas. Selain itu, kampus lokal tidak memiliki skema bantuan pemerintah untuk mahasiswa kurang mampu seperti Biaya Kuliah Tunggal (UKT).

Karena sedari awal pelajar dan mahasiswa miskin pedesaan dirugikan oleh kualitas pendidikan yang rendah, mereka tidak dapat mencicipi banyak program pengembangan diri. Mereka tidak dapat bersaing untuk mendapatkan beasiswa ke luar negeri karena sebagian besar penyedia beasiswa mensyaratkan kecakapan bahasa Inggris tinggi serta prestasi akademik mumpuni.

Meskipun LPDP memiliki Beasiswa Afrimasi, skema ini belum bisa mencakup semua sektor masyarakat kurang mampu Indonesia. Selain itu, Beasiswa Afrimasi tetap mewajibkan bukti kemahiran berbahasa Inggris, skill yang masih asing bagi mereka yang di desa.

Beberapa kebijakan layak dipertimbangkan oleh Nadiem. Pertama, Nadiem perlu mengirim lebih banyak guru dan dosen berkualitas tinggi ke sekolah dan kampus di daerah. Jika bisa, rekrut anak muda lokal yang memiliki kemampuan akademik tinggi untuk diberdayakan. Kedua, infrastruktur sekolah dan kampus lokal perlu peningkatan terutama akses internetnya.

Koneksi internet yang baik memungkinkan guru dan dosen untuk membimbing peserta didik belajar di kelas online gratis yang ditawarkan oleh universitas besar di luar negeri seperti Coursera, edX, Udacity, atau Khan Academy. Ketiga, universitas negeri mesti dibangun lebih banyak lagi di kabupaten dan skema UKT diterapkan di kampus swasta. Terakhir, masukkan Bahasa Inggris ke dalam kurikulum Sekolah Dasar.

Patut disayangkan bahwa saat ini Indonesia adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang tidak mengajarkan Bahasa Inggris di SD meskipun bahasa Industri 4.0 tersebut amat krusial terhadap keberhasilan akademik dan dunia profesional. Mengembalikan Bahasa Inggris ke SD juga akan memberikan kesempatan kepada siswa pedesaan belajar Bahasa Inggris secara gratis.

Ujian bagi Nadiem untuk mengatasi ketimpangan pendidikan di Indonesia agar pelajar dan mahasiswa di daerah bisa secemerlang dan seberhasil dirinya. Jika Nadiem gagal menyelesaikan masalah ini, maka Indonesia Emas 2045 yang kita elu-elukan itu akan tetap sama seperti hari ini dimana elit yang berkuasa adalah mereka yang berasal dari kelompok privileged seperti Nadiem.

Muhammad Beni Saputra
Muhammad Beni Saputra
Seorang pengajar, pelajar, entrepreneur, penulis, dan petualang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.