Kamis, Oktober 9, 2025

Mutilasi: Ketika Nyawa dan Martabat Manusia Sama-Sama Direnggut

Ahmad Fahmi
Ahmad Fahmi
Mahasiswa Aktif - S1 Hukum Pidana I, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -

Kata mutilasi selalu menimbulkan rasa ngeri. Tidak hanya karena tubuh manusia dipotong-potong secara kejam, tetapi juga karena perbuatan itu merampas dua hal sekaligus, yaitu nyawa dan kehormatan. Di mata hukum, tindakan itu disebut pembunuhan, namun di mata nurani itu jauh lebih gelap dari sekadar pasal pidana.

Sayangnya, istilah “pembunuhan mutilasi” tidak dikenal secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), baik lama maupun baru. Padahal, kasus semacam ini semakin sering muncul, menimbulkan trauma sosial dan mengguncang rasa kemanusiaan publik.

Mutilasi dalam Hukum Indonesia

Dalam KUHP lama, aturan tentang pembunuhan diatur dalam:

Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

Pasal 339: “Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana… diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Pasal 340: “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Sementara dalam KUHP baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP), yang akan berlaku efektif pada 2026, aturan serupa ditegaskan kembali dengan bahasa yang lebih modern:

Pasal 458 ayat (1): “Setiap orang yang merampas nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”

Pasal 458 ayat (3): “Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului suatu tindak pidana… dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

Pasal 459: “Setiap orang dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

- Advertisement -

Artinya jelas: meski tidak ada kata mutilasi di dalamnya, perbuatan itu tetap masuk dalam kategori pembunuhan berencana, atau pembunuhan yang disertai perbuatan lain yang memperberat hukuman, namun yang luput dari perhatian adalah bahwa mutilasi bukan sekadar pembunuhan. Ia juga penghancuran martabat manusia. Tidak ada pasal yang secara khusus menegaskan bahwa merusak tubuh korban setelah kematian juga merupakan penghinaan terhadap nilai kemanusiaan yang dijamin konstitusi.

Celakanya, Hukum Tidak Menyentuh Rasa Kemanusiaan

Mutilasi tidak hanya mengakhiri hidup seseorang, tapi juga menodai kehormatan jasadnya. Dalam konteks moral dan sosial, ini jauh lebih dari pembunuhan. Tubuh manusia, bahkan setelah mati, tetap memiliki hak untuk dihormati.

Konstitusi Indonesia melalui Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menegaskan:“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya.”

Ketika korban mutilasi diperlakukan seolah hanya benda, jelas nilai ini dirampas habis-habisan. Tragisnya, sebagian kasus mutilasi di Indonesia kerap hanya dituntut dengan pasal pembunuhan berencana tanpa tambahan unsur penghinaan terhadap kemanusiaan. Padahal, negara lain seperti Jepang dan Kanada memiliki pasal yang menjerat perusakan jasad manusia secara spesifik.

Aturan Turunan yang Berkaitan

Selain KUHP, ada beberapa undang-undang lain yang sebenarnya bisa menjadi dasar tambahan untuk memperkuat perlindungan terhadap korban dan keluarganya.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebut bahwa korban maupun keluarga korban berhak atas perlindungan dan pemulihan. Dalam konteks mutilasi, keluarga korban berhak mendapat pendampingan psikologis dan kompensasi moral maupun material.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bahkan menegaskan:Pasal 76C: “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.”Pasal 80 ayat (3): “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya anak, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.”

Artinya, bila korban mutilasi adalah anak, ancamannya bisa lebih berat lagi.

Lebih dari Sekadar Penjara

Namun yang lebih penting, keadilan bagi korban mutilasi seharusnya tidak berhenti pada hukuman penjara. Negara juga perlu hadir dalam bentuk pemulihan martabat. Dalam banyak kasus, keluarga korban mengalami trauma mendalam, kehilangan pekerjaan, bahkan stigma sosial. Sayangnya, belum ada mekanisme yang komprehensif untuk memulihkan keadaan mereka.

Kasus mutilasi adalah cermin paling kelam dari wajah kejahatan manusia. Ia menunjukkan betapa lemahnya moral dalam peradaban modern. Kita boleh bangga dengan kemajuan hukum dan teknologi, tetapi ketika seseorang tega memotong tubuh sesamanya, jelas ada yang salah dalam sistem sosial dan nilai kemanusiaan kita.

Tantangan Hukum dan Moral

Sudah saatnya aparat penegak hukum memandang mutilasi bukan hanya tindak pidana, tetapi juga pelanggaran terhadap martabat manusia. Penegakan hukum harus diiringi dengan pendidikan moral dan sosial, agar generasi muda memahami bahwa manusia, bahkan dalam kematiannya, tetap memiliki nilai dan kehormatan.

Selain itu, revisi hukum pidana di masa depan sebaiknya mempertimbangkan untuk menambahkan pasal khusus tentang perusakan jasad manusia. Bukan semata-mata untuk memperberat hukuman, tapi sebagai bentuk pengakuan bahwa tubuh manusia bukan benda mati yang bisa diperlakukan sesuka hati.

Kesimpulan

Mutilasi adalah bentuk ekstrem dari kekejaman manusia terhadap sesamanya. Ia bukan sekadar pembunuhan, melainkan penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri. Hukum memang sudah mengatur tentang pembunuhan, tapi keadilan sejati baru terwujud ketika negara juga menjamin martabat korban dan keluarga mereka.

Hukum bisa menjerat pelaku, tetapi hanya moral dan empati sosial yang bisa menyembuhkan luka masyarakat. Jika mutilasi terus terjadi, bukan hanya nyawa yang mati, tapi juga nurani bangsa.

Ahmad Fahmi
Ahmad Fahmi
Mahasiswa Aktif - S1 Hukum Pidana I, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.