Sejak sosialisme didaulat sebagai “ideologi kiri” maka segala gerakan yang bercorak sosialistik hampir selalu diafiliasikan dengan Marxisme-Leninisme. Meski sebenarnya tidak selalu demikian, dalam beberapa aspek, “kiri” diposisikan sebagai oposan status quo (sayap kanan).
Kiri juga tak melulu tentang sejarah kekejaman nan berdarah anarkisme seorang Lenin-Stalin, Mao Zedhong atau bahkan di Indonesia sendiri dengan gerakan G30S/PKI. Kaum Republik yang menentang Ancien Regime di Perancis yang fodalistik – sebelum akhirnya terjadi Revolusi Perancis – pun disebut sebagai kelompok kiri.
Dialektika Karl Marx melalui pemikiran Hegel dan berlanjut ke Feurbach menghasilkan sebuah gagasan genuine yang khas Sosialisme-Marxisme. Tak salah jika para idelolog Marxisme seolah menjadikan Karl Marx sebagai “nabi” dengan magnum opus-nya Das Kapital yang sekaligus dijadikan sebagai kitab suci para pengikutnya.
Dunia Islam agaknya pernah juga mencatat tokoh-tokoh muslim yang didaku sebagai tokoh berpaham kiri (sosialisme). Mulai dari yang kelas lokal sampai yang internasional. Yang paling populer mungkin adalah Hasan Hanafi dan Ali Syari’ati.
Yang pertama adalah cendikiawan asal Mesir sedangkan yang kedua seorang syi’ah yang berasal dari Iran. Pergolakan pemikiran tokoh Islam kiri sejatinya merupakan bagian dari pencarian sebuah formula pemecahan krisis yang dialami umat muslim – terutama di negeri tempat tokoh tersebut hidup – atas bercokolnya hegemoni imperialisme Barat. Sayid Quthb pun pada awalnya begitu terpesona dengan Sosialisme-Marxisme sebelum akhirnya berbelok arah dan memutuskan menjadi bagian dari Ikhwanul Muslimin.
Hasan Hanafi
Hasan Hanafi muda begitu mengagumi pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal, Hasan al-Banna hingga Sayid Quthb. Lantas Hasan Hanafi sempat bergabung dengan Ikhwanul Muslimin saat terjadi pergolakan revolusi di Mesir tahun 1952. Hasan Hanafi begitu terpesona dengan sosok Sayid Quthb hingga pernah berucap “Jikalau Sayid Quthb masih hidup di kala itu maka saya pasti akan menjadi murid terbaiknya, dan jika dakwah Ikhwanul Muslimin masih hidup maka saya akan menjadi pemikir dan konseptornya”.
Salah satu karya populer Hanafi yang berjudul “al-Yassar al-Islami” (Kiri Islam) mungkin yang menjadikan dirinya diidentifikasi sebagai seorang muslim kiri. Dalam karyanya yang lain – dalam terjemahan Indonesia – “Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam” agaknya Hanafi mencoba memberitahu serta memposisikan dirinya di tengah-tengah yaitu antara Islam fundamental dan sosialisme-radikal. Seakan menimbulkan pertanyaan, apakah seorang Hasan Hanafi hendak menegaskan bahwa ia seorang Ikhwanis-Komunis. Agak sulit mengkonfirmasi itu semua jika tidak dilakukan pembacaan yang mendalam melalui karya-karyanya.
Hasan Hanafi juga menyuarakan pentingnya kajian disiplin ilmu Oksidentalisme (al-Istighrab) sebagai tandingan dari Oreintalisme. Infiltrasi filsafat Barat membuat teologi Hasan Hanafi lebih bercorak teologi antroposentris, tercermin melalui karyanya Dirasah Islamiyah – diterjemahkan ke Indonesia “Islamologi”.
Ali Syari’ati
Beda halnya dengan Hasan Hanafi, Ali Syari’ati yang merupakan cendikiawan asal Iran ini lahir dari sebuah tempaan rezim otoriter yang cenderung monarki-absolut (Syah Pahlevi). Terlepas dari kontroversi epistemik apakah syiah bagian Islam atau bukan, yang jelas pemikiran Ali Syari’ati begitu digrandrungi dan populer serta didaku sebagai tokoh revolusioner. Dibesarkan dengan tradisi khas syi’ah membuat Ali Syari’ati memiliki nalar kritis dan rasional. Melahirkan konsep Rausyan Fikr yang begitu populer, membuat dunia menyandangkannya sebagai seorang sosialis (sosialisme-marxisme). Sama halnya dengan Hasan Hanafi, Syari’ati sempat memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne Prancis.
Beberapa kalangan menuduh Syari’ati sebagai pengikut rahasia Marxisme. Pada satu sisi Syari’ati berada dalam tradisi Marxisme, khususnya tentang konsepsi masyarakat kelas (proletar-borjuis), aksi politik, sejarah sebagai proses dialektis, serta dalam strategi propaganda revolusi (Hamid Dabashi: 1993). Mencoba menggunakan paradigma Marxisme bukan berarti ia seorang Sosialisme-Marxisme tulen, namun agaknya Syari’ati menemukan referensi yang seakan mampu merepresentasikan situasi sosial-politik Iran saat itu.
Di sisi lain Syari’ati juga mengecam Marxisme yang mewujud sebagai Partai Sosial-Komunis di Soviet. Syari’ati mengecam keras para ulama syi’ah di Iran yang cenderung lembek bahkan menjilat terhadap penguasa Syah Pahlevi. Sikap tersebut menjadikan Syari’ati dikucilkan bahkan karya-karyanya difatwa boikot oleh ulama syi’ah dan penguasa setempat, segala bentuk penjualan dan pembelian buku atau tulisan Syari’ati dilarang (Ali Rahemna: 1996).
Di Indonessia sendiri telah mencatat perjalanan panjang tentang pergolakan paham kiri. Serikat Islam (SI) yang dipimpin sang guru bangsa HOS Cokroaminoto pun sempat terpecah menjadi dua kubu, SI Merah dan SI Putih. SI Putih dihuni oleh kalangan seperti Haji Agus Salim dan SM Kartosoewiryo sementara SI Merah diisi oleh Semaun, Alimin, dan Darsono. Situasi tersebut menunjukan bahwa para founding fathers negeri ini pun mencoba menjadikan Marxisme sebagai basis gerakan pemikiran yang aktual untuk melawan kolonialisme.
Di antara sekian banyak tokoh Islam nasional yang kekirian, salah satunya yang paling fenomenal adalah Haji Misbach (1876-1926). Seorang tokoh masyarakat sekaligus kyai – yang namanya sering disandingkan dengan Semaun atau Tan Malaka – begitu kagum terhadap ajaran sosialisme-komunisme hingga ia dikenal juga sebagai Haji Merah. Hingga timbul kesangsian, bagaimana mungkin seorang Haji Misbach yang besar dalam tradisi pesantren Kauman Surakarta sangat setia mengamini paham komunisme sebagai doktrin melawan imperialisme Hindia-Belanda. Tentu dia mengamini komunisme sebelum terjadi pemberontakan G30S/PKI
Islamisme-Komunisme begitulah nampaknya yang oleh banyak kalangan tergambar dalam sosok Haji Misbach. “Komunisme mengajarkan untuk menentang kapitalisme, itu tercakup di dalam Islam. Saya menjelaskan hal tersebut sebagai muslim dan komunis” begitulah sepenggal kalimat yang pernah ia tulis.
Lantang mengecam kolonialisme namun juga sempat mengkritik SI Putih sebagai golongan munafik yang berselimut Islam. HOS Cokroaminoto memilih jalur Islam moderat dengan SI Putihnya, sementara Haji Misbach secara radikal bergerak bersama PKI. Namun demikian Haji Misbach tokoh yang membela Islam dengan gigih terhadap marginalisasi umat Islam oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Agaknya para tokoh Islam di Indonesai ada kecenderungan usaha mengawinkan antara Islam dan Sosialisme-Marxisme dengan caranya masing-masing. Sejatinya dalam tubuh Islam sendiri telah mewariskan ajaran dan tradisi kiri – jika kiri dimaknai sebagai gerakan sosialistik. Kehadiran tokoh-tokoh tersebut dalam gelanggang keislaman yang bercorak kiri setidaknya semakin menambah pergulatan dan dinamika pemikiran Islam.