Dalam pertemuan dengan nelayan dalam rangka penyerahan Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) yang berlangsung di Istana Negara (30/1), Presiden Joko Widodo menyoroti lamanya proses perijinan usaha perikanan yang bisa makan waktu lebih dari satu minggu.
Dia membandingkan dengan pengalamannya yang mengurus ijin dan keluar hanya dalam kurun waktu hitungan jam. “Jaman IT kok perijinan bisa lama,” ucap presiden di hadapan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti beserta jajarannya dan para pemilik kapal penangkap ikan sebagaimana dikutip Detik.
Lamanya proses perijinan perikanan sebetulnya tidak semua memakan waktu berbulan-bulan. Ada yang hanya satu minggu, sebagaimana ucapan Suwarto nelayan yang ditanyai Presiden Joko Widodo di kesempatan itu.
Lalu, apa yang membuat lama proses tersebut berbeda-beda? Zulficar Mochtar menyebutkan bahwa selama ini, Laporan Kegiatan Penangkapan (LKP) sebagai syarat perpanjangan SIPI dan Laporan Kegiatan Usaha (LKU) sebagai syarat perpanjangan SIUP disampaikan dengan isi laporan yang tidak benar.
Sederhananya begini. Andai stok ikan cakalang sebesar 500.000 ton per tahun dan dengan pendekatan kehati-hatian, 80% dari stok adalah jumlah yang boleh ditangkap (JTB), maka ada 400.000 ton dapat ditangkap dalam setahun.
Lalu ada 2.000 kapal yang melaporkan dalam LKPnya masing-masing menangkap 30 ton setahun sehingga total 60.000 ton dilaporkan tertangkap dalam setahun. Padahal kenyataannya mereka masing-masing menangkap 150 ton sehingga total sebenarnya ada 300.000 ton tertangkap dalam setahun. Ada selisih 240.000 ton yang tidak dilaporkan.
Bila mengacu pada LKP dari 2.000 kapal bahwa ada 60.000 ton cakalang dari kuota 80% stok sebesar 400.000 ton, maka KKP dapat memberikan ijin untuk sisa stok sebesar 340.000 ton. Padahal sebetulnya sudah ada 300.000 ton tertangkap sehingga sisa stok yang dapat ditangkap sesungguhnya hanya sekitar 100.000 ton, bukan 240.000 ton. Dari contoh ini, kita lihat potensi sesatnya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan bila mendasarkan kebijakannya dari data ngawur yang dilaporkan oleh pemilik kapal seperti contoh di atas.
Kekeliruan di atas juga membuat penerimaan negara misalnya pajak penghasilan pemilik kapal lebih rendah dari yang seharusnya. Bila merujuk kekeliruan di atas dengan asumsi harga ikan Rp 10.000 per kilogram, seorang pemilik kapal melaporkan hasil penjualan sebesar Rp 300 juta dari 30 ton cakalang setahun. Padahal dia mendapatkan Rp 1,5 miliar dari 150 ton cakalang yang didapatkannya.
Hal-hal seperti itulah yang hendak dibenahi oleh Susi Pudjiastuti dan Zulficar Mochtar. Mereka mau agar pemilik kapal melaporkan hasil tangkapannya secara jujur karena melaporkan di bawah volume penangkapan yang sebenarnya bisa membuat membuat penangkapan berlebih (over fished).
Sehingga kemudian DJPT menahan proses pembaruan SIUP dan SIPI, karena mereka harus mengonfirmasi langsung pemilik kapal tentang berapa besar seungguhnya ikan yang telah ditangkapnya. Bisa dibayangkan besar beban penelaahan kembali (review) yang dilakukan DJPT terhadap ribuan kapal yang melaporkan hasil tangkapan setahunnya di bawah angka sebenarnya.
Terlepas dari kesalahan data volume tangkapan yang dilaporkan pemilik kapal, Menteri Kelautan dan Perikanan dan jajarannya tetap harus memerhatikan arahan Presiden tentang mempercepat proses perijinan. Dengan memerhatikan kualitas LKU dan LKP yang perlu diperiksa kebenarannya, maka DJPT perlu membangun sistem pendataan yang dapat memverifikasi LKU dan LKP tersebut.
Selama ini, setiap kapal penangkap ikan melaporkan hasil tangkapannya dalam selembar Log Book Penangkapan Ikan (LBPI). KKP telah membarui LBPI yang sebelumnya diisi dalam selembar kertas ke lembar elektronik atau disebut Log Book Penangkapan Ikan Elektronik (LBPI-e). LBPI-e dengan media ponsel android memungkinkan nelayan mengisi detil operasi penangkapan ikannya, mencakup waktu dan daerah penangkapan ikan, langsung ke dalam ponsel secara di luar jaringan (offline).
Saat mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan, nelayan dapat mengirim data tersebut secara di dalam jaringan (online). Hal ini mempersingkat proses di mana petugas KKP di pelabuhan tidak perlu menyalin tulisan tangan nelayan di kertas LBPI ke dalam Sistem Informasi Log Book Penangkapan Ikan (SILOPI) seperti di metode LBPI kertas sebelumnya.
Hal ini juga meningkatkan akurasi informasi tentang waktu dan daerah penangkapan ikan dan jumlah setting-hauling. Seluruh informasi tersebut sangat penting dalam menentukan besarnya upaya penangkapan ikan yang kemudian dapat diproses untuk menggambarkan kondisi sumber daya ikan setelah tekanan eksploitasi.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap telah membangun Database Sharing System (DSS) sejak 2012. DSS merupakan pangkalan data perikanan tangkap yang mengintegrasikan data-data terkait pengelolaan perikanan tangkap.
DSS memiliki Sistem Informasi Perijinan Penangkapan Ikan (SIPEPI) yang menaruh nomor SIPI seluruh kapal penangkap ikan di Indonesia. Dari nomor SIPI itulah, DJPT mendata kapal yang melaporkan LBPI. Sehingga setiap kapal yang melaporkan LBPI tidak perlu memasukkan sederet informasi yang panjang karena cukup dengan memasukkan nomor SIPI, maka seluruh identitas kapal tersebut akan “ditarik” ke dalam SILOPI.
DSS juga melibatkan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan (DJPSDKP) yang memantau kapal perikanan melalui Vessel Monitoring System (VMS). Di LBPI, nelayan memasukkan posisi geografis daerah penangkapan ikannya. Berbekal data VMS, DJPT dapat memeriksa kebenaran informasi tersebut.
Saat kapal mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan, ikan tangkapannya ditimbang dan dilaporkan oleh petugas Pusat Informasi Pelabuhan Perikaan (PIPP). Dari data tersebut, DJPT dapat memeriksa volume penangkapan kapal LBPI dibandingkan dengan hasil penimbangan yang dicatat di PIPP.
Berbagai pemeriksaan silang tersebut dilakukan demi memperoleh data penangkapan ikan yang akurat sehingga dapat menjadi bahan kebijakan yang tepat. Berkaitan dengan data LKP dan LKU yang dilaporkan lebih rendah dari yang seharusnya hingga menghambat proses pembaruan ijin, DJPT dapat membangun sistem yang dapat menyediakan data yang akurat terhadap setiap kapal penangkap ikan.
DSS sangat berpeluang membantu menilai kepatuhan pemilik kapal atas pelaporan hasil usahanya secara cepat. Sebelum sebuah SIPI kedaluwarsa, DSS dapat menarik seluruh informasi tentang LBPI, pergerakan kapal melalui VMS, dan data pendaratannya dalam PIPP untuk mengevaluasi kegiatan sebuah kapal penangkap ikan dalam setahun.
Menjawab permintaan Presiden agar proses perijinan dapat dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin, maka perlu kemauan aparat Pemerintah dan pemilik kapal untuk sama-sama mewujudkannya. KKP menyediakan sistem perijinan dan cek silang terhadap hasil tangkapan yang akurat dan cepat.
Teknologi informasi hanya salah satu jawabannya. Pemilik kapal pun harus bersedia menyampaikan informasi yang akurat tentang aktivitas penangkapan ikannya. Laporkan secara benar tentang posisi penangkapan ikan dan hasil tangkapannya karena data perikanan yang buruk akan menghasilkan kebijakan yang melenceng.