Saat menggeluti dunia organisasi Islam, saya tidak asing dengan istilah Islam ‘bergaris’ atau dengan tambahan tertentu. Mungkin ini agak awam atau asing didengar jika tidak berurusan dan tak mau tahu dengan dunia organisasi Islam yang ada saat ini.
Istilah Islam bergaris atau dengan tambahan istilah tertentu muncul karena perbedaan tafsir dalam Islam sendiri. Istilahnya pun bermacam-macam. Label ini diciptakan ada yang dengan sendirinya (karena perbuatan organisasinya/kebiasaannya) dan ada yang karena memang kebijakan organisasinya (untuk menentukan kebiasaannya).
Di lingkungan yang saya pahami, label garis ini biasanya muncul karena dua alasan. Diberikan oleh pihak internal organisasi atau pemberian dari masyarakat. Saya sendiri tidak tahu apakah Islam ‘bergaris’ lebih benar atau tidak dari yang telah ada, tetapi inilah kenyataan yang beredar di masyarakat.
Beberapa Islam bergaris atau memakai istlah tertentu secara terbuka mendefinisikan dirinya. Seperti saat Nahdatul Ulama atau NU memperkenalkan istilah Islam Nusantara, di mana menafsirkan Islam disesuaikan dengan kondisi budaya setempat yaitu Nusantara Indonesia, dengan pusat budaya mereka yaitu pesantren.
Ada juga Muhammadiyah, dengan istilah Islam Berkemajuan, di mana mereka menafsirkan Islam dengan memperjuangkan masyarakat Islam yang maju dengan pendidikan dan amal usahanya.
Itu dari organisasi Islam, tapi di dalamnya juga terdapat berbagai sekte atau sub kelompok tersendiri. Seperti NU Garis Lurus, NU Garis Bengkok, hingga NU Garis Lucu. Atau Muhammadiyah bagian liberal-nya, dengan anti-tesa yaitu konservatif. Pengelompokan seperti ini, muncul sendiri di masyarakat kita.
Selain itu terdapat Jaringan Islam Liberal, yang berusaha membebaskan tafsir-tafsir Islam dengan konteks panduan keilmuan yang mereka miliki sendiri. Selain itu terdapat FPI yang terkenal dengan gerakan-gerakan konservatif menjaga akidah, juga aksi demonstrasi, dan aksi sosialnya, Di mana menurut FPI setiap aksi mereka merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar.
Terdapat lagi istilah Islam Wahabi (kalau yang ini saya belum tahu begitu banyak) karena menurutnya terdapat rujukan tokoh ‘wahab’ yang salah. Ada juga kelompok Islam Tarbiyah, dengan gerakan liqo’nya, ini biasanya di kampus-kampus. Sebenernya masih ada banyak lagi.
Nah, kembali lagi, pengelompokan ini sebagian tercipta di masyarakat karena perilaku yang muncul dari masing-masing kelompok. Baik itu karena memang kebijakan organisasinya, atau pun kebiasaan-kebiasaan yang dilihat masyarakat.
Tapi, akhir-akhir ini kayanya terdapat ‘garis’ atau ‘istilah’ baru, yang menurut saya agak lucu. Menggunakan ayat-ayat suci Al-Quran untuk membela Pak Prabowo semata. Walaupun juga ada yang untuk Pak Jokowi. Tapi tidak semasif Pak Prabowo.
Jika terdapat postingan/kata Pak Prabowo di situ juga tidak lupa dengan ayat suci Al-Quran. Menurut saya, ini tafsir mereka, mungkin mereka punya metode keilmuan sendiri. Tidak apa, tidak salah.
Pun juga, dengan demo yang ’rusuh’ kemarin, tidak lupa ucapan takbir dilanturkan dengan sedikit garang (Sedikit intermezo untuk peserta aksi, silahkan membaca Novel Api Tauhid, berkisah tentang Baiduzzaman Said Nursi, yang latarnya revolusi di Turki, intinya menurut saya, kita tidak bisa menjalankan cita-cita syariat, dengan melakukan yang bertentangan dengan syariat). Nah, secara tidak langsung, menjadikan persepsi di masyarakat akan organisasi anda, dan lebih-lebih Islam.
Saya tidak menghakimi, menurut saya, suatu yang berlebihan juga gak bagus, apalagi mengagung-agungkan kepada satu tokoh (siapapun baik Prabowo atau Jokowi). Saya mengenalnya dengan Taklid Buta, di mana seseorang terlalu mengkultuskan seseorang tersebut.
Saya pernah belajar di salah satu Organisasi Islam, tidak perlu saya sebutkan. Di mana memegang teguh untuk tidak mengkultuskan suatu tokoh atau seseorang. Jika kalian tau organisasinya, kalian bisa pelajari hal tersebut, intinya organisasi tersebut mempunyai peran penting dalam pendidikan di Indonesia.
Saya sendiri tidak tahu, apakah kondisi mengkultuskan (saat ini) baik untuk kemajuan Islam atau malah sebaliknya. Yang saya tahu, adalah buruknya persepsi Islam di masyarakat karena hal tersebut. D isatu sisi ada yang bilang karena framing media terhadap Islam. Sah-sah saja.
Tapi intinya gunakan akal rasional dalam bertindak. Baik dalam beragama maupun hal lainya. Dalam hal ini, saya berani mengkoreksi kata-kata saya, jika itu memang salah.