Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) baru saja selesai menggelar Musyawarah Nasional (Munas) ke-30 pada tanggal 23-26 januari 2018 di Makassar. Munas mengangkat tema: “Penguatan Spiritualitas, Perlindungan terhadap Anak dan Pengelolaan Informasi Digital menuju Masyarakat Berkemajuan”. Adapun materi yang dibahas dalam Munas terkait dengan; Fikih Anak, Fikih Informasi, dan beberapa tuntunan Ibadah.
Dalam sejarahnya, Majelis Tarjih memiliki peranan penting dalam membentuk alam pikiran warga Muhammadiyah. Majelis Tarjih sebagai laboratorium ijtihad pemikiran keagamaan yang selalu responsif, adaptif, dan akomodatif terhadap perubahan sosial, politik dan ekonomi.
Mengamati perkembangan Muhammadiyah dan pemikiran keagamaannya, Abdul Munir Mulkhan (2008) menyatakan bahwa pemikiran keagamaan Muhammadiyah mengalami empat fase: yaitu fase kreatif-inklusif, fase ideologis, fase spiritualisasi syari‘at, dan fase romantisme ideologis.
Menurutnya, fase pertama (kreatif-inklusif) ditandai dengan adanya gerakan penyadaran sosial dan budaya yang berorientasi pada pemecahan masalah-masalah kehidupan yang nyata. Fase ini berlangsung pada masa Kiai Dahlan, ketika Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan tajdid dan ijtihad. Achmad Jainuri menyebutnya sebagai era reformisme Muhammadiyah. Dengan kata lain, agama difungsikan secara pragmatis sebagai pemberi solusi problem riil di masyarakat.
Fase kedua (ideologis) diwarnai oleh orientasi yang kuat kepada pemurnian ‘aqidah dan praktik ibadah dari segala jenis takhayyul, bid‘ah dan churafat. Kemudian dikenal dengan penyakit TBC. Tendensi fikih juga sangat jelas pada fase ini. Figur yang berpengaruh pada fase ini, menurut Mulkhan, adalah Mas Mansur pendiri dan ketua Majelis Tarjih pertama tahun 1927. Sejak inilah nampaknya Muhammadiyah mulai membicarakan Fikih.
Pada fase ketiga, terjadi pemahaman terhadap shari‘ah secara spiritual atau sufistik, disertai dengan reformulasi metodologi ijtihad secara lebih terbuka. Fase spiritualisasi syariah ini ditandai, ketika Majelis Tarjih memasukkan pendekatan “irfani” sebagai metodologi ijtihad pemikiran keagamaan. Sedangkan fase keempat disebut sebagai fase romantisme ideologis dan Wahabisme setelah Muktamar 2005 (Malang), meskipun akar intelektualnya telahmuncul pada masa-masa sebelumnya.
Dari perjalanan Muhammadiyah, ternyata pemikiran keagamaan dalam Muhammadiyah tidak berwajah tunggal. Fenomena historis yang menunjukkan bahwa dinamika pemikiran keagamaan dalam Muhammadiyah tidak dapat dilihat semata-mata secara linier atau kronologis, tetapi sebaliknya harus dipotret secara dialektis.
Kondisi itu berjalan secara alami di internal Muhammadiyah. Meskipun keputusan-keputusan dan pelembagaan pemikiran diputuskan secara kolektif-kolegial, tetapi kenyataannya warga Muhammadiyah memiliki variasi, bahkan polarisasi pemikirannya. Dengan kata lain, tidak menyatakan Muhammadiyah adalah “pasar ideologi”.
Dewasa ini, ijtihad keberagamaan yang muncul di masyarakat lebih banyak berasal dari satu arah, yaitu dari lembaga keagamaan. Selain itu, ijtihad keagamaan yang ada juga terlalu berorientasi pada pemahaman keagamaan yang bersifat vertikal dan legal-formal. Artinya, pemahaman keagamaan yang dipupuk adalah yang berhubungan dengan ibadah ritual, doktirner, dogmatis, dan berhubungan dengan kesadaran langit (ketuhanan).
Sementara itu, ijtihad lain yang dilakukan secara radikal dan kreatif sering ditolak kemunculannya dengan berbagai alasan yang dipaksakan. Padahal, sebuah kebenaran tafsir keagamaan tidak serta merta muncul dari satu sisi, namun harus digali dari berbagai segi dan perspektif. Khususnya dalam bidang ayat-ayat etika hukum. Dimana semakin dunia ini berkembang dengan berbagai kemajuan, maka semakin kompleks pula permasalahan hukum yang akan dihadapi umat.
Produk Kreatif Tarjih
Salah satu produk kreatif Majelis Tarjih yang terlupakan adalah Tafsir Tematik Al-Qur’an: Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama (2000). Namun, saat itu belum dapat diterima oleh sebagian besar warga Muhammadiyah. Belakangan, melangkah abad kedua, Muhammadiyah melalui produk-produk Majelis Tarjih kini relatif mengalami kemajuan.
Kini produk ijtihad keagamaan Majelis Tarjih tidak hanya pada persoalan ibadah, melainkan pada pesoalan yang menyangkut hajat publik dan pembangunan peradaban. Kini Muhammadyah telah memiliki fikih kebencanaan, fikih air, dan kini akan membahas fikih anak, fikih informasi hingga fikih lalu lintas.
Penemuan Kitab Fiqih jilid III terbitan Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Jogjakarta yang isinya berseberangan dengan mainstream paham keagamaan Majelis Tarjih telah “meresahkan” para aktivis dan muballigh Muhammadiyah di level akar rumput. Berdasarkan sumber kitab tersebut, paham keagamaan Muhammadiyah pada periode awal, dinilai sejalan dengan paham keagamaan tradisionalis.
Sesungguhnya, penemuan Kitab Fiqih tersebut bukan hal baru. Apalagi, kitab tersebut diterbitkan sebelum Majelis Tarjih terbentuk. Gerakan Muhammadiyah pada waktu itu memang belum menyentuh ranah fikih sehingga paham keagamaannya masih mengikuti mainstream paham kesilaman pada umumnya.
Jika dahulu para tokoh Muhammadiyah masih menggunakan qunut dalam shalat shubuh, saat ini Majelis Tarjih—dengan kekuatan metodologi istinbath hukumnya—memutuskan tidak menggunakannya. Dahulu para tokoh Muhammadiyah juga masih menggunakan kata “sayyid” untuk menyebut nama Nabi Muhammad saw, tapi kini sudah tidak digunakan lagi (termasuk kultus/ghuluww).
Termasuk jika dulu beberapa perintis Muhammadiyah mempraktikkan poligami. Misalnya KHA Dahlan dan Kyai Syuja’. Bukan berarti bisa diteladani dan dipraktikkan oleh aktivis Muhammadiyah sekarang. Karena dalam perkembangan ijtihad Muhammadiyah memutuskan monogami sebagai prinsip keluarga sakinah.
Membaca fakta historis ini, para aktivis Muhammadiyah tidak perlu risau. Gerakan Muhammadiyah dahulu—sebelum terbentuk Majelis Tarjih—memang belum menyentuh ranah fikih, dan bukan gerakan fikih. Tetapi lebih identik dengan gerakan pelayanan social berbasis agama. Karena itu, dalam konteks perkembangan ijtihad keagamaan buku The Second Message of Islam, karya Mahmod Thaha menarik untuk dibahas di sini. Thaha menempatkan pemahamnnya pada masalah makkiyah dan madaniyah ini pada kedudukan yang sangat penting.
Menurutnya ayat-ayat makkiyah mengandung pesan Islam yang abadi dan fundamental, yang menekankan akan kesetaraan, keadilan dan kebebasan tanpa ada unsur paksaan bagi seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, keyakinan beragama, dan lain-lain. Namun, karena substansi pesan tersebut terlalu maju untuk diterapkan dalam konteks masyarakat pada saat itu, sehingga umat manusia belum siap menerimanya, pesan yang begitu agung, bebas dan penuh dengan kedamaian tersebut ditolak dengan keras oleh orang-orang Makkah.
Sampai-sampai Nabi sang pembawa pesan terpaksa hijrah ke Madinah, yang berimplikasi pada beralihnya pesan-pesan makkiyah yang adil, lembut dalam ajakan kepada kebenaran dan memandang semua manusia setara, menjadi pesan-pesan madaniyah yang spesifik, kaku dan bersifat praktis, yang dengan tegas membedakan antar kelompok manusia.
Pergeseran ini mirip dengan perubahan corak pemikiran keagamaan Muhammadiyah pra dan pasca Tarjih. Muhammadiyah pra-tarjih cenderung toleran, inklusif dan reformis berubah menjadi orientasi fikih, ekslusif dan puritan.
Oleh karena itu, ijtihad Muhammadiyah hari ini bagaimana mampu membumikan prinsip-prinsip dasar Islam yang mengandung nilai keadilan, kedamaian dan kesejahteraan.