Jumat, Maret 29, 2024

Mufakat Jahat Antara Pejabat dan Pengusaha

Agus Buchori
Agus Buchori
Saya seorang arsiparis juga pengajar yang menyukai dunia tulis menulis, berasal dari kampung nelayan di pesisir utara Kabupaten Lamongan tepatnya Desa Paciran

Korupsi tak pernah mati. Hampir tiap hari kita membaca berita kasus tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penangkapan penangkapan itu tak membuat pelakunya menjadi jera. Malah membabi buta.

Bahkan, tahun lalu, hampir seluruh anggota DPRD di salah satu Kabupaten/kota di Jawa Timur terkena kasus korupsi. Bukankah ini luar biasa karena korupsi malah dilakukan dengan berjamaah.

Kenapa korupsi seolah tak mau pergi dari negeri ini. Ternyata akar masalahnya adalah terjadinya kongkalikong antara uang dan kekuasaan. Uang ingin memperoleh kekuasaan dan kekuasaan dijadikan untuk mendatangkan uang. Klop sudah.

Pernyataan semakin menguatkan pernyataan bahwa power tend to corrupt. Karena terjadi penyalahgunaan fungsi antara uang dan kekuasaan inilah akhirnya korupsi hadir dan terus menggoda para pelaku pelakunya.

Pelaku utama dari kedua unsur tadi adalah pejabat dan pengusaha. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kedua aktor utama itu selalu menjadi tokoh sentral jika terjadi kasus kasus korupsi yang ditangani oleh KPK.

Pejabat di negeri ini sangat mendewakan uang dan sering berlaku sebagaimana pengusaha yang gemar tampil mewah dan memiliki banyak uang. Gaya hidup hedonis menjadi panutan para pejabat itu yang seharsnya mereka tahu gaji dan kebutuhan hidupnya tak mungkin bisa untuk itu.

Setelah kita merdeka apakah situasi juga berubah saat pejabat koloial itu digantikan oleh pejabat pejabat negeri sendiri. Tentunya kondisi ini masih banyak perdebatan. Sebagai bangsa yang merdeka kita telah mengalami perubahan dalam hal akses pendidikan dan pelayanan publik lainnya.

Namun, terkait dengan mental pejabat pejabat yang menjalankan roda pemerintahan saya rasa kita masih sepakat belum ada perubahan yang signifikan-hampir sama dengan masa kolonial.

Masih ditemui di negeri ini pejabat yang berkedudukan tinggi sewenang wenang terhadap bawahan. Bahkan masih banyak ditemui pejabat pejabat yang minta diperlakukan khusus sebagai ndoro ketika mereka berkepentingan dengan pelayanan publik. Sedangkan dalam gaya hidup mereka betul betul tak mau dikatakan sebagaimana gaya hidup bawahan.

Padahal yang membedakan antara bawahan dan atasan adalah soal tanggung jawab pekerjaan. Di mana pejabat atau atasan pasti mempunyai tanggung jawab yang besar.

Dan untuk hal yang satu ini, yaitu korupsi, bisa dikatakan malah sama persis dengan pejabat kolonial. Saya takut jangan jangan perilaku korupsi pejabat kita malah melebihi perilaku pejabat kolonial.

Begitupula sebaliknya yang dilakukan oleh pengusaha. Mereka sering bertingkah sebagaimana pejabat yang mempunyai kekuasaan. Mereka seolah olah yang mempunyai aturan hingga berpolah seenak udelnya. Mereka sering masuk di area penentu kebijakan bahkan sering mempengaruhi produk produk regulasi hingga berpihak padanya.

Di negeri ini pengusaha hampir pasti selalu menang di depan pengadilan jika berhadapan dengan masyarakat, ini semua karena memang kadang regulasi atau atiran yang ada kadang seringkali isinya menguntungkan para pemilik modal itu.

Inilah silang sengkarutnya hubungan uang dan kekuasaan yang akhirnya berlaku cara cara kotor untuk bisa sama sama saling terpenuhi kepentingannya. Uang dan kekuasaan mengubah status orang yang berbeda beda di tengah masyarakat- ada yang kaya ada yang miskin. Ada pejabat dan ada juga bawahan.

Berawal dari sini uang menjadi sarana seseorang untuk menaikkan gengsi di tengah tengah masyarakat di mana dengan cara memilikinya dengan jumlah banyak maka masyarakat disekitarnya akan menyebutnya dengan sebutan Kaya.

Karena kaya adalah gengsi yang menggiurkan bagi sebagian masyarakat yang sudah konsumtif maka keinginan untuk mempunyai uang dengan jumlah banyak menjadi target utama. Dan ini menjadi impian pejabat pejabat itu.Akhirnya jalan pintas adalah bermufakat jahat dengan para pengusaha.

Setali tiga uang dengan yang dilakukan oleh pejabat itu adalah apa yang dilakukan para pengusaha. Mereka melihat celah yang terbuka dari mental sebagian pejabata yang begitu bernafsu dengan uang. Mereka memanfaatkan celah ini untuk bisa bertindak mewakili para pejabat itu. Sering kita lihat para pengusaha di depan publik sering lebih dihormati oleh para bawahan karena mereka memiliki kuasa sebagaiman atasannya.

Dan ini seringkali kita rasakan bagaimana mereka bisa menggerakkan instansi publik agar mengikuti kehendaknya supaya usaha yang dijalankannya lancar dan tanpa halangan.

Kasus penguasaan hutan, tambang dan aneka usaha besar di negeri ini selalu berpihak pada pengusaha. Regulasi selalu dibuat seperti untuk mengakomodir kepentingan mereka. Baik instansi sipil dan militer seolah pembeking semua kegiatannya.

Kesilangsengkarutan hubungan antara pengusaha dan pejabat inilah yang pada akhirnya menumbuhkan bibit bibit korupsi ini. Dengan adanya hubungan yang kotor dari keduanya korupsi seolah olah mendapat pupuk yang bagus untuk menyemainya.

Sudah saatnya kita semua mengubah dan turut andil untuk mengawasi hubungan yang negatif antara pejabat dan pengusaha. Mencegah bibit korupsi ini akan membawa perubahan pada negeri ini. Semua harus tahu posisi masing masing sehingga tidak membuat melenceng dari tugas dan fungsi sebagaimana mestinya.

Agus Buchori
Agus Buchori
Saya seorang arsiparis juga pengajar yang menyukai dunia tulis menulis, berasal dari kampung nelayan di pesisir utara Kabupaten Lamongan tepatnya Desa Paciran
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.