Mudik adalah sebuah peristiwa yang selalu terjadi tatkala bulan suci ramadhan akan berlalu. Fenomena mudik selalu kita temui setap tahunnya, entah kedudukan kita sebagai pemudik atau sebagai tuan rumah yang kedatangan pemudik dari berbagai sudut kota.
Secara kolektifitas, mudik secara tidak langsung menggiring para perantau untuk “pulang” sejenak ke rumah tempat ia dilahirkan. Wajar saja jika kemacetan luar biasa dan kegaduhan lalu lintas terjadi saat mudik. Secara genetis, kebiasaan mudik berkaitan erat dengan kepercayaan atau kearifan lokal kita bahwa orang asli daerah tertentu, harus mengetahui tanah airnya sendiri.
Karenanya, jika ia lupa, maka label metafor “kacang lupa pada kulitnya” akan bertaburan dari berbagai pihak. Atau, karena tanah air kita adalah ibu kandung kebudayaan, kita mesti menjunjung tinggi rasa hormat dan menjaga kewarasan ingatan agar sang ibu tak mengalami “air susu dibalas air tuba.”
Lantas, mengapa mudik selalu dilakukan bertepatan dengan bulan suci ramadhan? Di mana pada bulan ini yang terlihat hanya menjadi ajang pemolesan di ranah cangkang keagamaan, tidak secara substansif memperbaiki kualitas nilai keagamaan itu sendiri. Jika kita lihat, Banyak hal yang secara tiba-tiba muncul di depan mata, seperti program televisi yang berduyun-duyun menjadi sangat Islami; sederet agenda buka bersama; dan yang lainnya.
Kita tahu, seiring dengan datangnya arus mudik, harga bahan pokok dan ongkos transportasi malambung tinggi. Sementara kemiskinan dan kasus radikalisme atas nama agama terus menuai polemik kebangsan. Kasus bom bunuh diri yang terjadi di Terminal Kampung Melayu bulan Mei lalu, menambah daftar kasus terorisme di Indonesia.
Apa bila kita melawat kembali ke hati pertiwi, kebhinekaan dan citra agama semakin buruk karenanya. Agama bukan menjadi benih multikulturalisme, agama malah dijadikan bahan legitimasi para pihak ekstrimis menjalankan “perang suci” demi mendapatkan tiket surga dan menggulingkan pemerintahan “Thogut.”
Selain ancaman kebhinekaan karena penyebab terorisme, seperti yang telah disinggung di atas, bulan ramadhan dan fenomena mudik dibidik oleh para korporasi untuk meraih peruntungan besar. Dengan harga bahan pokok melambung tinggi, sementara kebutuhan masyarakat secara kolektifitas meningkat, hal tersebut menjadi momen menguntungkan.
Selain menaikan harga, penurunan harga pun (diskon) mulai menjamur di beberapa department store atau bahkan di pasar-pasar tradisional. Harga cangkang (baca: baju lebaran dan pernak-pernik hari raya) didiskon dengan bentuk angka yang begitu menggiurkan para konsumen, sehingga arus konsumerisme mengalir begitu deras.
Jika kita bandingkan kualitas puasa kita dengan hiruk-pikuk tradisi mudik menjelang lebaran yang datang setiap tahunnya, itu tak mencerminkan buah hasil kontemplasi (puasa) kita selama satu bulan penuh. Jika begitu, datangnya bulan ini sepertinya belum memberikan hal yang berarti dalam perbaikan kualitas keagaaman kita saat ini. Oleh karenanya, saya ingin menyebut tradisi mudik kita saat ini hanya sebatas ritual budaya yang tak dapat dihindari oleh muslim Indonesia.
Esensi Pulang
Setelah melewati masa kontemplasi dengan berbagai tradisi yang menyertainya, bulan ini ditutup dengan lebaran. Di mana lebaran merupakan maksud paripurna muslim Indonesia melaksanakan mudik. Pada hari itu, hampir seluruh sanak saudara serta kerabat bertemu di satu titik silaturahmi yang begitu kental. Mereka saling berinteraksi satu sama lain, membicarakan bermacam hal, entah berkaitan dengan keluarga besar atau ihwal pahit manisnya perjuangan pulang (mudik).
Hemat saya, pulang merupakan kewajiban bagi setiap anak bangsa untuk menjaga tali genetika sosial dengan leluhurnya. Pemaknaan mudik harus kita sikapi dengan cerdas, agar momen kepulangan tak merubah kita menjadi pribadi yang sia-sia karena tak mengerti esensi hari kemenangan. Lebaran atau Idul Fitri merupakan puncak dari ibadah puasa, yang mana seharusnya hari kemenangan itu merupakan hari di mana seorang muslim kembali ke fitri atau ke kesucian fitrahnya. Namun sepertinya esensi kepulangan tersebut terlihat berbelok menuju kepulangan yang bersifat materialistis.
Jika kita kaitkan fenomena mudik dengan kisah metafora Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya, tentu kita tak ingin menjadi anak malang seperti “Si Malin.” Kita tak ingin saat pulang nanti kita asing dengan kampung sendiri, karena sederet perhiasan hari raya dan beberapa fenomena yang menyertainya telah menutupi kewarasan. Pulangnya kita ke kampung halaman harus dilandaskan dengan niat tulus, agar kita tak tertimpa kutukan dari ibu kandung kebudayaan.
Kedurhakaan itu memang tak bisa kita lihat dengan mata telanjang, namun upaya untuk menjadikan tradisi mudik sebagai ajang menjaga kewarasan ingatan boleh jadi baik adanya. Karena sekalai lagi, substansi pulang atau mudik itu sendiri, harus kita fahami sebagai media kembali ke kesucian yang mana secara spiritulaitas kita diberi kesempatan untuk memperbaiki keburukan yang telah diperbuat.
Saat mudik, sederet agenda formalitas telah menjadi tradisi kebudayaan yang jauh dari substansi bulan suci. Namun, memang tidak semuanya buruk. Hanya saja nilai refleksi kita mesti dipertanyankan kembali; apakah buah dari kontemplasi selama sebulan penuh dihilangkan begitu saja dengan serangkaian acara seremonial semata? Lalu, saat hari kemenangan yang begitu suci tiba—melihat kemiskinan serta ancaman keretakan kebhinekaan terus meningkat—siapa yang pantas disebut “orang suci” dan “sang pemenang”?