Kamis, Maret 28, 2024

Mudik dan Masyarakat Konsumtif

Farika Maula
Farika Maula
I'm journalist based on Jogja

Masyarakat di negara ber-flower saat ini bisa dikatakan lekat dekat dengan perilaku konsumtif. Bagaimana tidak? Saat barang-barang yang dimiliki masih berfungsi, kemudian produk terbaru keluar, disitulah terdapat kecenderungan untuk membeli produk baru tersebut.

Hal tersebut terjadi demi dapat mengikuti perkembangan terbaru atau tren masa kini. Tak hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuatan finansial, kecenderungan perilaku konsumtif ini juga dilakukan oleh orang-orang yang kekuatan finansialnya tidak memadai.

Bahkan demi mendapatkan produk terbaru, beberapa dari mereka kadang sampai berhutang. Karakteristik tersebut jelas menggambarkan bagaimana konsumtifnya masyarakat saat ini. Perilaku konsumtif masyarakat ini terlihat pada saat musim mudil Lebaran sepeti sekarang.

Bisa dibilang juga bahwa tradisi mudik menjelang Lebaran dianggap sebagai terapi modernitas bagi masyarakat kota yang mengalami keterasingan (alienasi) antara kebutuhan spiritual dengan pemenuhan kebutuhan status sosial, politik dan ekonomi.

Mudik hanyalah aktivitas kaum urban yang bermukim di kota. Maka, tak heran jika aktivitas mudik ini dimaknai sebagai tradisi masyarakat perantau di kota yang kembali kampung halaman. Menengok kampung halaman menjadi kebiasaan setahun sekali dan waktu yang tepat jelang Lebaran. Tak hanya dengan tangan kosong, mereka banyak yang rela merogoh kocek dalam untuk dijadikan oleh-oleh sanak saudara di kampung.

Nah anehnya, berbelanja menjelang Lebaran merupakan hal yang wajar karena hanya setahun sekali. Kita dibentuk sejak kecil dengan pendidikan Lebaran identik dengan segala sesuatu serba baru. Lebaran tidak afdol jika tidak dirayakan dengan barang-barang serba baru. Respon konsumeris yang dibangun dalam tradisi mudik beserta pernak-pernik materialisme sering melupakan substansi silaturahmi yang dibangun dalam mudik.

Selama Ramadan dan jelang Lebaran kita selalu disuguhi pemandangan di pusat-pusat perbelanjaan dengen tawaran aneka produk untuk menarik minat konsumen. Bombardir iklan dan tayangan bernuansa konsumeris di televisi ikut membentuk karakter masyarakat untuk membelanjakan barang jelang Lebaran. THR atau tunjangan hari raya tidak dibelanjakan barang-barang produktif tapi habis pakai. Hal tersebut seperti sudah menjadi pemandangan rutin bahwa tradisi mudik memang sangat lekat dengan perilaku konsumerisme.

Selain pemborosan materi, mudik juga menyisakan masalah klasik mahalnya biaya transportasi. Dapat dibayangkan kan? Berapa dana atau biaya yang harus dikeluarkan untuk menempuh perjalanan mudik. Tabungan setahun dihabiskan dalam sekejap. Bagi pemudik bersepeda motor, pengeluaran lebih murah meski mempertaruhkan nyawa dalam perjalanan. Sementara pemudik dengan pesawat, kereta api, kapal laut, bus mereka menghadapi mahalnya kenaikan ongkos transportasi.

Logika mudik sering dibenarkan untuk sanak saudara di kampung halaman haruslah berkorban termasuk mengeluarkan uang. Tradisi mudik juga kerap menjadi ajang pamer keberhasilan hidup di kota besar. Lihat saja di desa-desa tempat pemudik berasal berjejer mobil keluaran terbaru dengan plat nomor kota besar. Tak jelas apakah itu mobil sendiri atau sewa di rental. Meski di kota hidup serba kekurangan atau pas- pasan ketika mudik harus tetap memberi barang atau uang kepada sanak saudara di kampung halaman.

Lebaran adalah wahana bagi umat beragama dengan dewasa menekankan substansi spiritual ketimbang fisik. Mudik harus dibebaskan dari gaya hidup boros dan konsumtif. Perputaran uang yang tidak sedikit mengalir ke kampung halaman di kantong-kantong pemudik harus dapat dibelanjakan untuk mengembangkan ekonomi desa.

Sayangnya, uang sebesar itu kerap dibelanjakan untuk barang yang kurang produktif dan tidak berjangka panjang. Jarang yang dibelanjakan sapi, ayam, kambing untuk diternakkan penduduk desa. Belanja sepeda motor, televisi, telepon genggam, dan sebagainya hanya bermanfaat jangka pendek.

Potret konsumsi selama mudik adalah panic buying dan impulsive buying yang belanja secara tidak terencana dan langsung membeli seketika karena ada uang. Mereka menguras tabungan untuk membeli barang yang sebenarnya tidak bermanfaat. Dengan begitu konsumsi mudik hanyalah pencarian identitas sesaat. Identitas ditunjukkan seberapa banyak dan seberapa mahal barang yang dapat dibeli.

Konsumsi ini menjadi potret seberapa sukses kemapanan seseorang. Oleh karena itu mudik harus dibebaskan dari budaya pamer dan konsumtif.

Farika Maula
Farika Maula
I'm journalist based on Jogja
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.