Jumat, Oktober 4, 2024

MRT, Ojek Daring, dan Kita

Setelah perencanaan dimulai sejak tahun 1980, peresmian MRT di Jakarta pun akhirnya diresmikan pada 24 Maret 2019 oleh Presiden Joko Widodo. Problematika transportasi sepertinya tak pernah luput dari pandangan masyarakat madani Indonesia.

Mulai dari jenis transportasi apa saja yang established hingga psiklogi masyarakat dalam berkendara. Baru beroperasinya MRT (Mass Rapid Transit) di ibukota menjadi kegembiraan tersendiri tidak hanya bagi warga Jakarta tapi juga bagi hampir seluruh masyarakat. Sebab pada akhirnya Indonesia kini termasuk salah satu negara yang memiliki moda transportasi MRT di Asia Tenggara.

Sejatinya Indonesia menjadi negara keempat yang memiliki moda MRT setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Singapura menjadi negara yang paling mapan menggunakan MRT di Asia Tenggara sejak dibukanya pada tahun 1987 yang perencanaannya sudah dimulai pada tahun 1967.

Kini mereka telah memiliki 197 stasiun MRT dengan 5 jalur yang terus direncanakan pengembangannya. Tidak hanya MRT, Singapura juga sudah memiliki LRT (Light Rail Transit) yang mulai beroperasi sejak 1999. Menurut data TomTom Traffic Index Singapura memperbaiki 31 % angka kemacetan di sana pada tahun 2016 hingga menduduki peringkat ke-45 di antara kota-kota besar lainnya di dunia.

Tentu kita sadar, Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara. Jauh lebih besar dari Singapura. Jakarta pun menjadi kota paling penting di Indonesia sebagai pusat pemerintahan dan pusat perekonomian nasional. Beroperasinya MRT tentu akan menjadi salah satu solusi kemacetan di Jakarta dengan populasi sekitar 10 juta jiwa. 2 kali lipat dari populasi Singapura. Pilihan moda transportasi pun perlu lebih beragam dan harus mampu mengakomodasi lebih banyak individu.

Namun, mengubah budaya berkendara dari menggunakan kendaraan pribadi ke kendaraan umum tidak mudah dan butuh waktu yang tidak singkat. Puluhan tahun warga Indonesia hanya memiliki bus kota, kereta api, dan angkutan kota sebagai transportasi umum dalam kota. Itu pun dengan kualitas kenyamanan yang rendah. Beruntung telah banyak perbaikan bahkan penggantian kendaraan transportasi umum oleh pemerintah hingga penumpang menjadi merasa lebih nyaman berkendara umum.

Hanya saja, lagi-lagi, perbaikan saja tidak cukup membuat individu cepat beralih ke kendaraan umum. Memperbanyak pilihan moda transportasi umum dengan armada yang memadai pun menjadi keharusan bagi pemerintah jika berharap mengurangi kemacetan. Perencanaan yang matang dan pendanaan yang bersih dari korupsi mau tak mau mesti dilakukan. Mengurangi jumlah kendaraan yang bersirkulasi di jalanan terbilang sulit dan membutuhkan waktu yang lama.

Ditambah lagi keberadaan ojek daring yang semakin lama semakin terasa vital bagi masyarakat. Kesuksesan perusahaan-perusahaan daring sulit terbendung karena keuntungan bagi konsumen dan pengendara yang bekerja sama dengan perusahaan terasa besar manfaatnya.

Bagi pengguna, pemanfaatan ojek daring yang memudahkan kehidupan sehari-hari dan efektif sudah membudaya. Bagi pihak yang bekerja sama pun mampu meraup keuntungan yang cukup membiayai biaya hidup atau bahkan lebih menguntungkan dari itu.

Kita tahu bahwa pengendara ojek daring menggunakan kendaraan pribadi mereka untuk mengangkut penumpang. Sedangkan mobil prbadi berkontribusi secara signifikan terhadap masalah-masalah lingkungan dalam lingkup global maupun lokal dan dalam tingkat individu (Reinders et al., 2003). Tantangan mengakomodasi penduduk bersikulasi dalam kota masih belum teratasi, masalah lingkungan pun belum mendapat perhatian.

Perkembangan pesat ojek daring bisa jadi menambah juga jumlah sirkulasi kendaraan pribadi di jalanan dalam kota. Namun, semakin banyak kendaraan pribadi memperburuk masalah lingkungan. Lepas dari zona nyaman kemudahan ojek daring menjadi challenge tersendiri. Namun pemerintah tetap harus menghadirkan moda transportasi umum yang memadai bagi warga dalam kota. Apalagi kota yang mengalami masalah kemacetan.

Tingkah laku (behaviour) dalam memilih moda transportasi bersifat sukarela (voluntary). Meninggalkan mobil yang tidak ramah lingkungan memerlukan kerelaan dan kesadaran pribadi yang utuh. Berbicara mengurangi kemacetan, menyediakan MRT atau LRT ternyata tidak cukup. Masih ada stage selanjutnya yaitu menggunakan transportasi yang ramah lingkungan. Masyarakat Belanda dan Jepang terkenal akan budaya penggunaan sepeda untuk berangkat kerja di berbagai kalangan.

Selain rendahnya tingkat kemacetan, kesadaran mereka akan penggunaan kendaraan yang ramah lingkungan pun tinggi. Termasuk juga kesadaran untuk merendahkan jarak atau waktu commute antara rumah dan kantor. Selain mampu menurunkan angka kemacetan, kebiasaan ini lebih ramah lingkungan dan meningkatkan kepuasan kerja (job satisfaction).

Kebiasaan (habit) menggunakan moda transportasi harus timbul dari adanya kesadaran (conscious). Biasanya, ketika kita keluar dari rumah kita tidak akan berpikir akan menggunakan moda transportasi apa, tapi secara alamiah kita akan memilih dengan sendirinya. (Gatersleben, 2012). Habit lah yang menentukan pilihan kita. Maka jelas mengubah habit harus dilakukan. Keluar dari kebiasaan dan zona nyaman menjadi tantangan.

Kita perlu berterima kasih dengan keberadaan ojek daring tetapi kita perlu lebih berterima kasih lagi dengan adanya MRT dan LRT yang juga direncanakan hadir. Lebih dari itu semua, mengubah habit dan memunculkan conscious bertransportasi yang ramah lingkungan merupakan keniscayaan.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.