Jakarta dan sekitarnya tentu boleh berbangga diri. Kebanggaan ini dapat diungkapkan melalui semacam alat yang sebenarnya sudah agak lama di gaungkan, namun baru terealisasi dan dikemas dengan rasa yang baru. MRT yang sudah lama menjadi impian dan janji-janji kampanye, akhirnya terealisasi dan sudah mulai beroperasi.
Jokowi dan kolega bergegas masuk dan merasakan sensasi MRT. Bersamaan dengan itu turut hadir pula Anies Rasyid Baswedan selaku pengampu jabatan gubernur DKI Jakarta untuk ikut nimbrung didalam suasana yang bisa dikatakan bersejarah bagi majunya sebuah peradaban ibukota. Yah, begitulah DKI Jakarta tempat orang bersuka ria dan bermuram durja.
Ini menjadi sebuah progress yang cukup dinanti oleh penggemar transportasi publik. Di tengah semrawutnya jalanan ibukota, yang macet seakan dikultuskan menjadi kolega dan identitas. Barangkali, masyarakat Jakarta agak heran dan terkekeh jikalau melihat jalanan ibukota lengang dan tidak macet. “jangan-jangan saya bukan di Jakarta”. Atau, “jangan-jangan saya tersesat ini”. Begitu barangkali pikirnya.
Bersamaan dengan itu tentu penulis yang bukan merupakan bagian ibukota, dan tidak memegang KTP Jakarta, agaknya gatal dan ingin mengungkapkan sedikit keluh kesah. Maklum penulis yang berasal dari tataran pedesaan mungkin agak sedikit kikuk kalau disuruh menaiki MRT. Mengingat MRT walau dinegara lain bukan sesuatu hal yang baru, tapi di Indonesia cenderung diperbincangkan beberapa hari terakhir ini.
Sepertinya, MRT menjadi komoditi transportasi yang bisa dikatakan “mewah”, mengingat transportasi kita selama ini, masih berkutat dalam tataran transportasi darat berbasi jalan raya. Ambil contoh, TransJakarta, MetroMini, Angkot dan seterusnya. Begitupun dengan trasnportasi berbasis online, seperti Go-Jek, Grab dan seterusnya. Mungkin kehadiran MRT pada absen menjadi semacam semangat baru dan motivasi baru.
Di tengah padatnya aktivitas ibukota, mungkin MRT bisa menjadi salah satu alternatif transportasi. Demi menghemat biaya dan menghemat waktu para pekerja-pekerja, mahasiswa-mahasiswa dan siapapun, bisa agak sedikit lega menjajali ibukota. Bahkan, yang menariknya perbincangan MRT ini akan terus mengalir sampai ke tingkat tongkrongan-tongkrongan anak muda, kantin-kantin kampus, dan di cafe-cafe hits ibukota. Itu yang penulis yakini setidaknya.
Akan tiba masanya, dimana orang-orang akan coba “memprsentasikan” keunggulan yang dimiliki ibukota hari ini. “coba liat nih Jakarta, udah ada MRT, “daerah lau udah ada apaan?”. Percakapan-percakapan yang seperti ini akan terus muncul. Bagaimanapun, pandangan penulis selaku “orang luar” ibukota, melihat sudah seyogyanya ibukota mempercantik diri dan memoles diri. Inilah hakikat ibukota. Yang harusnya menggoda sebagaimana kebiasaan para primadona.
Fasilitas Publik dan Budaya Menggelitik
Tak dapat dipungkiri, bahwa manusia adalah makhluk yang jenaka. Terkadang, apa yang dilakukan mengundang gelak tawa. Sebagaimana yang juga terjadi pada persoalan issue MRT yang sedang booming-nya di ibukota nan jauh disana. Sepertinya, kejenakaan demi kejenakaan sudah melekat atau setidaknya identik dengan masyarakat kita Indonesia
Baru-baru ini ada fenomena yang membuat kita tergellitik dan agak sedikit terkekeh, dimana terdapat orang-orang yang kemudian bergelantungan layaknya senam aerobik demi mendapatkan angle foto masa kini. Uniknya, hal ini dilakukan dengan kesadaran penuh, dan persis berada fasilitas publik (MRT). Selanjutnya, beredar pula foto-foto orang yang menginjak kursi penumpang MRT dengan tujuan yang sama, apalagi kalau bukan untuk berfoto ria.
Disisi lain, di stasiun MRT, terdapat pula segerombolan orang yang duduk lesehan, lengkap dengan atribut makanan, layaknya di Pantai Pangandaran. Ini merupakan fenomena-fenomena unik yang barangkali hanya kita temukan di negara ini. Dan mungkin sudah menjadi budaya popular yang tidak bisa kita lepaskan dari peradaban masyarakat kita.
Baik, mari kita amplas satu persatu. Sejatinya, tidak ada yang salah dengan berfoto ria, membanggakan kehadiran kita pada suatu fasilitas publik yang kemudian menjadi salah satu ajang promosi secara tidak langsung. Namun, persoalan yang kemudian menjadi keresahan bersama, dimana hal ini juga menggambarkan sifat kenorakan yang seakan menjdi identitas diri.
Bagaimanapun, ia disebut fasilitas publik karena fasilitas tersebut memungkinkan untuk digunakan oleh khalayak ramai, dan statusnya pun kepemilikan bersama. Walau penulis sendiri bukan orangyang berasal dari Jakarta misalnya, tentu terbesit sedikit “rasa memiliki” atau setidaknya kebanggaan yang tersendiri.
Begitupun dengan memakan makanan di tempat umum, yang tentu dan sudah seharusnya berbeda dengan memakan makanan yang sudah pada tempat yang semestinya. Haruslah ada semacam kesadaran yang hadir dan melekat bahwa, atas dasar laparnya kita, jangan sampai membuat orang terganggu dan risih terhadap apa yang kita lakukan.
Hal-hal yang terebut itu sungguh termaktum secara komprehensif dalam logika dasar akal sehat, dan prinsip etika sosial. Pembelajaran-pembelajaran yang demikian itu sepertinya, sudah kita dapatkan dan disuguhkan pada tingkatan dasar sekolah formal yang tertuang dalam pembelajaran PPKN (pendidikan kewarganegaraan), yang materinya mencakup soal tenggang rasa dan adat berbudaya. Harusnya kesadaran-kesadaran itu tumbuh dengan dasar kepemilikan bersama dan kesadaran bersama terhadap fasilitas-fasilitas publik yang seyogyanya diperuntukkan bagi khalayak umum.
Jepang mungkin haruslah menjadi salah satu indikator negara yang dapat mengakulturasikan akal sehat, dan budaya dalam satu waktu. Dalam budaya Jepang sebagaimana yang kita ketahui, bahwa saling menghargai dan menghormati adalah ciri suatu bangsa sebagai suatu warisan. Kita juga tentu mengetahi, bahwa budaya antre juga merupakan bagian hidup orang Jepang. Mereka malu jikalau menerobos antrian, dan melakukan sensasi-sensai yang memuakkan.
Maka, sudah selayaknya Jakarta dan masyarakatnya harus berjalan beriringan sebagai representasi Indonesia dan masyarakat yang progresif. Masyarakat ibukota, sejatinya adalah masyarakat yang mempunyai peradaban maju, dan menjadi tolok ukur suatu bangsa. Hal ini harusnya bukan hanya dalam konteks berbudaya, namun dalam pelbagai aspek-aspek lainnya. Jangan sampai “citra” masyarakat dan Jakarta sebagai wajah Indonesi, tercoreng dengan kelakuan-kelakuan badui, dan menjadi omongan-omongan satire yang menggelitik.