Salah satu fase yang nyaris tidak bisa dilewati begitu saja adalah pengenalan budaya kampus—atau lebih masyhur dengan sebutan ospek. Hari-hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh mahasiswa di tahun sesudahnya. Selain sebagai pintu gerbang terbuka menuju universitas, setidaknya hal tersebut juga penanda masa transisi dari Sekolah Menengah Atas.
Berbeda dengan masa pengenalan budaya kampus sebelumnya yang dilaksanakan daring, tahun ini hampir semua kampus melaksanakannya dengan luring. Hal lainnya yang sudah dimafhum dan menjadi rahasia umum, tidak lain fenomena yang biasa terjadi di sekitar pergelaran tersebut. Nyaris setiap tahun tak kurang dari satu kejadian yang membuat khalayak memberikan atensi.
Sebagai amsal, di tahun 2020, waktu pertama di dalam sejarah ospek digelar dengan secara daring. Salah seorang mahasiswa senior terekam memarahi mahasiswa baru di suatu ruang aplikasi video. Memang, hal tersebut bukan fenomena yang baru di wajah perguruan tinggi kita. Namun, satu hal yang perlu dicatat, setelah sekian tahun ternyata fenomena tersebut nyaris tak lekang oleh waktu. Bahkan di saat pelaksanaan pengenalan budaya kampus dilaksanakan secara daring, seorang senior masih berusaha mempertahankan kultur tersebut. Itu sekaligus mempertegas tesisi senioritas di beberapa perguruan tinggi kita nyaris tidak bisa diredam.
Pada tahun 2014, salah satu kampus Islam negeri di Jawa Timur menuai kecaman dari publik terkait tema ospeknya yang dianggap melecehkan Tuhan. Tulisan “Tuhan Membusuk; Rekonstruksi Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan” yang terpampang di spanduk membuat publik melayangkan atensi negatif. Musabab hal tersebut harus dipahami melalui nalar interpretatif dan bukan secara leksikal, akhirnya terjadi pro-kontra, selaras dengan pendekatan masing-masing. Ide pokok yang mungkin dipelajari dari dua hal di atas tidak lain, nyaris setiap diselenggarakan ospek senantiasa mengundang ramai.
Secara retoris, biasanya ospek memang diklaim sebagai sebuah ajang untuk memperkenalkan budaya kampus. Pertanyaannya kemudian, budaya yang mana yang hendak dikenalkan kepada mahasiswa? Jika hanya sebagai sarana legitimasi senioritas dengan segenap kegarangannya, hemat saya, hal tersebut tentu sia-sia belaka. Mahasiswa baru sudah lebih dahulu paham bahwa senioritas di tubuh perguruan tinggi adalah hal yang sukar dihapuskan, sehingga tidak butuh dikenalkan. Hampir setiap mahasiswa baru mengerti demarkasi senior-junior adalah sesuatu yang kerap di temukan di berbagai tingkat pendidikan.
Oleh sebab itu, pengenalan budaya kampus seperti kehilangan esensinya. Perspektif mayoritas orang di luar menganggap bahwa pengenalan budaya kampus seperti itu hanya ajang perpeloncoan. Bahkan salah terdapat suatu aturan yang cukup terkenal antara lain: satu, panitia selalu benar; dua, jika panitia salah maka kembali kepada aturan pertama. Akibatnya, mahasiswa baru kehilangan pengetahuan terkait hal-hal prinsipil di dalam tubuh kampus—untuk menghindari menyebut ‘problematik’. Idealnya, mahasiswa baru dikenalkan dengan wajah pendidikan kita(secara spesisifk kampus), krisis pendidikan kita, serta posisi pemerintah.
Maksud posisi pemerintah ialah di mana keterlibatan pemerintah dan jaminan pendidikan untuk semua kalangan. Tatkala pendidikan hanya bisa diakses oleh kalangan yang cukup secara material, kita merasakan bahwa di sana pemerintah sungguh absen. Bahkan keberadaan Kartu Indonesia Pintar Kuliah(KIP-K), seringkali luput dari sasaran. Mahasiswa yang mampu secara finansial justru mendapat bantuan, sementara yang berhak tidak. Hal-hal seperti ini yang semestinya(sedikit banyak) mengisi pengenalan budaya kampus.
Namun, secara faktual jauh panggang dari api. Semaksimalnya, pengenalan budaya kampus hanya sebuah kegaiatan yang sifatnya formalitas. Dengan bahasa kasar, seandainya hal tersebut tidak ada, tidak punya implikasi yang signifikan dan serius. Selama ini, apa signifikansi dari pengenalan budaya kampus?
Hemat saya tidak ada yang begitu serius dan urgen. Sebaliknya, justru lebih meringankan beban jika hal tersebut dihapuskan. Namun, rasa-rasanya terlalu naif untuk menghapus tradisi yang telah mendarah daging. Apalagi tradisi yang mendarah daging dengan kultur marahnya dan perasaan senior yang superior. Satu-satunya hal yang bisa didapatkan mahasiswa seputar pengenalan budaya kampus adalah hal-hal yang membuat penat kepala. Mulai dari pakaian hingga atribut lain yang wajib dipakai sewaktu pelaksanaan.
Tetapi, jika pengenalan budaya kampus hanya dimaksudkan sebagai ajang seremonial, tentu lain. Hanya saja, seremoni seperti apa yang di dalamnya justru membuat mahasiswa, yang baru menginjak halaman kampus, merasa tersiksa? Untuk itulah saya berani sesumbar bahwa pengenalan budaya kampus hanyalah mitos. Sama mitosnya dengan orang yang mengatakan bahwa corona hanya menyerang orang-orang kafir.