Sabtu, Desember 7, 2024

Miras, Orang-Orang Kita, dan Riwayat Mabuk-Mabuk

Fatony Darmawan
Fatony Darmawan
Rakyat biasa yang hobi menulis,seorang pelajar dan seorang penikmat opini publik.
- Advertisement -

Jawa Kulon sedang dibuat gaduh lantaran persoalan racikan miras oplosan yang sukses membunuh dan membuat keracunan konsumennya. Setelah riuh dengan Miras Cicalengka, kini Jawa Kulon kembali menjadi bulan-bulanan media karena digrebeknya sebuah gudang di Sukabumi.

Dihimpun dari Detik.com(29/06/2018), sebuah gedung di Sukabumi digerebek puluhan warga. Ribuan botol minuman keras (miras) ditemukan warga di dalam gudang. Saat kedatangan warga, sejumlah pegawai gudang terpandang tengah berkutat dengan aktivitas bongkar muat. Mereka hanya gigit jari saat dus miras diambil dan dibuka paksa warga. Dengan tanggap, warga lantas melaporkan temuannya tersebut kepada polisi.

Miras kadung populer sebagai minuman saat seseorang menghadapi permasalahan yang pelik atau sekadar untuk kepuasan duniawi. Para penggemarnya pun memberi nama beragam pada minuman pembunuh ini, adapun yang menyebut dengan ciu, arak, badeg, AL, dan Anggur.

Meski berlabel sebagai sebuah minuman, kandungan penyusun miras sangat tidak layak untuk dikonsumsi manusia. Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Agung Budi Maryoto menyampaikan, hasil uji laboratorium terhadap minuman keras (miras) di wilayah Cicalengka, Bandung, yang sempat mengguncang lantaran sukses mencabut  nyawa sebanyak 307 orang ternyata mengandung metanol dan etanol.

Peredarannnya tidak akan pernah hilang  walau razia gencar dilakukan.Hal ini dapat terjadi karena terdapat konsumen yang jelas dan terjadi regenarasi sebagai akibat budaya nomnoman yang seringkali melibatkan miras. Ditambah lagi pamor miras belakangan ini semakin melejit, musababnya tak lain karena longgarnya pengawasan dari aparat dan pemerintah kepada daerah-daerah pelosok pedesaan.

Wong cilik yang miskin rajabrana lebih tergoda untuk mencicipi miras oplosan daripada minuman keras berlabel merk dunia. Harga miras oplosan yang jauh lebih murah menjadikan minuman ini sebagai opsi pertama agar wong cilik tetap bisa mabuk.

Dalam sejarah keberadaan miras di Indonesia, merujuk pada keterangan Sosiolog Drs Andreas Soeroso M.S (2016) budaya mabuk-mabukan diperkenalkan oleh kaum kolonial Belanda dengan sebutan Bir.

Pada awalnya minuman keras hanya menyasar pejabat pemerintah saja, namun lambat laun masyarakat juga ikut mencicip dan kadung akrab sampai sekarang. Pada masa itu disamping sebagai penghangat tubuh, bir juga menjadi ajang gagah-gagaha. Tentara KNIL menyebut bahwa yang tidak minum bukan laki-laki. Bir sendiri dimaknai sebagai lambang kekuatan dan kedigdayaan.

Menariknya, tatkala pendudukan kolonial, nama Batavia yang begitu karib di telinga kita lahir dari mulut serdadu VOC yang tengah mabuk berat. Keterangan tersebut diperkuat lewat Alwi Shabab (2013) dalam bukunya yang berkepala Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia.

Ditambahkanya, semasa Jenderal Coen ingin menamai Jayakarta selepas berhasil ditaklukannya dia berkemauan menyematkan De Hoorn sesuai dengan kota kelahirannya. Namun dalam  sebuah  pesta kemenangan  ada seorang soldadoe VOC yang tengah mabuk meneriakkan kata-kata “Batavia….Batavia…” hingga kota ditepian Sungai Ciliwung itupun lekat dengan nama Batavia.

- Advertisement -

JP Coen urung untuk mengubah nama tersebut, musababnya pemegang saham kongsi dagang Belanda lebih gandrung dengan nama Batavia daripada De Hoorn.

Orang-orang Eropa memegang andil besar dalam bisnis miras di Indonesia. Lewat berbagai merk ternama seperti Java Bier, Heinekens dan Ankerpils mereka sukses menjangkit anak-anak pribumi untuk masuk ke lingkaran gelap.

Yang disasar adalah mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Strategi marketing sangat lihai diperankan oleh orang Eropa. Mereka sengaja agar anak-anak pribumi tersebut terlena akan budaya barat. Dampaknya sampai saat ini bir, arak, hingga oplosan sangat akrab di masyarakat.

Dilihat dari dua sisi yang berbeda, miras sendiri sebenarnya mampu memberi manfaat dan juga mudarat. Jika porsinya tepat,miras atau arak dapat dikonsumsi sebagai obat. Yusana Sasanti Dadtun (2016) menyebut bahwa semula, arak dipakai sebagai obat  dan penghangat badan.

Arak juga merupakan jamu yang mujarab menghilangkan rasa lelah. Namun,seiring berputarnya waktu,miras adalah lambang kesenangan duniawi. Tujuan untuk meminumnya bukan lagi atas prinsip obat atau jamu melainkan untuk mabuk-mabukan.

Hingga demi meningkatkan dosis dari omben-omben tersebut,sebagian pedagang nakal megoplos dengan berbagai bahan lain supaya efek mabuk yang dihasilkan lebih kuat.Rentetan kematian akibat oplosan juga tak terelakkan.Tak khayal karena hal ini justru menimbun dogma masyarakat bahwa miras adalah racun bukan lagi obat.

Hingar-bingar miras oplosan terus merongrong kesehatan masyarakat Indonesia.Sebagaimana pemberitaan di media-media kasus kematian akibat miras oplosan ini bukan pertama kali terjadi. Selain kesehatan fisik,oplosan juga mengancam perkembangan mental di kalangan konsumennya.i

Upaya pemberantasan mira sebenarnya sudah digalakkan sejak zaman kolonial.Adalah Komisi Pemberantasan Alkohol(Alcoholbes- trijdings-commissie). Melihat konsumsi miras semakin mengembang di masyarakat. Di Batavia tepatnya di daerah Senen digadang-gadang bahwa keterikatan miras dengan masyarakat sudah sangat merisaukan.Oleh karenannya,dibentuk Komisi Pemberantasan Miras (1918) yang bertugas memberantas miras di Hindia Belanda.

Gembong produsen miras agaknya ringan kepala.Aparat sukar mengungkap.Penggede minuman ini ternyata sudah dibekali dengan sarang produksi yang modern. Dalam praktiknya, Bos dari miras oplosan di Jawa Kulon menggunakan bunker sebagai pabrik. Fakta ini,menggemakan suatu  kondisi bahwa miras bukan lagi sebagai minuman gagah-gagahan tapi juga sudah berkembang menjadi sebuah industri.

Demikian miras atau minuman yang memabukkan dapat bertahan bertahun-tahun lamannya karena adanya konsumen yang kian tahun jumlahnya terus meningkat.Kalangan muda mendominasi sebagai minuman untuk nom-noman. Digrebeknya gudang penyimpanan miras di Sukabumi oleh warga tersebut menerjemahkan sikap masyarakat Indonesia untuk menolak eksistensi miras.

Fatony Darmawan
Fatony Darmawan
Rakyat biasa yang hobi menulis,seorang pelajar dan seorang penikmat opini publik.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.