Kamis, Oktober 3, 2024

Minimnya Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen

ULYA SAIDA
ULYA SAIDA
Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Gender UI . Concern terhadap isu Kepemiluan dan Perempuan

Perhelatan pesta demokrasi tahun 2019 akan segera dimulai. Giat kampanye yang dilakukan oleh para peserta pemilu, termasuk calon legislatif perempuan mulai terasa ghirah-nya.

Memang sudah seperti rahasia umum bahwa pertarungan dalam dunia politik identik dengan maskulinitas, tetapi setiap tahunnya perempuan tidak pernah absen untuk ikut berkontestasi dalam “tarung bebas” tersebut. Walaupun pada kenyataannya hadirnya perempuan dalam parlemen selalu memiliki kuantitas yang sedikit.

Keterwakilan perempuan dalam panggung politik elektoral Indonesia mengalami pasang surut sejak periode awal dilakukannya pemilu hingga pemilu pada periode tahun 2014. Minimnya keterwakilan perempuan dalam parleman disebabkan oleh berbagai faktor.

Hambatan-hambatan yang menjadikan perempuan sulit untuk terjun ke politik salah satunya dipengaruhi oleh ideologi patriarki. Namun dengan adanya affirmative action yang menyebutkan bahwa perempuan diberikan kouta sebanyak 30 persen untuk menduduki jabatan sebagai legislator mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Tidak hanya kesempatan dalam parlemen tetapi affirmative action ini juga diberlakukan untuk kepengurusan partai politik yang setidaknya terdapat 30 persen keterwakilan perempuan di dalamnya.

Bahkan dalam Undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam pasal 173 ayat 2 (e) disebutkan bahwa partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah mememuhi persyaratan menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Hal ini merupakan suatu trobosan yang menarik, yang harusnya ditaati oleh partai politik secara keseluruhan, dan harus dipahami hal ini sebagai bagian dari fase advokasi atas kesetaraan gender dalam perjalanan demokrasi Indonesia.

Kurangnya Kader Potensial 

Adanya affirmative action yang diterapkan pada kepengurusan partai politik ternyata tidak membuat semua partai politik memiliki orientasi yang sama untuk memenuhi kouta tersebut. Terbukti dengan minimnya pengkaderan perempuan yang memiliki potensi dalam kepengurusan partai, sehingga untuk pemenuhan kouta 30 persen pencalonan legislatif bagi perempuan dilakukan secara serampangan. Partai politik melakukan rekrutmen seadanya , bahkan terkesan asal.

Banyak dari bakal calon legislatif perempuan yang ditawarkan mengisi posisi kosong hanya sebagai formalistas, tidak diimbangi dengan kompetensi yang mumpuni. Maka tak ayal tidak  banyak calon legislatif perempuan yang menempati nomor urut 1.  Perempuan lebih dominan mengisi nomor urut 3 bahkan nomor urut buncit. Partai politik yang masih diselimuti iklim patriarki seolah enggan memberikan perempuan posisi strategis baik dalam partai politik dan penentuan nomor urut.

KPU telah merilis prosentase keterwakilan perempuan pada pemilu tahun 2019 mencapai 40,08 persen, dengan rincian 3.200 caleg perempuan, dari 7.985 total caleg yang memperebutkan 575 kursi DPR RI. Namun, pencapaian 30 persen legislatif perempuan pada parlemen bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Optimisme harus tetap dibangun,  dari 40.08 persen caleg perempuan diharapkan minimial 30 persennya berhasil melenggang ke Senayan sebagai wakil rakyat yang bukan hanya wujudnya sebagai perempuan tetapi juga merepresentasikan kepentingan-kepentingan perempuan. Seperti halnya mengedepankan isu-isu mengenai pengarusutamaan gender, kesehatan, pendidikan maupun keluarga.

Sudah Kalah Pada Garis Start 

Diskusi yang berkembang terkait dengan diberikannya affirmative action untuk perempuan  yakni adanya kontraproduktif yang ditunjukkan oleh sekelompok individu yang maupun lembaga. Ada statement yang menyatakan apabila perempuan ingin masuk ke dunia politik maka harus berkompetisi secara fair, tidak usah menggunakan affirmative action. Perempuan diharapkan dapat menunjukkan kemampuannya sendiri untuk bertarung melawan kompetitor lain yang dalam hal ini adalah caleg laki-laki.

Padahal kita ketahui apabila perempuan memutuskan untuk memasuki ranah publik yang dalam konteks ini adalah bekerja pada dunia politik perempuan akan selalu dituntut terlebih dahulu menyelesaikan ‘pekerjaan rumahnya’. Perempuan bekerja akan rela bangun lebih awal untuk membuatkan sarapan keluarganya serta menyiapkan pakaian anak dan suaminya sebelum ia juga berangkat untuk beraktifitas.

Bukan hal yang mudah bertahan dalam kondisi yang demikian. Sehingga tidak ada salahnya perempuan mendapatkan “jalan khusus” untuk hadir sebagai wakil rakyat dan memperjuangkan hak-hak perempuan lainnya.

ULYA SAIDA
ULYA SAIDA
Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Gender UI . Concern terhadap isu Kepemiluan dan Perempuan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.