Kamis, April 18, 2024

Miniatur Pengabdian Mahasiswa

Nurul Huda
Nurul Huda
Moh Nurul Huda Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang, Pengajar di Ponpes Daar al-Qalaam, dan Pengurus Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Wilayah Jateng

“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali (Tan Malaka).”

Dalam paradigma pemikiran yang dibangun, mahasiswa merupakan entitas yang mampu membawa perubahan. Dengan berlandas pada paradigma demikian, mahasiswa selalu disuarakan sebagai agen social of change, agen social of control dan iron stock. Sehingga mahasiswa harus mampu menjalankan peran dan fungsinya.

Berangkat dari pengetahuan, religiusitas dan sikap kritis yang dimilikinya, setidaknya mahasiswa menjadi gerbang pembuka dalam menebar arah kemandirian bangsa.

Akan tetapi, beranjak melihat realitas yang kini telah menjalar dilingkup mahasiswa dan masyarakat, setidaknya sikap demikian kini mulai surut oleh berbagai problematika yang menggejala. Akibatnya, sedikit banyak kehidupan yang dialami oleh mahasiswa dan masyarakat justru terdapat sekat yang sangat kuat dan bahkan tak dapat dipisahkan.

“Sangkar Emas”, setidaknya itulah analogy yang kerap kali digunakan Ali Syariati dalam membatasi kerenggangan antara mahasiswa dan masyarakat. Alhasil, hanya sebuah wacana yang renggang oleh tradisi kebudanyaan semata, akan strata kependidikan yang dimilikinya.

Satu sisi mereka –para mahasiswa—telah memandang dirinya berada di atas. Di sisi lainnya, masyarakat hidup dalam lingkup keterkungkungan dan keterbatasan, sehingga sulit menyelesaikan problematika  yang dialaminya.

Akibatnya, para mahasiswa itu pun diibaratkann hidup dalam pencarian dunia terpencil di kawasan menara gading, yang pencariannya tersebut hanya bersifat segelintir materi untuk mencukupi kepentingan yang dimilikinya (Intelektual Menara Gading). Dan dalam pihak lain, masyarakat yang kurang memiliki wawasan dalam menyelesaikan kehidupannya, justru terlupakan dan tak mendapatkan (hikmah) kebijaksanaan dari para mahasiswa.

Padahal sesungguhnya yang diharapkan—oleh masyarakat luas khususnya—tak seperti realitas demikian. Akan tetapi, yang diharapakan sudah semestinya menjadi intelektual organik yang mampu membaur dengan masyarakat. Sehingga permasalahan kompleks yang kian menggejala pada ranah kerakyatan, mampu diselesaikan dengan seksama oleh keduanya.

Melihat realitas demikian, maka ini merupakan gejala social yang sangat bertolak belakang dengan asas kehidupan islam dalam mencapai kemakmurannya. Yang ketika kita melihatnya, maka mereka bisa bersatu padu dalam menyelesaikan permasalahan bersama. Baik antara cendekia dan rakyat jelata, keduanya bisa bersimpuh dan duduk bersama dalam menghadapi arus hukum yang terbungkus dalam tataran fiqih misalnya (baca: Dinasti Abbasiyah).

Pendeknya, untuk menggalang rajutan kokoh yang terjalin antara mahasiswa dan masyarakat, dalam menumpas tuntas permasalahan yang meggejala. Maka dibutuhkan jalan dalam mencapai realitas demikian. Setidaknya ketika dipandang dari sudut pandang pendidikan perguruan tinggi, sejujurya para mahasiswa dalam pendidikannya memiliki kewajiban dalam melaksanakan peran dan fungsinya.

Kampus yang digunakan sebagai kawah candra dimuka untuk menggodok para mahasiswa tentunya tak hanya mengajarkan teori yang terkesan mendiskripsikan ide dan teori semata. Lebih jauh dari itu, para mahasiswa juga diwajibkan untuk menuangkan ide-ide tersebut ke dalam gerakan-gerakan demi memajukan masyarakat luas.

Setidaknya dalam melaksanakan pembauran dengan masyarakat, agar tercipta mahasiswa-mahasiswa yang memiliki karakter intelektual organik sebagaimana yang dicita-citakan Gramsky. Maka KKN (Kuliah Kerja Nyata) merupakan satu dari beberapa gerakan untuk menjembatani terwujudnya idealitas demikian. Karena dengan adanya agenda KKN inilah, yang sedikit banyak akan memberikan pelajaran kepada mahasiswa dalam menjalin hubungan dengan masyarakat luas.

Pun demikian, setidaknya agenda KKN ini juga bisa digunakan oleh para mahasiswa dalam mengimplementasikan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Dan akhirnya, harapan ke depan para mahasiswa tidak gagap dalam mengurus terkait kebutuhan masyarakat. Sebab, realitas KKN merupakan replika  dalam menciptakan kehidupa nyata.

Terlepas dari realitas demikian, setidaknya secara berkesinambungan kegiatan KKN ini juga merupakan salah satu kegiatan dalam pendidikan tinggi yang diselenggarakan dengan berdasar pada UUD 1945, Undang- undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi.

Sebab dengan mengacu pada kebutuhan yang harus dipenuhi oleh mashasiswa, maka hakikat pendidikan adalah proses pendewasaan yang tergolong secara sistematis, agar siap menjalani kehidupan secara  bertanggungjawab terhadap masyarakat luas dalam mengambil langkah-langkah progresif yang dilaksanakan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Nurul Huda
Nurul Huda
Moh Nurul Huda Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang, Pengajar di Ponpes Daar al-Qalaam, dan Pengurus Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Wilayah Jateng
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.