Sabtu, April 27, 2024

Militer Mengisi Jabatan Sipil, Perlukah?

Teddy Firman Supardi
Teddy Firman Supardi
Direktur Eksekutif di Depublica Institute (Center for Local Development Research and Studies) dan Public Policy Consultant Associate di Visi Strategic Consulting

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengeluarkan wacana akan merestrukrisasi penempatan perwira menengah dan tinggi untuk mengisi jabatan institusi pemerintahan, dengan membuat 60 pos baru dan revisi UU Nor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sesuai dengan aturan penempatan jabatan sipil bagi TNI yang sudah diatur dalam Pasal 47 ayat 2—menjelaskan bahwa Anggota TNI yang mengisi jabatan pemerintahan harus mengundurkan diri.

Langkah kebijakan ini merupakan bagian dari proses mengurai problematika restrukturisasi jenjang karir dan rotasi yang membuat banyak perwira menengah dan tinggi di organisasi TNI tidak mendapatkan pos pengisian jabatan (logjams organization). 

Hal-hal yang krusial dalam relasi dalam konsolidasi demokrasi adalah bagaimana mengatur relasi hubungan militer-sipil-pemerintah—sebuah silang relasi yang sampai sekarang masih menimbulkan banyak masalah dalam prosesnya.

Alhasil, proses reformasi TNI yang menjadi bagian penting untuk membuka kran baru demokratisasi kehidupan publik melawan praktik korporatisme pada zaman Orde Baru, semakin menemukan problematika bagaimana tata semangat reformasi di internal organisasi TNI dapat sejalan dengan semangat pembangunan nilai-nilai demokratisasi,

Masalah lain yang muncul dari masalah ini tentu saja pengelolaan perilaku politik dalam proses reformasi birokrasi di organisasi birokrasi kementerian. Bukan saja akan menimbulkan konflik kepentingan antara budaya birokrasi di TNI dan kementerian—budaya birokrasi yang ada dilingkungan TNI, teruama dalam hal budaya dan jenjang promosi jabatan, tentu saja akan bertentangan dengan budaya birokrasi dan jenjang promosi jabatan yang ada di kementerian.

Selain memunculkan masalah baru untuk jalannya reformasi birokrasi di kementerian. Ada satu masalah proses strukturasi, yang artinya seorang perwira TNI yang mengisi jabatan sipil akan terkendala dengan lingkungan birokrasi pemerintahan yang berbeda dengan lingkungan birokrasi pertahanan. Apalagi, Reformasi TNI sudah membawa jauh TNI untuk tidak masuk dalam wilayah pemerintahan dan kehidupan sipil.

Jenjang Karir dan Promosi

Aris Santoso dalam tulisannya Promosi Jabatan Perwira TNI: Pudarnya Tradisi Banyumasan membuat istilah “like father like son”. Contoh pola promosi yang paling dekat dengan istilah ini adalah promosi Letjen TNI Andika Perkasa (Akmil 1987), yang merupakan menantu Letjen TNI (Purn) Hendropriyono (Akmil 1967). Kemudian promosi jabatan Brigjen Maruli Simanjuntak (Akmil 1992), yang merupakan menantu Luhut Binsar Panjaitan (Akmil 1970).  

Meskipun dalam konteks politik dan kepemimpinan pemerintahan pola nya tradisi promosi dan jenjang karir di kubu TNI tidak selalu sama. Tetapi tradisi ini mungkin menjadi penanda baru bahwa pola promosi TNI yang didasarkan pada hubungan patronase politik yang kuat menjadi pola promosi dan jenjang karir “like father like son” yang dikemukakan Aris Santoso.

Tetapi memang, pola tradisi pola patronase politik yang memang tidak pernah hilang dalam promosi jabatan dan karir TNI, membuat karir dan nasib baik di TNI sangat ditentukan oleh pola tradisi ini. Banyak para perwira menengah dan tinggi yang memiliki karir dan pengalaman yang baik, tetapi kalah dalam relasi patronase politik yang kuat.

Evan Laksmana dalam tulisannya di Harian Kompas 6 Agustus 2016 yang berjudul Pola Mutasi Perwira TNI mencatat bahwa dalam kurun waktu 2005-2015 sebanyak 3.956 pati memperoleh mutasi sebanyak 135 kali, dengan rata-rata ada 360 pati yang dimutasi setiap tahunnya.

Bahkan di era SBY terjadi mutasi yang sangat besar dari 177 per tahun (2004-2009), hingga 511 pati per tahun (2010-2015). Dari 4.000 pati yang dimutasi, hanya 752 pati yang dipensiunkan dan 883 mengalami mutasi dua kali bahkan lebih dalam setahun. Dari pola mutasi yang terjadi, kecenderungannya adalah bersifat lateral daripada vertikal. Dalam rentang tahun 2011-2015 hanya 34 persen yang dimutasi secara vertikal, dan lebih 52 persen dimutasi secara horizontal.

Pola mutasi jika dilihat dalam perspektif kesatuan juga menunjukkan bahwa mayoritas mutasi pati dikuasai oleh AD (51%), AL (27%), dan AU (22%). Dari 7.121  jabatan atau pos yang dimutasi dalam tahun 2005-2015 hampir setengah terkait dengan  Mabes dan kebutuhan fungsi Angkatan Darat (Kostras, Kopassus, Teritorial, dan Mabes AD).

Budaya gengsi jabatan terjadi didalam lingkungan TNI, terutama bagi mereka yang lulusan Akmil, yang dalam setahun meluluskan sekitar 200 personil juga menjadi persaingan diantara Perwira yang mendapatkan promosi juga sangat besar. Perubahan kondisi politik yang didorong faktor kepemimpinan jabatan Presiden selama lima tahun juga menjadi faktor penting dalam pola promosi jabatan Perwira TNI.

Jika dilihat dari perubahan kepemimpinan politik yang terjadi—sangat jarang ada jejaring Perwira TNI yang dapat bertahan dalam perubahan kepemimpinan politik. Fenomena yang sedikit aneh memang pada saat jabatan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang dipromosikan menjadi KSAD pada era SBY, diangkat menjadi Panglima TNI oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 menggantikan Palingma TNI Jenderal Moeldoko yang sekarang menjadi Kepala Staf Kepresidenan.

Menentukan Pilihan

Wacana pengisian jabatan sipil oleh Perwira TNI rasional jika dilihat dari perspektif internal TNI dalam mengurai fenomena logjams dalam pengisian jabatan dan jenjang karir. Tetapi, menjadi bahaya jika dilihat dari semangat reformasi TNI dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Budaya kuat peran Militer pada Orde Baru menjadi penting bahwa membawa kembali TNI untuk mengisi jabatan sipil merupakan pilihan yang tidak rasional diantara opsi kebijakan yang dapat diambil.

Ditengah kondisi ancaman pertahanan yang sangat berubah sangat cepat, lebih baik skema penguatan internal organisasi TNI dengan membentuk pos jabatan baru sesuai dengan kebutuhan keamanan negara menjadi pilihan penting untuk dijalankan. Perubahan pendekatan strategi yang mengarah pada soft diplomacy menjadi pola penguatan institusi internal TNI menjadi penting.

Hubungan sipil-militer yang sudah dalam jalan yang baik pasca reformasi seharunya menjadi semangat melanjutkan reformasi TNI yang harus diperkuat. Dan, pilihan rasional untuk memperkuat hubungan sipil-militer adalah dengan berpedoman pada semangat demokratisasi Indonesia yang masih mencari bentuk.

Teddy Firman Supardi
Teddy Firman Supardi
Direktur Eksekutif di Depublica Institute (Center for Local Development Research and Studies) dan Public Policy Consultant Associate di Visi Strategic Consulting
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.