Dalam pusaran politik praktis, partisipasi politik kaum Milenial dalam meramaikan ruang demokrasi di Indonesia semakin masif. Terlihat banyaknya Milenial yang tebilang prematur berani menjadi caleg bahkan mencalonkan diri menjadi pemimpin daerah.
Secara kuantitatif, seperti yang ditulis oleh Sekertaris Parennial Institute, Marianus Mantovany Tapung, 80 juta (30 persen-40 persen) dari 185.732.093 pemilih adalah kalangan milenial dengan rentang umur 17-35 tahun (Media Indonesia 15/03/19). Fakta ini bisa membangun sebuah spekulasi bahwa penentu kemenangan pada pileg dan pilpres adalah kalangan milenial ─pendapat ini tidak berlaku bagi sebagian orang.
Namun siapa sangka, spekulasi itu bisa dibantahkan dengan fakta dan data yang lebih objektif. Seperti ditulis oleh Priyo Handoko Komisioner KPU Provinisi Kepulauan Riau yang mengungkapkan kecenderungan tingkat partisipasi dari pemilu ke pemilu memperlihatkan penurunan. Tahun 1999 partisipan pemilu 92 persen menurun menjadi 84 persen pada pemilu 2004. Pada pemilu berikutnya tahun 2009 menjadi 71 persen dan naik sedikit menjadi 73 persen pada 2014 (Jawa Pos 13/03/2019).
Dominasi kaum Milenial dalam mengisi ruang demokrasi di Indonesia tak sejalan dengan fakta partisipasi pemilih milenial di Indonesia. Menurut data DPP Fisipol UGM terdapat kecenderungan pemilih Milenial memilih golpot sebagai jalan tengah demokrasi. Melalui media daring, 27 Januari 2019 – Februari 2019 terdapat 2.840 percakapan tentang golput.
Adapun di berbagai wilayah percakapan golput terbilang masif; Jawa Barat 21,60 persen, DKI Jakarta 14, 94 persen, Jawa Timur 14, 64 persen, sementara Jawa Tengah dan Yogyakarta 9 persen, dan di wilayah lainnya 1 persen. Data ini dapat memberikan kesimpulan bahwa 70-80 persen pemilih Milenial, memilih golput sebagai pilihan (Media Indonesia 15/03/19).
Pemaparan data ini juga menunjukan permasalahan yang krusial di kalangan Milenial. Menurut Penulis ada bebrapa aspek yang melatar belakangi keapatisan kaum Milenial sehingga menjadikan golput sebagai pilihan; (1) Interpretasi Milenial tentang politik cenderung memaknainya dengan negatif, politik selalu diasumsikan sebagai alat merenggut kekuasaan, sehingga berbagai cara dilakukan politisi cenderung untuk memuaskan kepentinggan golongannya saja.
(2) Sikap para Politisi/Elit Pemerintah yang memperlihatkan ketidak dewasaan dalam berdemokrasi. Sikap ini sering menimbulkan polemik di kalangan grassroot ─bahkan hingga menimbulkan keos antar golongan di Masyarakat. (3) Arus media sosial yang semaikn masif, yang digunakan sebagai alat kampanye kebencian golongan tertentu, Dan mungkin masih banyak lagi masalah-masalanya yang menyebabkan Milenial malas berpartisipasi.
Keapatisan pemuda dalam meramaikan ruang demokrasi di Indonesia ini bisa menjadi boomerang bagi bangsa. Pasalnya, pada masa kolonial, banyak pemuda yang berkontribusi dalam memperjuangkan kemerdekaan ─sebut saja Syahrir, Soekarni, Choirul Saleh dll─ bahkan peristiwa tahun 1998 yang masih terngiang dalam benak masyarakat Indonesia di pelopori oleh para Mahasiswa. Kenyataan ini berbanding terbalik dengan identitas sosial yang selama ini melekat pada pemuda yaitu sebagai Agent of Change.
Ungapkan Soekarno yang terkenal “Berikan aku sepuluh pemuda akan ku goncangkan dunia” ternyata hari ini hanya sebagai klise dan tidak bisa digunakan sebagai kenyataan empiris.
Dalam konteks demokrasi di Indonesia, masalah ini tidak bisa disalahkan seluruhnya kepada mereka yang lahir pasca Reformasi atau mereka yang disebut sebagai kelompok Milenial.
Karena pada dasarnya mereka lahir dari lingkungan yang membentuk cara hidup dan pola pikir di mana mereka hidup. Cara hidup dan pola pikir ini banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekitar mereka. Dalam konteks politik di Indonesia, Adanya kelompok Elit Pemerintah ─Elit pengubar janji, Elit Koruptor, Elit yang haus jabatan─ yang tidak mencerminkan nuansa demokrasi yang sehat adalah contoh masalah krusial yang membuat Milenial malas berpartisipasi memilih dalam pusaran politik praktis.
Tulisan Franz Magnis Suseno ─tentang golput (baca: golput)─ patut untuk menjadi analisa dalam pembahasan ini. Kewajiban moral ─bukan kewajiban secara hukum─ yang melandasi seseorang harus memilih dalam pilpres mendatang, jika hanya untuk mencegah yang buruk berkuasa, dalam pandangan saya tentu akan menambah kaapatisan pemuda dalam memahami arti demokrasi di Indonesia Aprioritas.
Golput bukan hanya masalah pemuda atau mereka yang tidak mau memilih, tetapi golput juga masalah Elit Pemerintah dalam memberikan nuansa demokrasi yang sehat ─demokrasi yang sarat akan nilai kenegarawanan dan pemenuhan atas hak-hak warga negara.