Belum lama kita dihebohkan pemberitaan mengenai pemaknaan Agnes Monica terhadap keindonesiaannya. Agnes yang biasa dielu-elukan sebagai inspirasi masyarakat Indonesia untuk go international justru dinilai melupakan ‘akarnya’.
Fenomena itu bukanlah yang pertama, warga negara Indonesia (WNI) yang memutuskan untuk pindah ke luar negeri, meninggalkan status WNI-nya atau bahkan sekadar tidak menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama kerap dinilai tidak nasionalis.
Titik ekstremnya disebut sebagai pengkhianat negara. Saat ini peningkatan diskursus nasionalis dalam dan terhadap berbagai lapisan masyarakat Indonesia dan aparatur negara di tengah globalisasi dan wacana terorisme dan radikalisme semakin intens membuat jargon NKRI harga mati makin sering digaungkan. Bahkan baru-baru ini Kementerian Pertahanan dan Kementerian Ketenagakerjaan berencana memfasilitasi internalisasi bela negara bagi pekerja migran Indonesia.
Sebenarnya apa nasionalisme itu? Seberapa penting nasionalisme kita wacanakan dan bagaimana praktiknya saat ini di Indonesia?
Mari mundur sejenak. Tulisan ini tidak akan membahas Agnes Monica, apa itu darah Indonesia atau apa yang membuat seseorang disebut Indonesia banget seperti yang kini diperbincangkan ─toh identitas kebangsaan (bukan kewarganegaraan yang menekankan basis administratif) adalah proses menjadi yang terus dikonstruksi dan didekonstruksi dalam perjalanan seseorang mencari jati diri.
Melainkan menjadi sebuah refleksi bagi kita yang sering cinta buta pada atribut-atribut, isme-isme dan gelar tertentu untuk memahami bagaimana nasionalisme dapat dimaknai secara lebih santai dan luas melampaui batas teritorial dan administrasi negara atau jargon kelas elit politik.
Nasionalisme tak dapat dipungkiri adalah usaha para elit untuk menciptakan kecintaan suatu komunitas terhadap bangsa dan negaranya. Komunitas tersebut adalah bangsa itu sendiri. Menurut Benedict Anderson (1991), bangsa adalah komunitas politik imajiner yang secara inheren dibatasi dalam kedaulatan tertentu.
Imajiner dalam artian komunitas ini tidak pernah mengetahui, mendengar atau bertemu satu sama sekali tapi memiliki khayalan atas komunalitas. Khayalan tersebut dibangun dari narasi yang Ben sebut kapitalisme cetak.
Dalam konteks Asia Tenggara, narasi ini dibangun sebagai respon untuk memobilisasi rakyat melawan kolonialisme yang terjadi pada zamannya. Empat dekade belakangan globalisasi yang mendorong arus perdagangan, investasi, ide dan pergerakan manusia memungkinkan siapa saja (yang memiliki akses) dapat melampaui batas teritorial negara secara fisik maupun gagasan.
Di sini, sistem Westhpalia atau negara-bangsa ditantang relevansinya. Globalisasi mampu menciptakan peluang dan tantangan bagi kedaulatan negara tak terkecuali dalam pergerakan manusia atau migrasi internasional.
Dari sudut pandang negara, migrasi memiliki neksus dengan pembangunan namun di sisi lain kerap dipandang sebagai ancaman yang dikaitkan dengan konflik dan bahkan terorisme.
Sedangkan bagi migran sendiri, migrasi membuka kesempatan mengeksplorasi ‘dunia baru’, mencari keamanan dan penghidupan lebih baik. Lantas mengapa nasionalisme tetap dinarasikan dalam era globalisasi, yang idealnya semua bangsa berevolusi menjadi warga dunia (global citizen)?
Seperti pemerintah Indonesia yang repot-repot mendoktrin pekerja migran untuk membela negara padahal sebagian dari mereka bahkan kesulitan membela diri sendiri ketika berada di negara penempatan atau masyarakat Indonesia di tanah air dengan heboh mempertanyakan nasionalisme Agnes dengan pernyataan yang sesungguhnya wajar muncul pada konstelasi sosial-politik dunia saat ini.
Tujuannya adalah untuk menciptakan stabilitas dalam negeri dan kohesi sosial bagi warga negara dalam satu identitas nasional. Daya ikat nasionalisme yang begitu kuat dan kerap tak terelakan hingga tak terbatas batasan geografis. Di Indonesia, migrasi internasional identik kaitannya dengan pengiriman TKI.
Pembahasan mengenai migrasi internasional dalam konteks emigrasi berkutat pada pembangunan ekonomi yang didorong devisa yang diberikan oleh TKI serta perlindungan terhadap mereka baik di dalam maupun di luar negeri. Diskursus migrasi di Indonesia jatuh pada aspek legal, administratif dan ekonomi.
Padahal terdapat pula pertukaran ide dan sosial-budaya yang terbentuk akibat pertemuan antar bangsa dari praktik migrasi.
Dalam konteks internasional, kita jarang sekali membahas bagaimana TKI atau yang lebih luas lagi diaspora Indonesia mengalami nation-building atau memaknai keindonesiaannya baik secara individu maupun komunal. Pun tersedia, umumnya adalah catatan perjalan mereka yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia dan Indonesian Diaspora Network.
Padahal diaspora Indonesia juga mencakup mereka yang menjadi buruh migran Indonesia. Tentu mereka memiliki cerita tersendiri dalam memaknai keberadaannya yang jauh dari kampung halaman. Namun ya memang pada dasarnya nasionalisme adalah retorika para elit untuk memobilisasi massa. Tak heran apabila terdapat bias kelas dalam upaya tersebut.
Idealnya, migrasi merupakan salah satu perjalanan seseorang dalam memaknai kembali identitasnya. Sebuah upaya memperluas khayalan dan merombak batasan sosial dalam diri dari hasil berkenalan dengan budaya lain.
Memang dampak dari migrasi internasional pada diri seseorang atau kelompok tertentu bisa saja berbeda. Ada yang menjadi lebih kosmopolitan dengan lebih mengedepankan kemanusiaan ketimbang kebangsaan, ada pula yang justru mengafirmasi kembali kebangsaannya seperti Agnes.
Namun perlu dicatat bahwa kedua dampak migrasi internasional terhadap pribadi seseorang tentu tidak sehitam-putih itu. Sebab identitas adalah sesuatu yang cair dan tidak tunggal yang dapat diaktivasi dalam ruang dan waktu tertentu. Contohnya ketika di luar negeri, kewarganegaraan yang diaktivasi.
Ketika di dalam negeri, kesukuan yang diaktivasi. Ketika bertemu orang tua pacar baru, keagamaan yang diaktivasi dan seterusnya. Nasionalisme memang tidak apolitis, namun nasionalisme bisa tumbuh dari familiaritas yang seseorang jalani dalam hidupnya. Sebab hakikat dari manusia adalah mencari sense of belonging, mulai dari kelompok setingkat keluarga, suku, agama hingga konsep negara merupakan usaha manusia menciptakan komunalitas.
Prosesnya dapat muncul dari hal yang paling anekdotal seperti makanan atau hal-hal personal seperti kerabat dan memori yang dapat memicu seseorang di mana pun ia berada ingin terus terikat dengan komunitasnya. Rasa bangga terhadap keindonesiaan berbasis NKRI silakan saja.
Terkadang hal tersebut diperlukan untuk memenuhi kebutuhan emosional untuk merasa tergabung dalam komunitas tertentu. Contoh banalnya adalah ketika mendukung Timnas Indonesia.
Asal jangan sampai kita terjebak dalam hyper-nationalism yang justru kontra produktif dengan tujuan awal. Maka dari itu, jika ada rezeki, perbanyaklah jalan-jalan, berdialog dengan bangsa lain, dan refleksikan kembali identitas yang melekat dalam diri tanpa dipaksa melalui program bela negara.
Sebab diri kita tak terbatas pada sekat teritorial. Kita sendiri yang mengalami perjalanan memaknai identitas kita yang tak tunggal dan perlu dibaca berulang kali. Jadilah manusia ruang.