Tulisan ini pertama, untuk menghormati talenta terbaik dalam jagad sepak bola. Kedua, untuk memenuhi janji saya terhadap seorang sahabat di dunia maya, Prof. Subdan. Dan ketiga, demi menegakkan objektivitas dan mungkin juga subjektivitas dalam sepak bola.
Don’t cry for Me Argentina, lagu yang dinyanyikan penyanyi kondang Madonna, kini bergema kembali di Argentina. Gema lagu ini akan semakin keras jika Argentina dalam partai terakhir melawan Nigeria di fase grup nanti mengalami kekalahan lagi atau bahkan seri.
Talenta
Lionel Messi, adalah talenta terindah dalam dunia sepak bola. Lahir dalam keadaan miskin yang menyebabkan ia kurang gizi dan mengalami gangguan pertumbuhan fisik, seolah olah tidak mengurangi bakat alamiah dan kemampuannya dalam bermain bola.
Barcelona yang “menyelamatkan” bakatnya dari kejamnya kemiskinan hidup. Klub Catalan itu membentuk fisik dan prestasi seorang Messi, yang disebut sebut anak emas dari para “dewa bola di Olympia”.
Prestasinya mencorong, bak berlian kelas wahid yang mewah akibat proses alamiah alam. Prestasi yang mencorong itu diperkaya dengan mewahnya oleh reputasi ia dalam membobol gawang lawan. Belum habis puja dan puji, juga semakin lengkap dan kemampuan Messi meliuk-liuk diantara banyak lawan dalam upaya membobol gawang lawan atau “sekedar” memberi asist dengan cara yang sangat mudah di mata para penontonnya.
Prestasi yang mewah di klub dibarengi juga dengan sikap “tawadhu” yang mencerminkan kerendahan hati dan permainan yang bersih. Singkatnya sosok ini memang seperti Mesiah dalam sepak bola yang digambarkan oleh para pengamat bola.
Segala daya upaya klub dan Messi menjadikan Barcelona meraih prestasi yang tidak tertandingi di era siapapun. 2 kali menciptakan trebel atau 3 gelar dalam satu musim. Peraih gelar pencetak gol hampir setiap musim, yang hanya diselingi oleh pesaing utamanya, Cristiano Ronaldo.
Peraih Balon D’ior sebagai pemain terbaik dunia 5 kali yang lagi-lagi hanya bisa diselingi oleh pesaing utamanya Cristiano Ronaldo. Maka tidak heran, jika seorang Neymar mengatakan, bahwa ia adalah pemain terbaik dunia, sedangkan Messi dan Ronaldo adalah pemain dari planet lain. Semua itu memberikan secara utuh talenta seorang Lionel Messi.
Antara Barca dan Argentina
Di Barcelona, Messi adalah cerita sukses dengan gelimang prestasi. Di dukung oleh seluruh kekuatan Barcelona, terutama para pemain di lapangan. Tokoh “pewayangan” ala Barcelona, seperti Xavi Hernandes, Adreas Iniesta dan lainnya, telah membuat Messi bekerja menjadi “lebih mudah”.
Gaya taka tiki mendikte liga di Spanyol dan Dunia. Masyarakat jagad sepak bola sebagai penikmat tentu saja terhibur dalam drama dan seni yang disuguhkan Messi dan Barcelona selama 2 × 45 menit pertandingan berlangsung. Singkat kata, dengan Barcelona segalanya telah diraih dengan sangat mewah dan megah.
Bagaimana dengan Argentina. Ceritanya berbading terbalik, bahkan sangat nestapa. Bersama Argentina, tim nasional dengan reputasi dua kali juara dunia, ditambah lagi dengan kemewahan talenta yang dimiliki rata rata squad tim Tango itu, Messi selalu menuai cerita duka. Tiga kali mencapai final, dengan tiga kali kalah di Final. Dalam kejuaraan Sepak Bola Piala Dunia, Messi selalu berurai air mata dan duka. Dalam Piala Dunia yang lalu, Argentina mencapai Final, tetapi dikalahkan Jerman. Menangislah Argentina.
Kini, dalam pesta yang sama pada fase grup duka membayanginya. Bermain seolah sendiri, tanpa dukungan dan kerjasama tim yang memadai, ia seolah mengejar kemenangan yang sia sia. Melawan Eslandia, Messi berusaha dengan keras menunjukkan gengsi Argentina. Alhasil penalti diperoleh karena manuver dan penetrasi personal seorang Messi. Sayang pinalti itu gagal dikonfersi menjadi gol.
Ia bermain tanpa dukungan dan semangat tim yang memadai. Talenta besar Kun Aguero, Angel Di Maria, Nicholas Otamendi, JMascherano, dan yang lainnya, ibarat warna warni yang cerah tapi tidak menyatu dalam harmoni. Maka menjadi kemuraman belaka.
Sebagai sebuah tim, talenta besar Argentina tidak mewujud di lapangan. Masuk arena pertandingan dengan wajah yang tegang dan asing satu sama lainnya. Akibatnya, bola tidak mengalir, umpan satu dua tidak muncul. Penguasaan bola yang dominan menjadi sia sia.
Melawan Kroasia semakin nampak beban itu. Wajah muram semakin nyata setelah 2 x 45 selesai. Kekalahan 0-3 memberi hantaman bagi Argentina dan Messi. Seolah kompetisi yang menyisakan satu kali pertandingan lagi bagi Argentina telah berakhir.
Apa yang salah dengan Argentina. Tim dengan bintang yang bertaburan hampir di semua lini itu begitu rapuh dan tidak mampu mengorganisir diri mereka dengan baik. Jawabannya adalah mereka tidak menyatu. Messi dan anggota tim lain tidak menyatu dan sesama anggota tim lainnya juga tidak menyatu. Komunikasi verbal dan terlebih lagi non verbal tidak muncul di lapangan.
Messi bukan tipe pemain manja. Dia biasa menjelajah lini tengah sampai ke depan gawang musuh, meski usianya sudah menua dan itu ia tunjukkan ketika melawan Eslandia. Messi juga bukan individu yang egosi. Ia biasa memberi umpan dan Asist kepada rekannya di Barcelona untuk mencetak gol. Maka terkenal Trio MSN di Barcelona, Messi, Suarez dan Neymar.
Di tim Argentina, situasinya berbeda. Bahkan sangat berbeda. Anggota tim tidak mengikat diri mereka ke dalam satu tim yang utuh. Maka hasilnya sebenarnya menjadi masuk akal jika gagal.
Nampaknya Lionel Messi akan memiliki karir cemerlang dalam jagad sepak bola, dengan cela tidak pernah mengangkat Piala Dunia. Trophy yang ia dambakan dengan keikhlasannya menukar dengan seluruh trophy kejuaraan yang ia menangi. Mungkin Messi akan berkata: “Don’t cry for me Argentina.”