Belum lama ini, lagi rame-ramenya merger Gojek dan Tokopedia. Wih, keren ya aplikasi karya anak bangsa yang gede-gede sekarang gabung jadi GoTo. Bank-bank syariah milik negara (BNI Syariah, BRI Syariah, & Mandiri Syariah) juga melakukan merger. Bahkan berdasarkan data KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), ada 163 kasus merger & akuisisi yang selesai pada tahun 2020
Sebenernya kenapa sih perusahaan memutuskan buat merger atau akuisisi? Oke mungkin kita tahu ya, alasan perusahaan merger & akuisisi itu ya pasti buat meluaskan pangsa pasarnya. Dengan melakukan penggabungan usaha, perusahaan bakal lebih mudah buat mendapatkan sumber daya, baik itu perolehan dana, teknologi, skill & knowledge, maupun sumber daya manusia.
Belakangan ini lagi booming-boomingnya Shopeefood, salah satu menu di platform Shopee yang kita tahu pemiliknya adalah orang luar. Ya sebagai anak bangsa, pasti pengen karya negeri sendiri dong yang lebih booming. Adanya Shopee yang mulai masuk ke dunia industri food delivery, menjadi potensi ancaman buat Gojek, terutama GoFood. Karena ancaman tersebut, Gojek harus buat strategi biar pasarnya gak direbut sama Shopee. Untuk itu, ya dengan melakukan merger dengan Tokopedia.
Di satu sisi, ini emang suatu hal yang positif. Dimana tujuannya untuk mempertahankan pasar dan melindungi karya anak bangsa (Gojek & Tokopedia) dari persaingan usaha dengan perusahaan asing. Dan memang sudah seharusnya, tercipta ekosistem di mana karya anak bangsa menjadi tuan di rumah sendiri.
Tapi di sisi lain, bukan hanya Shopeefood sebagai perusahaan milik asing yang mengancam keberadaan GoFood di negerinya sendiri, bergabungnya dua perusahaan besar seperti Gojek dan Tokopedia menjadi GoTo ini juga memicu imbas yang negatif ke dunia industri. Terutama buat peluang bagi startup-startup baru.
Hal ini mirip sama kasus pengambil alihannya (akuisisi) Youtube & Picasa oleh Google, Lazada oleh Alibaba, dan akuisisi WhatsApp & Instagram oleh Facebook.
Perusahaan-perusahaan besar tersebut melihat peluang pasar serta potensi startup-startup baru yang sedang hot. Dengan tujuan untuk menguasai pangsa pasar yang lebih luas dan sudah memiliki sokongan dana yang besar, mereka pasti akan mencoba mengambil alih perusahaan startup tersebut. Kalau si perusahaan startup baru ini gak mau diambil alih, ya si perusahaan besar ini mungkin akan membuat aplikasi sejenis dengan iming-iming promo dan taktik lainnya yang lebih menggiur, sehingga pada akhirnya mampu menguasai pasar startup baru tersebut, sementara perusahaan startup baru tersebut bisa kalah karena minimnya sokongan dana dan ujung-ujungnya gagal mempertahankan pasar, terpaksa kehilangan pelanggan dan akhirnya jatuh.
Kalo kita ingat-ingat, kejadian ini pernah terjadi sama Snapchat yang sempat booming dengan fitur snap & story nya. Karena fitur yang menarik, Sebelumnya, Snapchat sempet ditawarkan untuk diakuisisi Facebook pada 2013, tapi tawaran tersebut ditolak oleh Snapchat. Dan pada akhirnya, Facebook mencoba membuat fitur sejenis dengan Snapchat pada Instagram dan WhatsApp, yang kemudian membuat Snapchat mulai ditinggalkan.
Kasus serupa yang sempat viral di Indonesia juga terkait dengan startup sejenis, yakni layanan ojek online. Yaitu kasus akuisisi Uber di Asia Tenggara oleh Grab. Perang tarif & promo yang terjadi menjadi awal mula persaingan usaha untuk meraih pangsa pasar yang lebih luas.
Promo besar-besaran dan tarif murah yang ditetapkan Uber sejak awal rilisnya, ternyata tidak membuahkan perkembangan yang signifikan di pasar. Hingga akhirnya, Grab memutuskan untuk mengajukan tawaran untuk mengakuisisi Uber. Tawaran tersebut mendapat respons positif dari Uber, dan Grab menjadi startup decacorn pertama di Asia Tenggara dengan nilai valuasi perusahaan di atas US$ 10 miliar.
Bayangin deh, kalo kita membuat startup, jadi booming, tapi pada akhirnya kita harus mau diambil alih perusahaan gede. Emang sih, kita dapet untung dengan meluasnya peluang mendapat sumber daya. Tapi, bukankah kita bisa mendapat peluang yang sama tanpa harus diakuisisi, apalagi kasusnya startup kita udah booming, malah keuntungannya jadi milik kita doang, gak perlu dibagi sama perusahaan gede yang ngambil alih. Kalo kita diambil alih, sebagian besar kepemilikan modal startup dimiliki perusahaan gede yang ngambil alih, otomatis keuntungannya juga kebanyakan buat mereka dan perusahaan mereka jadi lebih besar.
Tapi ya, kalo ada ancaman pangsa pasar bakal diambil alih dengan kloning fitur dan potensi jatuhnya perusahaan, siapa sih yang gak takut buat nolak tawaran akuisisi.
Strategi pasar ‘eat & kill’ alias taktik predator ini dikenal dengan istilah ‘kill zone’. Taktik ini menjadi hal yang lumrah terjadi di negara-negara kaya seperti Amerika & China. Di Amerika ada 4 perusahaan besar yang menguasai pasar seperti Google, Facebook, Apple, & Amazon. Sementara di China, ada 5 perusahaan besar, seperti Alibaba, JD, Tencent, Baidu, & ByteDance.
Meskipun seperti itu, nyatanya di masa pandemi seperti saat ini, strategi merger & akuisisi merupakan hal yang tepat untuk dipilih dan menjadi tren di kalangan startup. Selain untuk memperkuat fundamental bisnis secara finansial di tengah ketidakpastian ekonomi, hal ini dilakukan guna menyesuaikan bisnis dengan tingkat permintaan dan kebutuhan pelanggannya. Dengan merger dan akuisisi mereka akan mampu mengakselerasi layanan dan fitur yang ditawarkan dengan mengkombinasikan sumber daya yang dimiliki, baik itu anggaran, teknologi, maupun skill & knowledge sumber daya manusianya hingga mampu mempertahankan bahkan memperluas jangkauan target pasarnya.