Apa yang kalian pikirkan jika mendengar kata sawah? Hijau, becek, padi, petani, atau panen. Ya, betul sekali, sawah memang tidak jauh dari itu semua. Bahkan mungkin dekat dengan kata ‘miskin’, ‘jorok’, dan berbagai hal tidak menyenangkan lainnya. Padahal ingatkah kalian kalau Indonesia pernah swasembada beras di zaman Presiden Soeharto?
Walau hari ini kuota impor terus merangkak naik, tapi tak bisa dipungkiri bahwa kita pernah swasembada. Terus konsep apakah yang membuat Indonesia swasembada kala itu? Ternyata kala itu Indonesia menerapkan konsep Panca Usaha Tani yang merupakan bagian dari agenda Revolusi Hijau Dunia. Konsep baru dalam tata cara bertani yang meliputi pemakaian benih unggul, pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian gulma, dan pengendalian hama penyakit ternyata menaikkan produksi padi secara nyata.
Agenda Revolusi Hijau ini digulirkan karena dunia saat itu menghadapi krisis pangan besar-besaran, sehingga yang dipikirkan para ilmuwan dan pemangku kebijakan adalah menyelamatkan nyawa manusia sebanyak-banyaknya. Sekian tahun agenda ini berjalan, produksi memang semakin naik dengan adanya varietas unggul jenis baru dan budidaya intensif.
Namun ternyata, mulai muncul beberapa permasalahan lingkungan seperti menurunnya kesuburan tanah dan resistansi hama penyakit. Hal ini membuat beberapa pihak mengkritik Revolusi Hijau membawa bencana untuk keberlanjutan alam. Tapi nyatanya tidak bisa disalahkan sepenuhnya bukan? Niatnya dulu untuk menyelamatkan nyawa manusia. Kalaupun sekarang ada dampak negatifnya, maka harusnya dihadapi bersama.
Oleh karena itu, muncullah konsep baru untuk ‘merevolusi’ Revolusi Hijau atau yang dikenal dengan Revolusi Hijau Lestari. Konsepnya bisa bermacam-macam mulai dari Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), Low Input Sustainable Agriculture (LISA), sampai konsep Pertanian Organik. Semuanya dilakukan untuk menebus dampak negatif Revolusi Hijau.
Terus bagaimana praktiknya di masyarakat? Ternyata peninggalan Revolusi Hijau ini masih mengakar di masyarakat. Konsep Panca Usaha Tani seakan sudah mendarah daging di kehidupan petani. Petani merasa tidak puas jika tidak memupuk dengan Urea atau bahkan merasa kurang yakin jika tidak menyemprot dengan pestisida. Tidak mudah memang merubah apa yang sudah terpatri di alam bawah sadar
. Berkali-kali diberikan penyuluhan pun tetap butuh waktu. Belum lagi padi ini adalah komoditas pemerintah yang cukup panjang rantai pasoknya dan harga pun diatur. Maka wajar jika sawah dekat dengan kata miskin dan kotor, kecuali bagi para tuan tanah. Alih-alih berpikir mengatasi kerusakan lingkungan, urusan kesejahteraan petani saja masih menjadi PR bersama.