Jumat, April 26, 2024

Meretas Perbedaan dengan Kesenian

Almer Sidqi
Almer Sidqi
Wartawan

Diskriminasi merupakan suatu pokok permasalahan yang selalu hadir dalam relung-relung sejarah, dan menjadi suatu bahasan yang seakan tidak pernah selesai hingga saat ini.

Praktik diskriminasi rasial, etnis, dan agama telah membelenggu kebebasan asasi manusia dan prinsip kesetaraan warganegara. Praktik ini bukan produk budaya sebuah bangsa, melainkan hasil konstruksi negara atau penguasa untuk membengkokkan peran komunitas tertentu dalam kehidupan publik.

Tak terkecuali di negeri sendiri. Indonesia merupakan negara plural terbesar yang memiliki keragaman paripurna, berbaur menjadi kesatuan NKRI. Terdiri dari berbagai macam suku, ras, budaya, dan agama, merupakan suatu pengejawantahan dari kearifan lokal yang turun-temurun.

Isu dan praktik diskriminasi merupakan senjata paling ampuh dalam memecah-belah persatuan, maupun stabilitas berkebangsaan akibat pergesekkan yang dikehendaki untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Praktik diskriminasi yang tak terlupakan dalam sejarah Indonesia terjadi di era kolonialisasi Belanda pada tahun 1740. Tragedi ini dikenal dengan Geger Pacinan, atau dalam bahasa Belanda disebut Chinezenmoord yang berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740.

Jatuhnya harga gula sehingga pendapatan mengempis, ditambah kebijakan upeti yang begitu memberatkan – dibebankan beberapa kali lipat yang mesti mereka bayar – memicu aksi protes dan pemberontakan etnis Tionghoa di Batavia.

Pemberontakan tersebut dijawab oleh pihak kolonial dengan pembantaian yang melayangkan kurang-lebih 10.000 jiwa masyarakat Tionghoa, yang diinisiasi langsung oleh Gubernur-Jendral Adriaan Valckenier pada pertemuan Dewan Hindia.

Pasca tragedi nahas tersebut, masyarakat Tionghoa yang berada di luar kawasan benteng, merasa perlu waspada; timbul upaya untuk meretas sekat-sekat budaya dengan melangsungkan perkawinan antara masyarakat Tionghoa dan pribumi, sekaligus menghindari kebijakan-kebijkan kolonial yang represif.

Menurut Windoro Adi dalam buku Batavia 1740 (2010), hal tersebut mengakibatkan kedekatan yang dominan antar budaya yang dibangun oleh masyarakat Tionghoa dan Betawi. Upaya tersebut membuat proses akulturasi budaya menjadi semakin cair. Hasil dari akulturasi ini melahirkan sebuah produk kesenian bernama Gambang Kromong; musik tradisi orkes yang memadukan gamelan dengan alat-alat musik Tionghoa, seperti sukong, tehyan, dan kongahyan.

Hal yang sama juga terjadi di wilayah musik keroncong. Menurut Victor Ganap, musik keroncong memiliki unsur musik fado (musik tradisional Portugis yang berkembang di awal abad 19) dalam tradisi musik Portugis yang sangat dipengaruhi tradisi Islam bawaan bangsa Moor dari Afrika Utara. Bangsa Portugis memperkenalkan alat-alat musik yang dibawanya kepada kaum Mardijkers yang menetap di kampung Tugu, Jakarta Utara. (Krontjong Toegoe, 2011)

Dari kampung Tugu, keroncong diformulasikan sedemikian rupa dengan irama dan intonasi Melayu. Artinya, kampung Tugu adalah pintu masuk keroncong sebagai musik tradisi Indonesia; yang pada gilirannya musik keroncong memiliki ciri khasnya sendiri di tiap daerah – ada keroncong gaya Jakarta, gaya Yogyakarta, dan gaya Solo.

Kampung Tugu memiliki grup musik keroncong yang telah berdiri sepanjang 156 tahun, bernama grup Krontjong Toegoe. Yang unik, proses pergantian personelnya dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat kampung Tugu yang terdiri dari masyarakat keturunan campuran: Portugis, India, dan pribumi.

Menilik fenomena di atas, terdapat sekat-sekat budaya yang mampu diretas melalui seni, khususnya musik. Pada masanya yang lalu, masyarakat kita meredam praktik maupun gejala diskriminasi dengan praktek berkesenian secara kolektif. Seni mampu membuktikan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang benilai tinggi, karena ia mangandung ragam pemikiran dan ide yang tak terbatas.

Para seniman musik Gambang Kromong dan grup Krontjong Toegoe dengan segala daya-upayanya masih mengemban pelestarian di tengah kelesuan kita dalam menghayati khazanah musik tradisional. Ragam musik tersebut yang sejatinya lahir dari etos sintesa budaya, penyatuan ide, olah rasa, dan romantisme toleransi masa lampau, pelan-pelan sekarat dalam transformasi nilai yang kian mengempis di tanah kelahirannya sendiri.

Di sisi yang lain, dekadensi moral yang terjadi belakangan menjadi keprihatinan kita bersama; praktik diskriminasi dengan segala daya pikirnya yang kerdil, serta kepentingan-kepentingan di dalamnya. Namun, ada jalan alternatif yang ditawarkan Nietzsche: ia percaya bahwa penghayatan hidup melalui seni merupakan cara untuk membebaskan orang dari kungkungan moral – serta aforismenya: seni adalah monumen kemenangan manusia dalam menjawab hidup.

Saya percaya, kita semua merindukan Indonesia tanpa diskriminasi.

Sumber:

Adi, Windoro. “Batavia 1740” Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Ganap, Victor. “Krontjong Toegoe” Badan Penelitian ISI Yogyakarta, 2011.

St. Sunardi. “Nietzsche” LKIS Yogyakarta, 1996.

Almer Sidqi
Almer Sidqi
Wartawan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.