Sabtu, Oktober 5, 2024

Meresapi Nilai Toleransi Agama Lewat Candi Prambanan-Borobudur

Edi Prabawa
Edi Prabawa
Art and Culture Enthusiast

Sri Maharaja Samarottungga, atau yang kerap kita kenal sebagai Samaratungga, adalah salah satu raja Medang dari Wangsa Syailendra yang memerintah pada tahun 792 hingga 835. Bukan seperti pendahulunya yang sifatnya lebih ekspansionis, pada masa pemerintahannya, Samaratungga justru lebih mengedepankan pengembangan sektor agama dan budaya. Hasilnya yang mengesankan salah satunya adalah berdirinya salah satu candi terbesar yang kini menjadi kebanggan bangsa Indonesia, Bahkan sudah diakui UNESCO sebagai situs warisan dunia Candi Borobudur. Luar biasa sih, lebih lagi memang Candi Borobudur adalah candi yang memiliki relief Buddha terbanyak dan terlengkap di dunia.

Di waktu itu, Candi Borobudur menjadi layaknya simbol kuatnya agama yang mendominasi di Jawa yaitu agama Buddha Mahayana yang dipeluk Samaratungga. Mulai tahun 825 masehi, Samaratungga mulai membangun Candi itu sampai akhirnya diresmikan Pramodhawardhani yang tidak lain tidak bukan ialah Putri Mahkotanya. Pramodhawardhani sendiri akhirnya dijodohkan oleh sang ayah dengan seorang penggedhe wangsa Sanjaya, yang jadi kekuatan utama pesaing wangsa Syailendra di Jawa, Rakai Pikatan namanya. Melalui pernikahan itulah sebuah sebuah momen besar dalam sejarah kerajaan di Indonesia terjadi.

Sanjaya, yang adalah sebuah wangsa penganut Hindu Siwa di jawa, yang juga adalah wangsa milik Rakai Pikatan. Sedangkan Pramodhawardhani, seperti yang sudah saya ceritakan diatas adalah berasal dari wangsa Syailendra. Dua sejoli tersebut memang sudah jelas berbeda keyakinan, akan tetapi pada akhirnya mereka dapat bersatu jua. Asik.

Pernikahan mereka mungkin awalnya terkesan politis, layaknya yang kerap dilakukan para politisi dari masa ke masa yaitu dengan mengambil tokoh pemimpin lawan buat mendapat satu kursi penting di pemerintahan, ya, tentunya untuk meredam adanya pemberontakan oposisi tujuannya. Namun ternyata seiring berjalannya waktu pernikahan mereka menjadi suatu harmoni yang sangat indah pada masa itu.

Bagaimana tidak, apa yang terjadi di masa itu dalam banyak hal memberikan contoh hubungan yang indah yang mungkin bisa kita lihat sampai sekarang. Pramodhawardhani sendiri harusnya adalah penerus tahta kerajaan Medang karena Raja sebelumnya, Samaratungga menyerahkan kekuasaanya kepada dia, akan tetapi Pramodhawardhani justru memberikan kekuasaan itu pada suaminya yaitu Rakai Pikatan dan dia memilih menjadi Permaisuri.

Kemudian, Kerajaan Medang adalah kerajaan Buddha Mahayana, Sedangkan Rakai pikatan adalah penganut Hindu Siwa. Oleh karena itu, Pramodhawardhani juga mengijinkan suaminya untuk membangun salah satu Candi Hindu terbesar di jawa yaitu Prambanan di daerah kekuasaan Medang.

Menariknya, jaraknya juga tak cukup jauh dari Candi Borobudur. Rakai Pikatan akhirnya membangun Candi Siwa yang merupakan Candi utama di Candi Prambanan. Bahkan salah satu Candi di kompleks Candi Prambanan yang menggabungkan antara ciri khas Candi Buddha dengan Candi Hindu yaitu candi Plaosan. Para Sejarawan berpendapat bahwa dalam proses pembuatannya ada aktivitas gotong royong antara umat Hindu dan Buddha.

Sesuatu yang sangat unik yang terjadi pada era kerajaan Hindu-Buddha di jawa dan tentunya indah untuk dikenang, terlebih lagi kedua Candi itu masih berdiri sangat kokoh, yang berarti kita masih sangat mungkin untuk bisa melihat bukti dari momen bersejarah tersebut

Kini ketika kita berkunjung ke candi-candi tersebut, kita  bisa ikut berbangga hati bahwa leluhur kita, merupakan sosok-sosok yang hebat, dan juga negara kita adalah negara yang mungkin ditakdirkan untuk mempunyai sikap toleran tersebut. Karena menjaga toleransi dalam beragama pada dasarnya bukanlah yang bisa dilakukan seperti membalikan telapak tangan.

Ada beberapa contoh sejarah selain di Indonesia, ada cerita dimana perbedaan agama  justru menimbulkan rasa benci dan perselisihan, bahkan sepertinya tidak jarang bahwa identitas agama dijadikan alat untuk kelompok tertentu saling beradu kekuasaan. Untungnya, dalam sejarah kemerdekaan dan perumusan dasar negara, adanya perbedaan agama telah diwanti-wanti isunya oleh tokoh-tokoh hebat negara kita, hingga kita mendapatkan sila pertama dasar negara kita “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Setidaknya kita telah punya pijakannya untuk terus membuat nilai toleransi agama ini tidak terjatuh, ya biarpun pada pelaksanaannya masih sangat sulit,  sebagai negara multikultural yang juga punya banyak agama yang diakui, kata intoleransi seakan masih jadi momok, yang apabila di visualisasikan mungkin seperti villain di film-fim yang tertawa jahat.

Jika kita menengok kebelakang lagi meskipun kita punya dasar negara yang memprioritaskan toleransi, akan tetapi masih saja ada oknum kelompok tertentu yang mencederainya, sebagai contoh misalnya adalah konflik umat Kristen dan muslim di Poso pada akhir tahun 90-an, konflik Ambon pada 1999 yang diawali pemalakan pemuda muslim pada warga nasrani yang kemudian menyebar dan membakar amarah, konflik Tolikara yang terjadi karena umat Gereja Injil Indonesia menyerang umat Islam yang sedang shalat Idul Fitri di Markas Korem di Tolikara dan aparat keamanan tidak berdaya menghadapi massa Gidi, konflik Situbondo pada 1996 akibat warga yang tidak puas atas hukuman yang diberikan kepada seorang penista agama islam. Hingga mungkin seperti yang kita bisa lihat saat ini banyak oknum-oknum yang menggunakan identitas agama untuk bertindak semena-mena.

Tak bisa dipungkiri memang bahwa hal-hal seperti itu dapat terjadi, bahkan di masa Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani yang penuh toleransi pun setelah masa pemerintahan mereka, banyak terjadi konflik-konflik intoleransi yang bahkan akhirnya menghancurkan kerajaan Medang itu sendiri. Ini menunjukan bahwa dasarnya isu ini memang tidak bisa sepenuhnya hilang sepenuhnya tapi dapat kita kubur sedalam-dalamnya.

Tugas kita sebenarnya adalah menjaga agar pemikiran intoleransi ini tidak muncul kembali dan menjegal dan menghancurkan pijakan toleransi yang telah negara ini buat. Setidaknya kita punya banyak contoh tentang bagaimana intoleransi itu sendiri pada akhirnya malah akan menghancurkan negara kita sendiri. Mungkin ada beberapa orang yang belum tahu tentang hal itu, atau mungkin hanya pura-pura tidak tahu.

Dan lagi, mungkin itulah pentingnya kita bangun lagi narasi yang kuat mengenai nilai toleransi bagi bangsa ini. Baik lewat buku, artikel, media sosial, karya seni, dan apapun yang dapat  kita lakukan. Seperti halnya kita mengenang dan meresapi kembali toleransi beragama di Indonesia lewat situs budaya kita candi Borobudur dan Prambanan ini, sebagai suatu bukti indahnya harmoni yang akan tercipta apabila perbedaan yang kita miliki ini dapat terus berjalan beriringan tanpa harus melukai satu sama lain, bak semboyan negara kita Bhinneka Tunggal Ika.

Edi Prabawa
Edi Prabawa
Art and Culture Enthusiast
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.