Sabtu, Mei 11, 2024

Meresahkan Warga Sukoharjo, Tapi Enggan Ditutup Negara

Pavel Alamsyah
Pavel Alamsyah
Sehari-sehari bekerja paruh waktu di pembebasan nasional

Mungkin bagi sebagian orang ketika mendengar PT. Rayon Utama Makmur (RUM) bukanlah hal penting. Lain halnya dengan warga Sukoharjo, Jawa Tengah. Lebih tepatnya warga Kecamatan Nguter dan orang-orang yang pernah sehari dua hari menginap di sekitaran pabrik pemasok bahan baku PT. Sri Rejeki Iman, Tbk atau yg lebih dikenal Sritex tersebut.

Bagi warga kecamatan Nguter, ketika mendengar tentang PT. RUM, sejak Oktober 2017 yang terlintas dalam pikiran mereka hanyalah limbah pabrik, bau busuk, septic tank, dan tahi.

Saat reporter tirto.id mendatangi desa-desa yang terpapar bau limbah PT RUM pada awal September 2018 lalu. Seorang kepala desa menggambarkan bau dari limbah pabrik seperti bau tahi. “Kayak septic tank,” ujarnya. “Kadang bau, kadang hilang …. seperti itulah.”

Secara historis, keberadaan PT. RUM sendiri tidak bisa dipisahkan dengan Sritex, perusahaan tekstil besar yang beroperasi sejak 1966. Selain memproduksi pakaian untuk merek-merek terkenal seperti Zara, Disney dan H&M, Sritex juga memproduksi seragam militer untuk TNI dan tentara di 30 negara, termasuk Amerika Serikat dan NATO.

Sebagai anak perusahaan dari Sritex, PT. RUM bertugas untuk memasok serat rayon yang akan digunakan sebagai bahan produksi pakaian-pakaian fesyen dan seragam militer PT. Sritex tersebut.

Hampir dua tahun lamanya warga Nguter terus menerus diteror oleh limbah cair dan bau busuk yang bersumber dari proses produksi pabrik tersebut. Tak tanggung-tanggung, hasil penyelidikan tim independen dari Muhammadiyah Sukoharjo menemukan ada limbah cair melewati ambang baku mutu. Limbah produksi PT RUM ini dibuang ke sungai Gupit dan bermuara ke sungai Bengawan Solo.

Temuan lain soal dampak serius terhadap warga soal limbah udara PT RUM. Setidaknya 28 warga di dua dusun mengalami infeksi saluran pernapasan (ISPA) berat, 72 warga menderita ISPA ringan, 56 dispepsia (gangguan saluran pencernaan) dan setidaknya seorang warga terserang dermatitis alias radang kulit. Gejala-gejala ini akibat polusi udara dan air.

“Jika terpapar dengan konsentrasi lebih tinggi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan penyakit lebih serius hingga menyebabkan kematian,” tulis temuan Muhammadiyah yang dirilis pada 18 Februari 2018

Warga pun sebenarnya tidak diam, sudah berbagai upaya mereka lakukan untuk menuntut tanggung jawab negara, dalam hal ini pemerintah kabupaten Sukoharjo agar melakukan penyelesaian secara serius atas pencemaran lingkungan tersebut.

Tapi bukannya mendapatkan kabar baik atas tuntutan mereka, negara melalui  aparat represifnya (Polisi) pada tanggal 4 Maret 2018 lalu sampai saat ini justru memenjarakan 1 mahasiswa dan 6 warga Sukoharjo yang terlibat aksi menuntut agar bupati Sukoharjo mencabut izin lingkungan PT. RUM dengan dalih pengrusakan. Mereka bertujuh divonis hukuman penjara selama 18 bulan.

Keenganan negara melalui pemerintah kabupaten Sukoharjo untuk menutup PT. RUM dan membiarkan warga kecamatan Nguter terus menerus menghirup bau busuk dan limbah pabrik sebenarnya terlihat jelas saat terjadi aksi demonstrasi pada tanggal 22 Februari 2018 lalu.

Saat itu ribuan massa dari kabupaten Sukoharjo, unsur-unsur solidaritas dari luar daerah Sukoharjo dan mahasiswa se-Solo Raya beramai-ramai menggeruduk kantor bupati Sukoharjo untuk menuntut agar Bupati Sukoharjo mencabut izin lingkungan PT. RUM. Bupati yang saat itu juga tengah berada di ruang kantornya, berhasil dipaksa untuk keluar menemui massa yang sudah beberapa jam melakukan aksi demonstrasi di halaman kantor Bupati.

Bupati keluar dengan membawa surat yang ditanda tangani oleh pihak PT. RUM, dimana mereka bersedia untuk menghentikan sementara proses produksinya. Namun warga Sukoharjo, yang sudah tidak tahan lagi dengan bau busuk yang berasal dari PT. RUM tidak puas jika tanpa Surat Keputusan (SK) langsung dari Bupati Sukoharjo.

Dengan menyodorkan format SK yang sudah mereka siapkan sebelum aksi, massa aksi yang sebagian besar adalah warga Sukoharjo tersebut memaksa agar Bupati segera mengeluarkan SK peringatan (teguran) terakhir ke PT. RUM. Namun, alih-alih menyepakati tuntutan masaa, Bupati justru meninggalkan massa aksi. Baru setelah dipaksa, Bupati Sukoharjo, berjanji untuk menerbitkan SK pada besok harinya, 23 Februari 2018 pukul 10.00 WIB.

Mendengar hal tersebut, sebagian besar massa aksi memilih melanjutkan aksinya di halaman pabrik Sukoharjo sembari menunggu SK Bupati. Saking antusiasnya warga menunggu SK Bupati tersebut, mereka beramai-ramai menginap semalaman di halaman depan PT. RUM.

Namun sayang, bukannya menepati janjinya, Bupati justru berangkat ke Bali untuk menghadiri pertemuan partainya, PDI Perjuangan. Warga yang semalaman menunggu, karena sudah tidak tahan lagi menghirup bau busuk sejak bulan Oktoner 2017 terpaksa melampiaskan kemarahannya dengan merusak dan membakar pos satpam PT. RUM agar Bupati menepati janjinya.

Entah apa yang menyebabkan keengganan Bupati Sukoharjo untuk menerbitkan SK tersebut, hanya dia dan kroni-kroninya lah yang tahu. Yang jelas, pada akhirnya, karena massa semakin meluapkan kemarahannya, Bupati pun menerbitkan SK yang ditunggu-tunggu tersebut.

Mengetahui SK sudah diterbitkan, kemarahan massa pun mereda dan meluapkan kegembiraannya karena tuntutannya terpunuhi, meskipun SK tersebut hanya berisikan penghentian sementara (18 bulan, terhitung sejak 23 Februari 2018 sampai dengan 23 Agustus 2018) proses produksi PT. RUM sampai mereka berhasil memperbaiki proses pengelohan limbahnya agar tidak menimbulkan bau busuk lagi.

Sampai saat ini belum ada tanda-tanda PT. RUM berhasil mengolah limbahnya dengan baik karena hampir setiap hari, meskipun PT. RUM hanya sebatas melakukan uji coba dan mengatakan sudah berhasil melakukan perbaikan pengolahan limbahnya, warga masih saja mengeluhkan bau busuk yang bersumber dari PT. RUM. Puncaknya baru-baru ini, tepatnya tanggal 21 Juni 2019 malam.

Dalam rilis pers Sukoharjo Melawan Racun (SAMAR) pada tanggal 22 Juni lalu, mereka menjelaskan, di saat kesempatan bagi PT. RUM untuk memperbaiki proses pengelohan limbahnya menyisakan waktu kurang dari dua bulan lagi, puluhan warga karena merasa waktu istrahat malam mereka terganggu, berbondong-bondong keluar dari rumahnya dan berjalan menuju PT. RUM untuk mendesak agar PT. RUM mematikan mesin produksinya karena warga tidak tahan lagi dengan bau busuk yang dikeluarkan.

“…meskipun tidak lama kemudian mesin produksi serat rayon dimatikan oleh PT. RUM, namun apa yang dilakukan oleh PT. RUM sangat meresahkan warga”, tulis SAMAR dalam rilis persnya.

Entah apakah kali ini negara melalui pemerintah kabupaten Sukoharjo mau menepati janjinya mencabut izin lingkungan PT. RUM jika sampai 23 Agustus 2019 tidak mampu mengolah limbahnya agar tidak mengeluarkan bau busuk yang meresahkan warga, atau justru kembali menunjukkan keenganannya, waktulah yang akan menjawab.

Catatan kaki:

1.https://tirto.id/limbung-limbah-bau-pt-rum-pabrik-serat-rayon-seragam-tni-c8KF

2. http://litbang.kemendagri.go.id/website/tim-independen-muhammadiyah-sampaikan-hasil-penelitian/

3. http://pembebasan.org/pt-rum-masih-terus-berulah/

Pavel Alamsyah
Pavel Alamsyah
Sehari-sehari bekerja paruh waktu di pembebasan nasional
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.